MEDIA SOSIAL, HOAKS, DAN PILPRES 2019
Siapa yang tidak tahu
media sosial di zaman serba canggih ini? Setiap orang paling tidak memiliki
satu gawai. Coba bayangkan, masyarakat Indonesia dengan jumlah lebih kurang 260
juta jiwa, memiliki potensi dan pangsa pasar yang besar bagi berkembangnya
gawai. Pengguna gawai didominasi anak-anak, remaja, dan usia dewasa.
Fungsi gawai salah satunya yakni
berkomunikasi lewat media sosial. Media sosial saat ini sepertinya sudah
menjadi alat yang paling ampuh tidak hanya untuk berkomunikasi dua arah saja.
Tetapi keberadabaan media sosial dapat juga difungsikan untuk mendapatkan atau
menyebar berita, berjualan atau mempromosikan barang dan jasa, serta digunakan
untuk berkampanye bagi pasangan calon di tahun politik.
Tahap pemilu sudah
memasuki debat capres kedua. Isu SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan
tertentu) terus digunakan penyebar berita palsu (hoaks) dalam memecah belah
bangsa Indonesia. Selain SARA. Hoaks juga
menyerang penyelenggaraan pemilu seperti KPU. Di media sosial beredar rekaman
seorang laki-laki yang berbunyi “Ini sekarang ada 7 kontainer di Tanjung Priok
sekarang lagi geger, mari sudah turun. Dibuka satu. Isinya kartu suara yang
dicoblos nomor 1, dicoblos Jokowi, Itu kemungkinan dari Cina itu. Total katanya
kalau 1 kontainer 10 juta, kalau ada 7 kontainer 70 juta suara dan dicoblos
nomor 1. Tolong sampaikan ke akses, ke Pak Darma kek atau ke pusat ini tak
kirimkan nomor telepon orangku yang di sana untuk membimbing ke kontainer itu.
Ya atau syukur ada akses ke Pak Djoko Santoso. Pasti marah kalau beliau ya
langsung cek ke sana ya.”
Isu di atas berisi isu
tujuh kontainer surat suara sudah dicoblos di Tanjung Priok. Padahal saat itu
surat suara belum diproduksi oleh KPU. Pengadaan surat suara pun masih dalam
tahap proses lelang dan baru diproduksi pertengahan Januari 2019. Isu tersebut hanyalah salah satu dari sekian banyak isu
yang menyerang KPU. Isu yang lain seperti: ketua KPU adalah saudara kandung Soe
Hok Gie, Video anggota Panwaslu dan KPU buka lelang lembaganya dalam forum
rapat, polemik kotak suara dari kardus, dan isu-isu hoaks lainnya beredar di
masyarakat.
Kecepatan dan sifat media
sosial yang mudah untuk dibagikan, berperan dalam penyebaran berita negatif
seperti radikalisme, pelecehan, perpecahan, dan berita palsu (hoaks).
Wikipedia.org mendefinisikan pemberitaan palsu (hoax) adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat
seolah-olah benar. Setiap pesan yang kita kirimkan hanya butuh satu klik saja
untuk menyebar berita, entah berita itu benar atau berita itu palsu. Satu klik
dapat menentukan hidup seseorang. Ada
pepatah mengatakan “Kata-kata Lebih Tajam daripada Pedang”, pepatah demikian
bukan mitos belaka. Pada kenyataannya memang demikian, pedang kalah tajam
dibanding lidah karena lidah dapat melukai hati tanpa menyentuhnya.
Pengguna media sosial harus
lebih berhati-hati dan tidak mudah membagikan sesuatu ke media sosial.
Pemerintah melalui kemenkominfo telah merevisi Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE). Jika tuduhan salah, sesesorang dapat terkena
pidana. Bukan hanya yang memproduksi hoaks, namun yang mendistribusikan atau
menyebarkannya pun akan terkena pidana.
Dalam Alquran dinyatakan
dengan tegas, “...Maka jauhilah (penyembah) berhala-berhala yang najis itu dan
jauhilah perkataan-perkataan dusta” (Qs. Al-Hajj:30). Selain itu, penyebar
hoaks dibenci Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah, “Sesungguhnya Allah membenci
tiga hal pada kalian: menyebarkan kabar burung, pemborosan harta, dan banyak
bertanya” (HR Bukhari).
Jarimu Harimaumu. Hoaks
merugikan pihak tertentu dan membodohi masyarakat awam. Maka, marilah bersama
berantas hoaks terutama hentikan penyebarannya dimulai dari diri kita. Pikir
sejenak sebelum posting. Jangan mudah emosi. Berbahasalah yang santun.
Bertindak sopan. Sebelum menyebar berita yang didapat, tanyakan apakah beritnya
benar? Apakah bermanfaat? Apakah itu penting? Apakah berita itu dapat
menimbulkan kebencian terhadap orang lain? Jika meneruskan berita itu, akankah
memecah-belah?
Bagi orangtua, membatasi
penggunaan gawai anak. Orangtua harus meninjau kembali kebermanfaatan gawai
anak. Jika tidak terlalu penting lebih baik tidak usah dibelikan. Jika gawai
itu penting dan diperlukan bagi anak terutama anak usia sekolah, hal itu
dibolehkan tetapi tetap dengan pengawasan dan pendampingan.
Propaganda berita palsu (hoaks)
semacam ini menjadi ramai dan viral. Pemilu
menjadi kawah candra dimuka bagi penyebar hoaks. Debat kusir di status media sosial seseorang tidak berkesudahan
sampai-sampai berlanjut ke dunia nyata. Hal semacam ini seharusnya sudah tidak
zamannya lagi. Lebih baik disudahi saja. Bagaimana mau ikut melaksanakan ketertiban dunia jika kondisi dalam
negaranya saja seperti itu. Coba
buka pikiran kita, ada hal yang mendesak dan harus segera diselesaikan yakni di
bidang pendidikan dan pembangunan bangsa untuk Indonesia sejahtera. (*)
Tidak ada komentar: