Kado 16 Tahun Banten
Zaki Fahrizal
“Sepi
Ing Pamrih, Rame Ing Gawe, Banter tan Mbancangi, Dhuwur tan Ngungkuli”
Fenomena 16 tahun
Banten
Diakui bahwa banyak keberhasilan yang dicapai
dalam penyelenggaraan provinsi Banten sejak berdiri tahun 2000. Namun tidak
berarti tidak ada kekurangannya sama-sekali. Keberhasilan itu sering bertolak
belakang dengan realitas yang ada di masyarakat, karena masih banyaknya
masyarakat Banten yang masih dilanda kesulitan-kesulitan hidup. Mendengar kata
‘Banten’ pasti akan merujuk kepada hal-hal yang bersifat positif seperti:
masyarakatnya yang religius, negeri seribu ulama, negeri para kiyai. Namun
terdapat kontradiksi dengan kondisi Banten yang sekarang, mungkin sekarang
orang-orang akan mengenalnya dengan provinsi dengan pemerintahan yang korup,
provinsi dinasti, dan keterbelakangan atau penuh kekerasan.
Cukup banyak riset dari perguruan
tingggi yang menunjukkan hal demikian.
Riset dilakukan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah
Mada (PSKK UGM), menunjukkan bahwa Banten bergerak ke arah bad govenance bukan good
governance. Riset juga menunjukkan bahwa partai politik dan asosiasi pengusaha
lokal sebagai lembaga non-pemerintah yang paling tidak dipercayai oleh
masyarakat.
Masalah penanganan kemiskinan, kesehatan
masyarakat, perekonomian daerah, pengelolaan sumber daya air, sarana dan
prasarana ditingkat kabupaten/kota selama 16 tahun ini masih memperihatinkan.
Belum lagi masalah pemenuhan infrastruktur, kesemrawutan angkutan kota,
masalah-masalah kesejahteraan sosial (gepeng, anjal, prostitusi, dan
kriminatlitas) sepertinya juga masih menghiasi wajah Banten diusianya yang
remaja ini.
Memaknai Sepi Ing
Pamrih Rame Ing Gawe
Diusianya yang keenambelas ini, Banten harus
lebih maju lagi, tidak hanya membangun pusat perkantoran megah, rumah pejabat
yang mewah dengan uang rakyat yang milyaran rupiah. Namun juga harus mampu
mendorong dan menciptakan program-program yang pro-rakyat sehingga mempunyai
efek kesejahteraan terhadap masyarakat sekitar.
Butuh komitmen dan kerjasama seluruh pimpinan
pemerintah kabupaten/kota dan provinsi yang dituangkan dalam agenda sinkonisasi
atau rapat bersama antar pemerintah
daerah secara nyata guna menyatukan pemikiran dan kebijakan. Bila tidak
dapat dipastikan janji-janji saat kampanye itu hanya menjadi iming-iming dan
rayuan gombal elite calon yang tanpa makna dan kosong. Karena sekeras apapun
usaha pemerintah provinsi tanpa adanya kerjasama dan dukungan pemerintah
kabupaten/kota tidak akan mengubah apapun tidak ada kerjasama, tidak ada
sinkronisasi, dan tak ada rencana kerja yang jelas, pada akhirnya tidak ada
harapan untuk mengubah apapun. Persoalan tidak harmonisnya pemerintah provinsi
dengan pemerintah daerah kabupaten/kota harus segera diubah provinsi Banten guna
mewujudkan provinsi Banten yang maju dan sejahtera.
Pemerintah Provinsi Banten harus harus mulai
memikirkan aktualisasi dan eksistensi “Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe” ini. Bukan hanya Gubernur, wakil
gubernur, Sekda, Bupati, dan Walikota namun adalah kita semua seluruh warga
provinsi Banten memulainya. Pengalaman berbagai suku dan bangsa telah
membuktikan bahwasanya dalam mengembangkan peradaban atau tatanan nilainya selalu
beranjak dari dari akar-akar budaya yang ada dan berkembang. Jepang dan korea
secara khusus menempatkan budaya asal sebagai titik sentral perubahan. Apa
warisan budaya banten yang dapat dikembangkan? Jawabannya yaitu menerapkan
filosofi semboyan “Sepi Ing Pamrih, Rame Ing Gawe, Banter tan Mbancangi, Dhuwur
tan Ngungkuli”. “Sepi Ing Pamrih, Rame Ing Gawe” adalah spirit rule of teh game dalam banyak perenungan dan aktivitas,
bukan hanya ditunjukkan untuk kalangan birokrasi saja, namun hendaknya harus menjadi
karakter seluruh masyarakat provinsi Banten.
Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe dari beberapa
penelusuran literatur kalimat ini merupakan salah satu semboyan luhur yang
tertanam dalam tradisi masyarakat sejak zaman Majapahit. “Sepi Ing Pamrih, Rame
Ing Gawe, Banter tan Mbancangi, Dhuwur tan Ngungkuli” artinya sepi dalam
pamrih, ramai (rajin/banyak) dalam bekerja, cepat dalam mendahului, tinggi
tanpa melebihi merupakan tanda salah
satu kebutuhan lahiriah manusia untuk memaknai dinamika kehidupan bahkan setara
dengan kebutuhan sandang, pangan, dan papan.
“Sepi Ing Pamrih, Rame Ing Gawe” merupakan
sesuatu yang dikonstruksikan oleh pendiri Banten ini. “Sepi Ing Pamrih, Rame
Ing Gawe” dan “Gawe Kuta Baluwarti Bata Kalawan Kawis” merupakan simbol
filosofi penuh makna yang secara historis telah tumbuh dan berkembang sebagai
sesuatu yang menyatu dengan kearifan lokal (local
wisdom) masyarakat Banten. Fiosofi ini barang kali menjadi pengikat mental
masyarakat bukan sekadar idiom dan kalimat retoris saja. “Sepi Ing Pamrih, Rame
Ing Gawe” adalah spirit rule of teh game
dalam banyak perenungan dan aktivitas, bukan hanya ditunjukkan untuk kalangan
birokrasi saja, namun hendaknya harus menjadi karakter seluruh masyarakat
provinsi Banten. “Sepi Ing Pamrih, Rame Ing Gawe” tidak pernah memberikan
pemalas keleluasaan, tidak mengajarkan janji kosong dan sikap yang tidak bertanggung jawab atau
sikap transaksional material yang melanggar norma hukum. Kita semua sepakat
bahwa Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe bukanlah sekadar ungkapan yang utopis. Kita
yakini bahwa kalimat ini memiliki makna dan memiliki cita-cita yang ideal bagi
kehidupan bermasyarakat.
Saya meyakini, jika “Sepi Ing Pamrih, Rame
Ing Gawe” mendapatkan porsi maknanya yang sesuai, niscaya kita tidak akan
mengenal yang namanya korupsi, kolusi, nepotisme, ketimpangan sosial antara si
kaya dan si miskin, atau hal-hal negatif lainnya yang sudah disebutkan di atas.
Tidak ada komentar: