URGENSI GEDSI DI MADRASAH
Persoalan pokok pendidikan adalah Hak Asasi Manusia (HAM). Semua anak mempunyai hak untuk menerima pendidikan yang ramah yang tidak diskriminatif. Kelompok individu yang sering didiskriminasikan yakni anak dengan kecacatan atau anak dengan penyandang disabilitas, anak dari masyarakat yang kurang mampu, dan tidak membedakan laki-laki serta perempuan.
Inklusi sosial merupakan jalan perjuangan melawan ekslusi sosial untuk menghalangi dan menambal disparitas kelompok sosial tertentu di masyarakat. Kemudian adanya persamaan hak dan kesempatan memperoleh pendidikan yang sama antara laki-laki dan perempuan. Tetapi pada kenyataannya di dunia pendidikan kita sekarang masih tampak kesenjangan dan diskriminasi tersebut, bukan?
Sebagai contoh, pertama anak dengan kemampuan kognitif dengan level sangat tinggi dimasukkan ke dalam kelas angka 1 atau kelas A atau kelas unggulan, semakin ke bawah berurutan dan biasanya semakin menandakan level kognitif rendah. Kedua anak berkebutuhan khusus seperti autis, down syndrome, maupun sejenisnya, dikatakan lebih baik berada di sekolah luar biasa (SLB) dan bukan di sekolah reguler. Adakah sekolah reguler di Indonesia yang mau menerima keberadaan mereka? Bukankah semua manusia di hadapan Tuhan itu sama?
Salamanca Statement and Framework for Action (Kustawan dan Hermawan) menjelaskan bahwa sekolah regular yang berorientasi inklusif adalah cara yang paling efektif untuk mengatasi pembedaan atau diskriminasi, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun masyarakat inklusif, dan mencapai cita-cita pendidikan untuk semua. Pendidikan harus merespon keberagaman talenta individual dan memungkinkan setiap individu menemukan tempatnya di masyarakat. Banyak orang menganggap bahwa pendidikan inklusif ramah anak merupakan versi lain dari Pendidikan Khusus atau Pendidikan Luar Biasa (special educations).
Konsep pendidikan Inklusif sangat berbeda dengan konsep pendidikan khusus. Konsep pendidikan Inklusif mempunyai kesamaan dengan konsep yang mendasari pendidikan untuk semua (education for all) dan konsep tentang pendidikan perbaikan sekolah (school improvement).
Konsep pendidikan inklusif menurut Kustawan dan Hermawan yaitu: (1) Lebih luas daripada pendidikan formal, tetapi mencakup rumah, masyarakat, nonformal, dan sistem informal, (2) Menghargai dan mengakui bahwa semua anak dapat belajar dan pada saat tertentu dapat mengalami hambatan belajar, (3) Memungkinkan kurikulum, sistem dan metodologi memenuhi kebutuhan-kebutuhan semua anak, (4) Mengakui dan menghargai bahwa setiap anak memiliki perbedaan-perbedaan dalam usia, jenis kelamin, etnik, bahasa, kecacatan, status sosial, ekonomi, potensi dan kemampuan, (4) Merupakan proses dinamis yang secara evolusi terus berkembang sejalan dengan konteks budaya, (5) Merupakan strategi untuk memajukan dan mewujudkan masyarakat inklusif.
Sekolah inklusif menawarkan hal yang lebih dibandingkan dengan pendidikan reguler.
Menurut saya, sistem pendidikan di sekolah inklusif dapat diintegrasikan antara pendidikan umum dengan Pendidikan Agama. Tidak ada pembagian kelas berkomposisi homogen secara kognitif, tidak ada kelas unggulan dan kelas reguler. Menampung anak dengan bakat istimewa baik anak reguler maupun anak berkembutuhan. Sekolah inklusif juga memberikan program pendidikan karakter dan keterampilan hildup (life skill) siswanya sesuai dengan bakatnya masing-masing.
Contoh kegiatannya seperti: market day, bussines day, latihan dasar kepemimpinan, studi oreintasi lapangan, magang, dan lain-lain yang sifatnya mengembangkan karakter dan keterampilan hidup di abad ke-21.
Program kegiatan siswa berkebutuhan khusus juga dibuat sesuai dengan indikasi kebutuhannya. Jika siswa itu bermasalah dengan emosi, Madrasah menyiapkan Guru Pendamping Khusus (GPK). GPK sebagai pendamping saat belajar juga perlu membuat program yang cocok untuk mengatasi siswa yang bermasalah dengan emosi. Selain itu perlu pula menyediakan beberapa peralatan lainnya seperti kursi roda, tongkat, alat bantu dengar, toliet bagi yang berkebutuhan khusus. Itu hanya contoh sekolah yang sudah berani menerapkan pendidikan inklusif.
Dengan demikian, madrasah juga mampu menyelenggarakan pendidikan inklusif yang ramah anak serta murah. Hal ini harus dilihat sebagai peluang, bukan dijadikan beban bagi guru dan madrasah. Semua anak memiliki hak dan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, tidak terkecuali anak penyandang disabilitas, anak kurang mampu baik laki-laki ataupun perempuan.
Kita meminta masyarakat mengahrgai perbedaan. Mereka juga ingin hidup layaknya manusia normal yang tidak dipandang sebelah mata. Mereka layak hidup dan diperlakukan sama terutama dalam hal pendidikan.
Saya berharap, pendidikan Indonesia ke depan tidak ada lagi individu yang didiskriminasi hanya karena masalah gender, disabilitas, dan adanya eksklusifitas kelompok tertentu. Tidak ada pembedaan kecuali ketakwaan. (*)
Tidak ada komentar: