Ads Top

Karut Marut Ujian Nasional

Karut Marut Ujian Nasional
KARUT-MARUT PENYELENGGARAAN UJIAN NASIONAL
oleh
ZAKI FAHRIZAL
Pendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana Universitas Sultan Ageng Tirtayasa


“Tidak ada anak yang bodoh atau pintar, yang ada hanyalah anak yang menonjol dalam beberapa kecerdasan.”
– Howard Gardner

Republik Indonesia sebagai sebuah bangsa sesungguhnya sudah dirintis sejak abad ke-20. Kebangkitan nasional menjadi salah satu titik penting sebagai langkah awal mencapai kemerdekaan. Berikutnya Sumpah Pemuda adalah momen penting yang menyatukan beragam perbedan. Sampai akhirnya, 17 Agustus 1945 menjadi titik puncak perjuangan Bangsa Indonesia.
Saat ini, sudah lebih dari 71 tahun Indonesia menikmati kemerdekaan. Dan apa arti kemerdekaan bagi kita? Dalam Pembukaan UUD 1945, kemerdekaan memiliki sebuah janji untuk (1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, (2) Memajukan kesejahteraan umum, (3) Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Tidak peduli siapa mereka, apakah orang kaya ataupun miskin. Tidak peduli di mana pun. “Mencerdaskan kehidupan bangsa” adalah sebuah janji yang harus dilunasi untuk setiap anak bangsa Indonesia.
Pendidikan dapat dipandang sebagai proses penting untuk memenuhi janji kemerdekaan. Pendidikan yang berkualitas akan mencetak generasi masa depan yang juga berkualitas. Sebagai contoh, pada tahun 1960-an, Korea Selatan masih menjadi negara berkembang yang tidak diperhitungkan. Namun saat ini, Korea Selatan menjadi negara industri yang diperhitungkan dalam kancah dunia. Contoh lain, kemajuan bangsa Eropa dengan Revolusi Industrinya merupakan efek dari zaman pembaharuan (Renaissance) setelah zaman kegelapan menyelimuti Eropa. Zaman pembaharuan di Eropa mendorong kebebasan berpikir kemudian muncullah masyarakat terdidik yang mendorong kemajuan. Korea Selatan dan bangsa Eropa tidaklah mungkin mengejar ketertinggalan tanpa kerja keras melalui sektor pendidikan.  Lalu bagaimana dengan bangsa Indonesia? Tak dapat dipungkiri bahwa pendidikan telah memegang peranan penting bagi perubahan negeri ini. Pada tahun 1945, ketika Soekarno dan Hatta menyatakan proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia, tingkat melek huruf rakyat Indonesia hanya 5%. Lalu, pada 2010 tingkat melek huruf  tersebut meningkat menjadi 92%. Bandingkan dengan negara seperti India dan Mesir yang sampai saat ini masih memiliki tingkat melek huruf sebesar 66%.
Semua contoh kasus tersebut bermuara di satu masalah utama, yaitu pendidikan. Pendidikan tidak dapat dilepaskan dari pendidikan formal, pendidikan informal, dan pendidikan non formal.  Sekolah  dengan berbagai jenjangnya, merupakan lembaga pendidikan formal yang memiliki peran penting dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana amanat pembukaan UUD 1945. Sekolah merupakan sarana yang sengaja dirancang untuk melaksanakan proses pendidikan dan pembelajaran.  Sekolah harus menjalankan perannya dengan baik, peran tersebut misalnya sekolah mempersiapkan peserta didiknya memiliki  pengetahuan, keterampilan dasar, dan nilai-nilai luhur yang dibutuhkan untuk masa depan peserta didiknya.
Di samping itu terdapat persoalan mendasar pendidikan yakni konsep pemerintah dalam “mendidik” anak-anak bangsa di sekolah dan lembaga pendidikan tinggi yang tampaknya hanya berorientasi pada wawasan kognitif semata. Misalnya penyelenggaraan dan materi ujian nasioanl (UN) yang mencerminkan pemerintah lebih menitikberatkan dan menaruh perhatian pada faktor kecerdasan intelektual atau “paper n pencil test” saja. Padahal berbagai literatur tentang pendidikan mengungkapkan bahwa faktor kecerdasan intelektual menyumbang 20% saja dari suksesnya seseorang dalam melakukan pekerjaan. Pendidikan yang baik seharusnya memiliki arah jelas bagi pengembangan beragam kecerdasan manusia (multiple intelligence). IQ (intelligence quotient) yang merupakan penjabaran dari kemampuan inetelektual dan akademik siswa dalam literatur pendidikan hanyalah sebagaian dari kecerdasasan yang dimiliki manusia. Menurut Howard Gardner pakar pendidikan kecerdasan majemuk mengatakan bahwa, di dalam diri setiap anak tersimpan sembilan jenis kecerdasan yang siap berkembang. Bagi Gardner tidak ada anak yang bodoh atau pintar, yang ada hanyalah anak yang menonjol dalam beberapa kecerdasan. Demikian seharusnya pemerintah dalam membuat kebijakan terkait hasil belajar siswa. Pemerintah harus memerhatikan kemampuan siswa yang begitu unik dan beragam.
Disadari atau tidak disadari, pendidikan di Indonesia identik dengan hafalan berbasis “kunci Jawaban” bukan pada pengertian apalagi pemahaman kognitif tingkat tinggi yang dikemukakan oleh Bloom yakni mencipta (creat). Fokus kegiatan di ujian nasional UN ini hanya berorientasi pada pencapaian nilai/skor ujian tertinggi dan bersifat sesaat. Padahal, menurut teori pendidikan konsep drilling ini adalah tingkatan wawasan kognitif paling rendah dalam proses pembelajaran dan hasil belajar siswa. Karena karut marut kebijakan pendidikan kita ini membuat masyarakat pemakai jasa pendidikan resah dan akhirnya pengeluaran biaya masyarakat untuk lembaga bimbingan belajar demikian besar, sementara itu di lain pihak lembaga bimbingan belajar berhasil memanfaatkan situasi kegundahan masyarakat dan menjadikannya sebagai peluang bisnis. Akhirnya, terjadilah fenomena dan praktik-praktik komersialisasi pendidikan oleh lembaga bimbingan belajar yang tumbuh subur di negeri ini. Pemaparan di atas baru seputar ketidaktepatan penilaian atau tes Ujian Nasional (UN) belum mengungkap masalah sistem pelaksanaan, sarana prasarana, biaya, serta efek Ujian Nasional bagi guru.
Lembaga Perlindungan Anak, Komisi Pelindungan Anak Indonesia, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), pengamat pendidikan, para siswa dan beberapa anggota DPR termasuk yang menyatakan dukungan atas penghapusan UN. Alasan yang pro penghapusan UN antara lain: (1) Ujian Nasional menjadi momok dan membuat siswa stres (walaupun sejak 2015 lalu, UN tidak lagi menjadi penentu kelulusan). KPAI sendiri menyampaikan bahwa tekanan UN sangat besar bagi anak. Banyak siswa yang stres sebelum pelaksanaan UN maupun setelah pelaksanaan UN. Bahkan ada siswa yang tidak lulus UN sampai bunuh diri. Mereka umumnya yang tidak lulus UN merasa malu terhadap hasil yang didapat. Tidak lulus UN merupakan aib, terlebih tingkat SMA/SMK yang nota bene syarat masuk dunia kerja atau perguruan tinggi. (2) Pihak sekolah juga terbebani untuk mempersiapkan UN dan mencapai target. Padahal banyak materi lain yang bisa didalami, seperti persiapan masuk universitas. Beban sekolah merupakan beban guru juga. Sekolah menuntut kepada guru agar mampu membuat siswa satu sekolah dengan predikat lulus. Padahal, guru juga manusia biasa yang mempunyai anak dan suami serta pekerjaan lain. Administrasi pembelajaran yang menumpuk, ditambah jam tambahan belajar di sekolah yang padat membuat guru sedikit menderita karena UN. (3) UN tidak terbukti signfikan meningkatkan kualitas pendidikan, motivasi, maupun moral siswa. Banyak kecurangan terjadi di UN. Seharusnya dengan adanya UN siswa diajarkan tentang nilai-nilai kejujuran dan optimisme bukan malah membuat siswa menjadi semakin tidak jujur. Siswa di sekolahkan dengan tujuan siswa tersebut menjadi ornang yang memiliki nilai-nilai atau karakter positif yang ada di masyarakat. Tetapi dengan diadakannya UN seperti melegalkan kecurangan contek-mencotek. Apalagi banyak yang tertangkap oknum pembuat kunci jawaban soal UN itu adalah guru. Ini sangat memperihatinkan. (4) Menghabiskan dana  tetapi fungsinya tidak jelas. Jika dihitung rinci, maka setiap siswa membutuhkan sekira Rp80 ribu sebagai peserta UN. Tahun 2015 tercatat 3.773.372 siswa SMP, 1.632.757 siswa SMA, 1.171.907 siswa SMK dan 632.214 siswa Kesetaraan menjadi peserta UN. Jadi penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) tahun 2015 menelan biaya hingga Rp560 miliar. UN 2015 sendiri akan diikuti oleh 7,3 juta siswa. Apakah masih perlu dilaksanakan UN jika setiap tahun pemerintah menghabiskan biaya Rp560 miliar? Seandainya dana itu dialokasikan untuk keperluan yang lebih penting dan mendesak. (5) Sarana Prasarana penyelenggaraan UN yang tidak sesuai. Banyak siswa yang tidak lulus UN karena faktor sarana prasana. Misalkan ada siswa yang pintar, tetapi karena dalam pengisian LJK UN banyak yang tidak tepat di lingkaran jawaban. Akhirnya setelah di koreksi dengan mesin scaner  nilai siswa pintar tersebut menjadi kecil. Ini yang menyebabkan siswa banyak yang tidak lulus. Selain kesalahan scaner, alat seperti penggaris, pensil dan papan ujian sangat diperlukan. Lalu pertanyaannya, bagaimana untuk siswa yang tidak mampu membeli? Tetapi beberapa tahun terakhir, sekolah-sekolah unggulan menggunakan UN berbasis komputer atau biasa disebut (UNCBT). Apakah sudah efektif dengan UNCBT? Jawabannya belum, kenapa? Karena hanya beberapa sekolah yang baru menggunakan UNCBT. Banyak sekolah belum menggunakan UNCBT terutama sekolah-sekolah yang ada di daerah terpencil, tertinggal, dan terluar. UNCBT selain komputer, juga harus tersedia koneksi internet.
25 November 2016 lalu, Mendikbud Muhadjir Effendy menyampaikan bahwa Ujian Nasional (UN) akan dihapus, atau lebih tepatnya ditiadakan sementara (moratorium). Mendikbud mengatakan bahwa moratorium tersebut sudah disetujui Presiden Jokowi, hanya tinggal menunggu keluarnya instruksi presiden (inpres). Adanya berita tersebut menjadi sorotan media dan masyarakat terutama siswa. Media langsung ramai memberitakannya. Seperti yang sudah diduga, gonjang-ganjing UN menimbulkan pro dan kontra. Inilah hal-hal yang rencananya diterapkan dan berlangsung ketika UN resmi dihapus, yaitu: (1) Penghapusan bersifat sementara. Dalam artian, suatu saat UN bisa dilaksanakan kembali, (2) Ujian Nasional diganti dengan ujian akhir. Untuk tingkat SMA, ujian akhir akan diatur oleh tiap provinsi, sedangkan ujian akhir SD dan SMP diatur pemerintah kota/kabupaten. Maka ujian akhir akan diatur dan dievaluasi masing-masing daerah. Menyerahkan evaluasi pendidikan ke tiap daerah merupakan langkah tepat. Mereka bisa menentukan tes yang sesuai, sebab kualitas pendidikan cenderung berbeda di tiap daerah. (3) Walaupun dipegang masing-masing provinsi/daerah, menurut Pak Muhadjir, pelaksanaan ujian akhir akan tetap dalam pengawasan Badan Standarisasi Nasional. Jadi tetap ada kontrol dan memiliki standar, tidak dilepas begitu saja, (4) Kalau dulu puluhan ribu soal ujian dikirim ke pelosok Indonesia dengan dijaga polisi, sekarang tidak  perlu lagi ada semacam itu. Maka harapannya, teknis pelaksanan ujiannya (non UN) bakal lebih praktis dan murah, (5) Keputusan kelulusan tetap ada pada pihak sekolah, berdasarkan performance siswa. Ujian akhir hanya menjadi salah satu komponen penilaian. (6) Sementara itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan fokus untuk meningkatkan dan melakukan pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia. Soalnya, dari hasil Ujian Nasional selama ini disimpulkan bahwa hanya 30 persen sekolah yang memenuhi standar yang ingin dicapai Indonesia, (7) Ada usulan dari Sutan Adil Hendra Wakil Ketua Komisi X DPR. Menurutnya, jika UN 2017 tidak ada, dananya bisa dialihkan untuk tunjangan guru serta perbaikan sarana pendidikan. Namun ada juga yang kontra dengan moratorium UN, termasuk sebagian praktisi serta pengamat pendidikan dan sosial, siswa dan anggota DPR. Beberapa alasannya adalah: (1) Tidak ada standar ujian/pengganti yang bisa menjadi patokan jika UN dihapus, (2) UN merupakan hal besar dan keputusan moratorium ini terburu-buru diambil tanpa adanya evaluasi, survei, serta diskusi yang memadai, (3) Bisa menimbulkan kemalasan siswa. Alasannya siswa semakin tidak mau membaca buku karena tidak ada tantangan dan menyepelekan nilai.
Tetapi wakil presiden Jusuf Kalla Rabu, 7 Desember 2016 memiliki pendapat yang berbeda dalam penghapusan sementara (moratorium) UN tahun 2017. JK mengatakan bahwa “Hasilnya (ratas) usulan moratorium (UN) itu tidak disetujui, tetapi disuruh kaji ulang agar hasilnya lebih maksimal”. Berita tersebut lantas membingungkan kita sebagai masyarakat. Ada dua pendapat yang kontradiksi padahal masih dalam satu kewenangan dan belum diputuskan secara resmi oleh Presiden Joko Widodo. Mendikbud kita saat ini Muhadjir Effendy memiliki gaya yang bertolak belakang dengan Mendikbud sebelumnya Anies Baswedan. Muhadjir Effendi dalam beberapa konsep kebijakannya lebih dahulu melempar kepada publik dibanding merancang atau membahasa di dalam kementerian yang beliau pimpin. Sebagai contoh beberapa pendapatnya yang pernah dilempar ke publik adalah konsep full day school. Beliau melempar konsep kebijakannya kepada publik untuk akhirnya mendapatkan masukan atas beberapa pertimbangan yang paling tepat. Menurut penulis ini memang baik, tetapi alangkah lebih baik jika dalam mengambil kebijakan dan keputusan dirancang dengan matang, tidak melemparkan konsep kebijakan kepada publik. Masyarakat akhirnya menjadi kebingungan. Apalagi dua pekan kemudian wakil presiden Jusuf Kalla menanggapi isi tersebut, hal ini semakin membuat masyarakat kebingungan dan merasa ada komunikasi yang tidak berjalan di kabinet yang sedang berjalan. Walau kelihatannya Mendikbud sudah optimis bahwa penghapusan sementara (moratorium) UN akan dimulai 2017 dan Wakil Presiden memiliki pendapat yang berbeda dalam penghapusan sementara (moratorium) UN tahun 2017.  Kita masih menunggu keputusan resmi pemerintah, khususnya Presiden. Apapun hasilnya, mudah-mudahan keputusan yang diambil memberikan angin segar bagi pendidikan di Indonesia.



Tidak ada komentar:

zakifahrizal. Diberdayakan oleh Blogger.