TAK SEMANIS HARAPAN
TAK
SEMANIS HARAPAN
karya
Zaki Fahrizal
Hiduplah seorang anak yang
namanya Naim. Tubagus Naim nama lengkapnya. Dia hidup berdua bersama ibunya. Ya
Naim dan saya sudah berteman sejak kecil. Bermain layang-layang menjadi
kegemaran kami berdua. Kesan layang-layang begitu membekas bagi kami. Apalagi
jika musim panas. Kemana layang-layang putus, selalu kami kejar. Tidak peduli
dengan seberapa jauh jarak yang mesti kami tempuh. Mengejar layang-layang putus
tertiup angin sama halnya dengan mengejar mimpi-mimpi kami setelah dewasa.
Mimpi yang masih penuh misteri tetapi kami tetap berusaha menjangkaunya.
Di musim panen padi merupakan
musim yang mengasikan bagi kami. Bagaimana tidak mengasikan, sawah yang awalnya
ditumbuhi padi-padi kemudian berubah menjadi tanah lapang sedikit becek. Di
situ kami dapat mencari keong. Ya, keong empang beraromakan sawah basah begitu
nikmat menjadi lauk menemani nasi putih panas. Mencari dari undak sawah atas ke
undak sawah bawah. Terkadang kami menemukan lubang rumah belut sawah. Dengan
mencari katak kecil yang diikatkan ke peniti, kami masukkan umpan katak yang
dikaitkan ke benang layang-layang. begitu kami tarik seekor belut berukuran
sedang kami dapatkan.
Kegiatan hari-hari demikian
sangat mengasikaan. Apalagi melihat senyum ibu Naim ketika kami sampai depan
pintu. Senyum pengharapan kepada anaknya yang baru datang membawa sedikit hasil
bermainnya.
Naim selalu satu kelas dengan
saya. Saat sekolah dasar sampai sekolah menengah pertama, dia selalu satu
bangku dengan saya. Samapai sekolah menengah atas, saya masih satu tempat
sekolah. Tetapi tidak satu kelas. Saya masuk kelas IPA, sedangkan Naim masuk
kelas IPS. Tetapi meski tidak satu kelas, kami selalu bermain bersama. Tidak
satu kelas, tidak membuat saya menjadi jauh dan putus komunikasi.
Semakin dewasa, kami semakin
memiliki minat yang terlihat berbeda. Minat Naim sepertinya semakin ke arah
kekuatan fisik. Dia semakin menekuni bidang kanuragan. Ya, silat dan debus
sepertinya menjadikan dia semakin percaya diri. Sesekali dia mengajak saya ke
rumah Kang Tori. Kang Tori merupakan guru silat Naim. Kang Tori sengaja dia
pilih sebagai guru silat karena Kang Tori cukup terkenal di kalangan beberapa
padepokan.
***
Di balik ketekunannya menempuh
ilmu bela diri dan kanuragan, ada seseorang yang sangat dicintai dan
mencintainya. Sarni merupakan perempuan itu. Dia selalu setia menunggu Naim
setelah Naim latihan. Memang, setalah Naim latihan dia selalu menyempatkan
mampir ke rumah sarni untuk bertemu. Jarak padepokan dengan rumah sarni memang
lumayan jauh, tetapi rumah sarni selalu terlewat ketika Naim akan ke padepokan.
Naim dan sarni sudah menjalin
hubungan sedari SMP. Mereka berikrar untuk selalu mendukung apapun yang menjadi
pilihan keduanya. Terlebih ketika Naim mulai menggeluti ilmu kanuragan dan seni
beladiri pencak silat. Sarni selalu menyemangati dan memotivasi tiada
henti-henti. Pikirnya, dengan Naim memiliki ilmu-ilmu tersebut, sarni menjadi
aman karena ada seorang laki-laki bertubuh kekar, berdada bidang yang selalu
sisap menjaganya dari berbagai ancaman. Meski selalu mendukung, ada sedikit
kekhawatiran yang akhir-akhir ini terbesit di batinnya. Ya, akhir-akhir ini Naim
semakin intens berlatih ilmu kanuragan. Kang Tori sepertinya mulai menurunkan
ilmu-ilmu kanuragan yang dia punya kepada Naim. Syarat-syarat ritual pun tak
terelakan. Mulai dari selamatan rutin, wirid-wiridan di beberapa tempat
keramat, dan menghafal beberapa doa-doa khusus penunjang ilmu kanuragan serta
masih banyak kegiatan lainnya yang harus ditempuh Naim.
Hal itu, membuat sarni
akhirnya khawatir. Ia makin memperhatikan Naim. Perubahan memang nampak pada Naim.
Mulai dari intensnya berlatih ilmu kanuragan, sering ke padepokan, tidak mau
bergaul dengan teman dan tetangganya, bahkan sampai menolak untuk diajak
bertemu oleh sarni.
“Naim... ada apa sebenarnya
dengan kamu? Kamu sangat berbeda sekali akhir-akhir ini” tanya sarni kepada Naim.
“Tidak ada apa-apa. Aku hanya
fokus pada latihanku yang diberikan Kang Tori.” jawab Naim.
“Sebegitunyakah kamu!
Sampai-sampai kamu lupakan teman-teman dan aku!” gertak sarni.
“Lalu kamu mau apa? Perlu
perhatian? Bukankah kamu berjanji akan selalu mendukung keinginanku?!” bentak Naim
dengan tatapan mata kuat.
“Ya memang dahulu aku selalu
mendukung keinginanmu. Tapi semakin ke sini aku semakin khawatir dengan dirimu”
jawab sarni.
Kemudian tiba-tiba Naim
bergesa pergi meninggalkan sarni. Sembari pergi Naim berkata, “ Sudahlah,
jangan berlebihan mengkahawatirkan aku, aku baik-baik saja.”
Melihat Naim pergi dan berkata
demikian, hati sarni sedih tetapi agak sedikit tenang mendengar penjelasan Naim.
***
Acara puncak ritual ilmu
kanuragan pun tiba. Malam Jumat Kliwon menjadi malam sakral bagi Naim. Kang
Tori mengajak Naim ke sebuah petilasan Pangeran Kumbang. Petilsan adalah istilah yang diambil dari bahasa Jawa
(kata dasar "tilas" atau bekas) yang menunjuk pada suatu tempat yang
pernah disinggahi atau didiami oleh seseorang (yang penting). Seseorang yang
dimaksud dalam hal ini yakni Pangeran Kumbang. Tempat ini sengaja dipilih Kang
Tori dengan alasan Pangeran Kumbang dipercaya seseorang yang sakti manraguna.
Memiliki segudang ilmu dan mampu menaklukkan musuh-musuh hanya dengan satu
gerakan tangan. Masyarakat sekitar petilasan pun mempercayai bahwa Pangeran
Kumbang tidak pernah meninggal.
Langit cerah. Bulan bulat
kuning emas. Lepas pukul 11 malam, Naim disuruhnya mandi oleh Kang Tori di
sebuah kolam berukuran besar. Dengan rasa percaya, Naim mandi dan berendam
selama satu jam.
“Naim sekarang kau mandi dan
berendamlah di situ” perintah Kang Tori.
“Siap kang” Naim mengiyakan.
Setalah berendam, Kang Tori
menyuruh untuk bersila di sampingnya. Tiba-tiba Kang Tori mengeluarkan kumpulan
lembaran-lembaran aksara arab disertai penjelasan bahasa Jawa Kuno. Kemudian Kang
Tori memandu Naim membacanya. Sambil memejamkan mata. Aksara-aksara arab
tersebut kemudian dihafal berjam-jam. Menghafal berjam-jam membuat Naim
merasakan ada sesuatu yang masuk entah dari mana. Pandangan mata kabur, mulut
ingin berteriak, tangan tiba-tiba membuat kuda-kuda layaknya kera. Di selingi
suara tertawa asing, Naim menjadi sosok kera. Kang Tori yang awalnya tidur,
bangun seketika dan kaget bukan main. “Ada apa dengan Naim?”, ucap Kang Tori
dalam hati. Nampaknya Kang Tori juga bingung. Kemudian dia berusaha menenangkan dan menyembuhkan Naim.
Semakin berusaha untuk menyembuhkan Naim, Naim semakin memberontak. Naim
berkelakuan bukan seperti kera, suaranya berubah menjadi seperti kakek.
“Ayoo lawan aku!”, suara
kakek-kakek keluar dari Naim.
Kang Tori hanya ancang-ancang
dengan mengandalkan cincin batu merah delima yang dia punya untuk melawan
kakek.
“Kamu telah salah mengajarkan
anak ini ilmu-ilmu kanuragan” “sekarang anak ini menjadi miliku dan dia akan
hilang ingatan samapi waktu yang tidak ditentukan!” cetus suara kakek yang keluar dari mulut Naim.
“Aku adalah raja jin!” “aku
akan keluar dari tubuh ini kalau ada seseorang yang mampu mengalahkan aku”.
Mendengar perkataan demi
perkataan itu, tak terasa suara kokok ayam terdengar. Tandanya hari sudah
subuh. Akhirnya Kang Tori membawa Naim pulang.
***
Kang Tori membawa Naim pulang
ke rumah orang tuanya. Kang Tori meminta maaf atas apa yang sudah terjadi
kepada Naim. Orang tua Naim terlihat terkejut. Tak henti-hentinya mereka
menangis. Saya yang mendengar kabar tentang Naim dari tetangga, langsung
bergegas pergi ke rumah Naim. Begitu pilu yang saya dapat, Naim yang dahulu
segar, selalu menyambut saya ketika datang kerumahnya. Kini menjadi Naim yang
sering ketawa dan berbicara sendiri. Berteriak-teriak, kumal dan sedikit berbau
tak sedap. Terlihat sarni yang terpukul hatinya. Sosok pria yang dicintainya
kini menjadi bukan Naim yang ia kenal. Ternyata kekhawatirannya selama ini
melihat Naim menjadi kenyataan menyakitkan. Ilmu kanuaragan dan ilmu beladiri
yang dipelajari membuat Naim gila. (*)
Tidak ada komentar: