Cinta Masih Menjadi Tema Utama Dalam Sebuah Karya Sastra
Cinta memang salah satu rasa yang dapat
menginspirasi seseorang untuk berkarya. Dengan adanya rasa cinta dalam diri
seseorang mungkin kita dapat mencurahkan isi hati kita dalam sebuah tulisan
maupun dalam bentuk verbal. Dalam sebuah karya sastra khususnya novel
sepertinya tidak pernah luput dari hal-hal yang berbau cinta. Karena cinta
memang sebuah perasaan yang selalu ada dan dekat dalam diri kita.
Ketika saya membaca sebuah karya sastra yang
berjudul “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya
Hamka jelas sekali pengarang membubuhi novelnya dengan sebuah kisah percintaan
yang begitu dramatis. Cinta memang seperti tema yang menarik dalam sebuah karya
sastra khususnya novel yang patut dibahas dalam alur novel yang akan
diceritakan. Tidak berbeda jauh dengan novel yang pernah saya baca pula yang
berjudul “Layar Terkembang” karya
Sutan Takdir Alisyahbana yang memang sebagian besar cerita yang pengarang
tuliskan menceritakan tentang percintaan.
Kedua novel tersebut memang tidak secara utuh
menceritakan tentang percintaan semata, banyak nilai-nilai yang pengarang
hadirkan dalam karya sastra mereka. Seperti halnya dalam sebuah karya Hamka
yang berjudul “Di Bawah Lindungan Ka’bah”
merupakan suatu novel yang memiliki pesan moral yang patut untuk kita
apresiasikan. Novel ini memiliki nilai-nilai religi yang sangat apik untuk
ditelusuri. Dalam novel ini Hamka mengambil latar di sebuah Negara di mana
seluruh umat islam menunaikan Ibadah Haji. Hamka merupakan seorang sastrawan
yang memiliki pengetahuan yang sangat luas dan karya-karyanya sangat terkenal
di kalangan pencinta novel sastra.
Jika kita membaca novel ini pasti kita akan
merasakan suatu emosi yang dapat mempermainkan perasaan pembaca ketika
membacanya. Karena pengarang begitu pandai mengatur jalannya cerita sehingga
novel ini dapat mencampuradukkan perasaan pembaca ketika merasakan sedih dan
kesal. Ketika saya membacanya saya dapat merasakan suatu perasaan sedih ketika
ibunda Hamid salah satu tokoh dalam novel ini meninggal dunia dan yang begitu
menyedihkan ketika kedua tokoh utama Hamid dan Zainab harus meninggal dunia dan
membawa cinta mereka ke dunia yang berbeda.
Menurut saya, Hamka ketika menceritakan novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” ini
menggunakan bahasa-bahasa yang cukup dimengerti oleh pembacanya. Walaupun
memang bahasa yang digunakan merupakan bahasa melayu pasar yang ketika itu
merupakan bahasa yang sering digunakan dalam percakapan sehari-hari, tetapi saya
dapat dengan mudah untuk mengambil pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh
pengarang.
Kemudian ketika saya amati kembali bahwa novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” ini
sepertinya merupakan suatu kisah yang nyata yang dialami oleh pengarang sendiri.
Ini dapat dilihat pada cerita bagian ”Mekkah pada tahun 1927” bahwa di situ tokoh ‘saya’ adalah pengarang itu sendiri yang sedang
menunaikan ibadah haji dan dia mempunyai teman bernama Hamid. Maka di Mekkahlah
Hamid menceritakan tentang kisah hidupnya tersebut kepada tokoh ‘saya’ dan mungkin
Hamid bersedia bahwa kisah hidupnya ini untuk dipublikasikan kepada masyarakat
agar kisah hidupnya dapat dijadikan pelajaran bagi kehidupan kita di masa yang
akan datang.
Sepertinya memang banyak nilai-nilai yang ingin
pengarang tampilkan dalam karya sastra tersebut. Setelah saya membaca novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” ini saya
bisa mengambil pesan yang sangat berharga untuk dijadikan pelajaran bagi diri saya.
Contohnya nilai-nilai yang terkandung dalam novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” ini yaitu:
1) Nilai
religius
·
Dalam novel ini nilai
religi yang dapat saya ambil adalah ketika tokoh Hamid sedang menunaikan ibadah
haji ke kota Mekkah. Di sini nilai religi begitu kental dan memiliki nilai
religius yang cukup dalam. Sampai-sampai judul novel ini memiliki makna yang
sangat religius.
2) Nilai
budaya
·
Dalam hal ini nilai
budaya yang bisa saya lihat adalah ketika Zaenab ingin dijodohkan oleh orang
tua dengan seseorang yang masih saudaranya. Dengan ini pengarang ingin
menjelaskan bahwa pada masa itu masih adanya adat istiadat yang menerangkan
tentang perjodohan.
3) Nilai
sosial
·
Dalam novel ini nilai
sosial yang dapat saya ambil adalah ketika Engku Haji Ja’far mengangkat Hamid
menjadi anak angkatnya dan membiayai semua kebutuhan sekolahnya. Karena Engku
Haji Ja’far merasa kasihan melihat keadaan Hamid yang sudah tidak memiliki ayah
lagi. Di sini pengarang ingin menerangkan bahwa kita sesama manusia harus
saling tolong-menolong dan selalu ingat dengan orang yang lebih rendah dari
kita.
4) Nilai
etika
·
Dalam novel ini nilai
etika yang bisa saya ambil adalah di mana Hamid begitu menghormati orang yang
lebih tua dan selalu mematuhi apa yang
disuruh ibunya. Di sini saya dapat mengambil sisi positif dari sifat
Hamid yang selalu bersikap sopan kepada orang yang lebih tua.
·
Kemudian nilai etika
yang bisa saya ambil adalah ketika Hamid bersedia berjualan kue keliling untuk
menghidupi dia dan ibunya. Dalam hal ini Hamid tidak merasa malu dan rela untuk
tidak sekolah karena harus memenuhi kebutuhan hidupnya. Maka bisa saya lihat
bahwa Hamid begitu peduli dan sayang kepada ibunya.
5) Nilai
estetika
·
Di sini nilai estetika yang
bisa saya nikmati adalah ketika pengarang mendeskripsikan keindahan kota Mekkah
dengan begitu detail. Dengan ini pembaca dapat membayangkan bagaimana suasana
kota Mekkah tersebut.
Ketika membaca novel “Di Bawah Lindungan Ka’bah” ini memang pengarang tidak secara utuh
membahas tentang cinta, banyak sesuatu yang lain yang disuguhkan pengarang
dalam novelnya. Tidak berbeda pula dengan novel selanjutnya yang pernah saya
baca yaitu novel yang berjudul “Layar
Terkembang” karya Sutan Takdir Alisyahbana yang mengisahkan tentang
perjuangan seorang wanita yang ingin kedudukannya sederajat dengan laki-laki.
Ini dapat dikatakan sebuah novel yang menerangkan emansipasi wanita pada masa
itu.
Kisah yang diceritakan dalam novel “Layar Terkembang” ini adalah kisah seorang
kakak beradik yang berbeda watak. Di sini tokoh Tuti diibaratkan sebagai
seorang wanita yang pemberani, tangguh, dan selalu aktif dalam setiap
perkumpulan. Tetapi, Maria adalah gadis yang periang, manja dan selalu
menjalankan kehidupannya dengan suka cita. Perbedaan ini lah yang pada saatnya
dapat membuat kedua kakak beradik ini bertengkar hebat.
Jika saya lihat bahwa banyak kisah-kisah seperti
novel ini dalam masa sekarang yang memiliki alur cerita yang sama. Karena pada
masa sekarangpun banyak wanita-wanita yang ingin memperjuangkan kedudukannya
agar sederajat dengan laki-laki. Ini sama dengan tokoh Tuti yang selalu
mengikuti perkumpulan-perkumpulan yang membahas tentang peranan wanita yang
dalam kehidupannya jangan sampai menjadi alat bagi laki-laki. Dengan seringnya
Tuti mengikuti perkumpulan di mana-mana sampai akhirnya dia menjadi ketua dari
perkumpulan tersebut. Dari kisah ini saya begitu kagum dengan pengarang bahwa
kisah kisah emansipasi wanita seperti ini bisa diangkat pada masa lalu.
Dalam novel ini yang bisa saya apresiasikan kembali
adalah sebuah kisah romantika percintaan yang begitu elok. Ini kisah tentang
percintaan Yusuf dan Maria. Mereka yang pertama kali bertemu di gedung akuarium
sudah jatuh hati pada pandangan pertama. Setiap harinya mereka melalui
hari-hari berdua dengan bahagia. Ini sampai membuat Tuti begitu iri pada
adiknya yang mempunyai kekasih yang sayang kepadanya. Ini juga merupakan suatu
kisah yang sering kita dengar di lingkungan kita sehari-hari.
Dalam karya ini saya dapat pula melihat bahwa banyak
pesan-pesan yang ingin disampaikan pengarang dalam novel tersebut. Pesan yang
dapat saya ambil adalah bahwa kita sebagai manusia harus menerima kodrat yang
telah Tuhan kasih pada kita dan perempuanpun
harus memiliki pengetahuan yang luas sehingga dapat memberikan pengaruh yang
sangat besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan demikian perempuan
dapat lebih dihargai kedudukannya di masyarakat.
Maka dari itu, menurut saya bahwa novel ”Layar Terkembang” ini pula merupakan
suatu novel yang patut untuk kita baca dan kita pahami nilai-nilai yang
terkandung dalam isi novel tersebut. Karena bukan hanya dalam novel ”Di Bawah Lindungan Ka’bah” yang
memiliki nilai-nilai yang ingin ditampilkan oleh pengarang, tetapi dalam novel ”Layar Terkembang” ini pun pengarang
menyuguhkan nilai-nilai yang dapat diambil oleh pembaca. Adapun nilai-nilai
yang dapat saya apresiasikan adalah:
Ø
Nilai
budaya
·
Dalam
novel ini ketika saya membacanya pengarang membubuhkan tentang nilai budaya
ketika dalam novel ini menceritakan tentang kunjungan
Tuti, Maria dan ayahnya kepada paman dan bibinya untuk merayakan kelulusan
Maria. Kemudian merekapun menonton sebuah
sandiwara Sandyakala ning Majapahit yang dipertunjukan oleh
kelompok Pemuda Baru. Dalam hal ini pengarang menampilkan kebudayaan kita
tersebut pada kisah novelnya.
·
Dalam
novel inipun pengarang dalam menceritakan kisahnya menggunakan bahasa melayu,
bahasa melayu yang digunakan Sutan Takdir Alisyahbana merupakan bahasa melayu
yang sering digunakan oleh masyarakat kita pada masa lalu. Ini merupakan suatu
nilai budaya yang diangkat oleh pengarang agar pembaca tahu bahwa pada masa
lalu masyarakat kita menggunakan bahasa melayu dalam percakapannya.
Ø
Nilai
sosial
·
Dalam
hal ini ketika saya membacanya pengarang menceritakan tentang kehidupan
masyarakat pada masa lalu. Di mana pada masa itu kehidupan masyarakat kita
masih jauh dari kata layak. Karena pada masa itu keadaan negara kita masih
diduduki oleh pemerintah Belanda yang menguasai negara kita.
Ø
Nilai
etika
·
Dalam
hal ini nilai etika yang bisa saya lihat adalah di mana Maria selalu sopan
terhadap oarang yang lebih tua darinya. Di sini Maria diceritakan sesosok
wanita yang penurut dan selalu ingin membahagiakan orang-orang yang ada di sekitarnya.
Melihat hal ini saya dapat menilai bahwa etika yang seperti ini harus selalu
kita lakukan.
Ø
Nilai
religius
·
Dalam
nilai religius pada novel ”Layar
Terkembang” ini pengarang menceritakan bahwa Wiriaatmaja ayah dari Maria
dan Tuti, seorang yang memegang teguh agama. Beliau selalu taat dalam
melaksanakan ibadahnya.
·
Dalam
nilai religius juga di dalam novel inipun menceritakan tentang seseorang yang
tidak akan percaya akan agama. Dia berpendapat bahwa agama itu dikerjakan
apabila tidak ada sesuatu apa-apa lagi yang diharapkan dari hidup ini. Jika
kita sudah sudah putus asa akan hidup ini barulah mencari agama dan jika harus
memegang agama, maka agama itu harus sesuai dengan akal dan terasa oleh hati.
Dengan melihat hal tersebut menurut saya kisah novel
“Layar Terkembang” dengan “Di
Bawah Lindungan Ka’bah” sama-sama memiliki alur cerita yang menarik. Satu
sama lain memiliki keistimewaan tersendiri yang ingin ditampilkan oleh
pengarang dalam karyanya. Tetapi, bagi saya sebagai penikmat karya satra
tersebut tetap saja cinta yang menjadi tema utama dalam kedua novel tersebut.
Walaupun mungkin sebenarnya bukan cinta yang ingin ditonjolkan pengarang kepada
para pembacanya.
Ini seperti pembuktian bahwa setiap orang memang
tidak bisa hidup tanpa cinta. Cinta memang bukan sekadar rasa yang kita
curahkan kepada lawan jenis saja, tetapi cinta bisa kita apresiasikan kepada
orang tua, sahabat, teman ataupun saudara kita. Cinta memang sepertinya menjadi
sebuah rasa yang akan selalu ada dalam setiap diri seseorang. Karena rasa cinta
memang sebuah anugerah yang diberikan Tuhan kepada umatNya.
Menurut saya kedua novel ini merupakan sebuah novel
yang dapat mengilhami banyak orang yang membacanya. Ketika saya membaca kedua
novel tersebut, saya dapat merasakan sesuatu yang berharga dari kedua kisah
tersebut. Kisah yang menurut saya dapat memberikan pelajaran untuk hidup ini,
agar kelak saya bisa menjalani hidup ini menjadi lebih baik lagi. Memang sebuah
hidup yang diawali dengan sebuah rasa yang indah, sepertinya akan berakhir
dengan indah pula. Sama halnya dengan kedua novel tersebut yang mengisahkan
alur cerita yang dibangun dengan rasa cinta maka akhir dari kisahnya pun begitu
mengharukan.
Dalam hal ini menurut saya memang seorang pengarang
harus pintar mencari tema yang ingin dituangkan dalam sebuah karyanya. Karena
dengan tema yang menarik, maka dapat menarik para pembaca untuk membaca karyanya.
Tema cinta menurut saya memang masih menjadi tema yang banyak diminati oleh
para pengarang. Karena dengan cinta kita dapat meluapkan emosi kita dalam
bentuk sebuah tulisan.
Sebenarnya dalam sebuah karya sastra tema yang akan
ditampilkan oleh pengarang dalam karya sastra tidak pernah dibatasi oleh apapun.
Kita dapat mengambil tema apapun yang dapat menginspirasi diri kita untuk
berkarya. Tetapi, tetap saja menurut saya cinta menjadi harga mati untuk para
pengarang dalam menentukan tema untuk berkarya.
Maka dari itu, menurut saya cinta merupakan tema
yang pasti akan ditampilkan pengarang dalam sebuah karyanya. Karena menurut
saya dengan cinta kita dapat menginterpretasikan apapun yang ada di sekeliling
kita. Cinta bagi saya merupakan rasa yang dapat memberikan rasa nyaman, tentram
dan bahagia. Dengan cinta pengarang dapat menuangkan perasaan yang ada
dibenaknya dengan menghasilkan sebuah karya.
Tidak ada komentar: