BELAJAR HIDUP DARI BADUY
Oleh Zaki Fahrizal
Pekan kemarin, tanggal 10 sampai 11 April 2018, saya melakukan perjalanan dan kunjungan ke Kabupaten Lebak tepatnya di masyarakat adat Baduy. Suku Baduy tinggal di kawasan Cagar Budaya Pegunungan Kendeng seluas 5.101,85 hektare di daerah Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Perkampungan masyarakat Baduy umumnya terletak di daerah aliran Sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng. Daerah ini dikenal sebagai wilayah tanah titipan dari nenek moyang, yang harus dipelihara, dan dijaga baik-baik, tidak boleh dirusak.
Sudah beberapa kali saya melakukan kunjungan Baduy. Terhitung sudah enam kali saya berkunjung. Setiap kali saya berkunjung ke Baduy, memiliki cerita dan pengalaman yang berbeda. Saya berkunjung tidak sendiri, ada rombongan siswa yang saya bawa. Misi saya kali itu berkunjung ke masyarakat adat Baduy yakni mengenalkan warisan dan kearifan lokal masyarakat Baduy kepada siswa. Jika saya ditanya apa yang dapat dipelajari dari suku Baduy? Maka jawabannya banyak. Baduy merupakan masyarakat adat yang unik dan banyak menyimpan kebiasaan-kebiasan baik. Keunikan dan kebaikan-kebaikan tersebut tergambar jelas dari segi bagaimana mereka memanfaatkan dan mengelola lingkungan.
Selain masyarakat adat Baduy, di Provinsi Banten setidaknya ada sebelas kelompok masyarakat adat yang seleuruhnya menyatu dalam satu adat istiadat Kasepuhan. Seperti: Kasepuhan Cicarucub, Kaasepuhan Pasir Eurih, Kasepuhan Cirompang, Kasepuhan Cisungsang, Kasepuhan Cisitu, Kasepuhan Cibadak, dan Kasepuhan Citorek. Namun dari sebelah masyarakat adat yang ada di Provinsi Banten, Baduy masih menjadi primadona dan paling sering dikunjungi wisatawan lokal maupun mancanegara.
Sebagai contoh, ketika saya melakukan kunungan ke Baduy pekan lalu, ternyata sedang ada pembuatan film “Ambu” yang dibintangi artis nasional Baim Wong dan Laudya Chintia Bella. Betapa ramainya ketika saya melewati jalan setapak di Baduy Luar. Masyarakat luar kawasan Ciboleger datang beramai-ramai ingin berfoto dan melihat langsung para artis. Mengesankan!
Masyarakat adat Baduy terbagi menjadi dua, yakni suku Baduy Dalam dan Suku Baduy Luar. Suku Baduy Dalam merupakan suku asli Sunda Banten yang masih menjaga tradisi antimodernisasi, baik cara berpakaian maupun pola hidup lainnya. Sedangkan suku Baduy Luar merupakan bagian dari suku Baduy yang sudah menerima moderinasisi dan beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Masyarakat Baduy terutama Baduy Dalam secara tradisi terus berpegang pada nilai-nilai lokal yang diyakini kebenarannya dan menjadi pegangan hidup yang diwariskan secara turun temurun. Sebagai kesatuan hidup, masyarakat Baduy memiliki nilai sosial-budaya yang layak dikembangkan dalam dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat kota zaman ini. Nilai sosial-budaya seperti kesetiakawanan (solidaritas) dalam melakukan aktivitas hidupnya. Selain memiliki kesetiakawanan sosial yang tinggi, masyarakat adat juga memiliki budaya luhur lain yang berupa gotong-royong, rendah hati (sederhana), musyawarah, dan kerukunan, serta menghargai alam sebgai sumber kehidupan.
Berkenaan dengan lingkungan, nilai luhur yang dapat dikaji dari masyarakat Baduy yaitu kearifan lokal dalam melakukan pengelolaan lingkungan. Salah satu bentuk kearifan lingkungan yang ditunjukkan masyarakat adat Baduy adalah dengan menjadikan hutan sebagai tempat yang dikeramatkan. Hutan dijaga dengan berbagai tabu yang berfungsi sebagai pengendali segala aktivitas manusia yang berhubungan dengan tempat tersebut. Ketaatan pada tabu yang diwariskan secara turun-temurun menjadikan hutan tetap lestari. Perhatikan pepatah Baduy berikut ini.
Gunung teu beunang dilebur
Lebak teu beunang dirakrak
Buyut teu beunang dirobah
Larangan aya di darat di cai
Gunung aya maungan, lebak aya badakan
Lembur aya kokolota, leuwi aya buayaan
Saya memperkirakan pepatah tersebut merupakan undang-undang tidak tertulis mereka yang dijadikan sebagai penuntun dan pedoman hidup mereka dan itu tercermin dalam perilaku kehidupa sehar-hari sejak nenek moyang mereka lahir sampai anak cucunya sekarang. Nilai budaya tersebutlah yang kemudian diyakini sebagai cara paling ampuh dalam mengelola alam.
Sistem budaya lokal merupakan modal yang besar, telah tumbuh dan berkembang secara turun-temurun yang hingga kini kuat dan terpatri di masyarakat Baduy. Di saat pemerintah dan dunia menggemakan adanya Revolusi Industri 4.0, masyarakat Baduy masih tetap berpegang teguh pada prinsip hidup yang sudah diyakini dari generasi ke generasi. Penting kiranya untuk menjaga kearifan lokal, mengingat peranannya dalam membantu penyelamatan lingkungan. Di Zaman pascamodernisasi, nyatanya masyarakat banyak yang ingin kembali pada tradisi dan menggali jati diri negeri demi menyaring globalisasi. Globalisasi juga telah menimbulkan efek samping berupa pengikisan nilai-nilai luhur budaya bangsa, digantikan dengan budaya asing yang seringkali bertentangan dengan budaya yang dianut oleh masyarakat.
Dengan demikian, patutlah kita mencontoh filosofi hidup masyarakat Baduy. Masyarakat Baduy memiliki nilai sosial-budaya yang layak dikembangkan dalam dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat kota zaman ini. Nilai sosial-budaya seperti: gotong-royong, rendah hati (sederhana), musyawarah untuk mencapai mufakat, dan kerukunan, serta menghargai alam sebgai sumber kehidupan modal besar bangsa Indonesia menghadapi globalisasi. (*)
Tidak ada komentar: