KAJIAN PUISI Mata yang Memberi
Kajian Sosiologi Sastra dalam Antologi Puisi
“Mata Yang Memberi”
karya Azhar
1.
Kajian puisi pertama
CERITA DARI JAKARTA
Matahariku pecah di kuburan
Orang-orang tercinta dibunuh dalam prahara
Kepada siapa aku teriakkan perih yang menggunung
Bulan mati dalam darah
Sedang angin tak lagi menyejukkan
Aku berjalan sendirian
Setelah mata pencarian dihanguskan
anak dan istri cuma tinggal kenangan
Aku lelaki tua yang luka dan kesepian
Berjalan
Terus berjalan
Sunyi dan luka
A. Kajian secara sintaksis
Menurut Ramlan dalam (Suherlan dan Odien R, 2004: 195-196)
mendefinisikan sintaksis sebagai bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang
membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan frasa; berbeda dengan
morfologi yang membicarakan seluk beluk kata dan morfem. . Karena sintaksis merupakan sebuah ilmu yang membahas tentang hal
tersebut. Adapun penjabaran dari semua itu adalah:
1.
Frasa
Menurut Kridalaksana (2008: 66)
mendefinisikan frasa sebagai gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak
predikatif. Kemudian menurut Kentjono dalam (Suherlan dan Odien R., 2004: 203)
Frasa sebagai satuan gramatikal yang terdiri atas dua kata atau lebih dari dua
kata yang tidak berciri klausa dan yang pada umumnya menjadi pembentuk klausa.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa frasa
merupakan satuan gramatikal yang terdiri atas dua kata atau lebih yang
membentuk suatu kesatuan, tidak bersifat predikatif, tidak berciri klausa,
merupakan unsur pembentuk klausa, dan menjadi salah satu unsur atau fungsi
kalimat. Adapun contoh frasa dari puisi yang berjudul ”
Cerita dari Jakarta ” sebagai berikut:
1) Orang-orang tercinta
2) Lkjhiukhfoishlkdf
3) Lkjhgkljhkjngl.,m
4) Lkjxhlfknlgknmlk
2. Klausa
Klausa merupakan unsur-unsur
yang termasuk dalam tataran sintaksis. Ada beberapa definisi mengenai klausa
yang dikemukakan para ahli. Menurut Suherlan dan Odien
R (2003:215) menyatakan
bahwa, ”klausa merupakan satuan gramatikal yang terdiri atas beberapa kata,
yang sekurang-kurangnya terdiri atas fungsi subjek dan predikat, dengan
disertai objek, pelengkap, keterangan atau tidak, dan berpotensi menjadi
kalimat”.
Sedangkan menurut Chaer
(2003:231) menyatakan bahwa, ”klausa adalah satuan sintaksis berupa runtutan
kata-kata berkonstruksi predikatif”. Selanjutnya menurut Kridalaksana dalam (Suherlan dan Odien R, 2003:215) yang memberikan batasan terhadap klausa sebagai satuan
gramatikal yang berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas
subjek dan predikat, dan mempunyai potensi untuk menjadi kalimat.
Berdasarkan beberapa pendapat
para ahli mengenai definisi klausa, dapat disimpulkan bahwa klausa merupakan
satuan gramatikal yang terdiri atas beberapa kata, memiliki subjek dan
predikat, unsur objek, pelengkap, dan keterangan boleh ada atau tidak serta
mempunyai potensi menjadi kalimat. Adapun contoh klausa
dari puisi yang berjudul ” Cerita
dari Jakarta ” sebagai berikut:
1) Kjgabkjf
2) Jhgfjzbjkf
3) Jhzgdfjkbf,
3. Kalimat
Menurut Lamudin Finoza (2004: 111) Kalimat adalah bagian
ujaran yang mempunyai struktur minimal Subjek (S) dan Perdikat (p) dan
intonasinya menunjukan bagian ujaran itu sudah lengkap dengan makna. Intonasi
final kalimat dalam bahasa tulis dilambangkan dengan tanda titik, tanda Tanya,
atau tanda seru.
Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa kalimat merupakan
satuan gramatikal yang paling lengkap dan mempunyai struktur sekurang-kurangnya
terdiri dari subjek dan predikat. Kemudian ditandai dengan adanya tanda baca
baik berupa tanda titik, tanda Tanya maupun tanda seru. Adapun contoh kalimat
dari puisi yang berjudul ” Cerita
dari Jakarta ” sebagai berikut:
1) Kjgrjsbh,fm
2) Lkjugrasdhbkrjnk
3) Kuyjhgrsnf,
B. Kajian secara pragmatik
Menurut George dalam (Kunjana Rahardi, 2007: 12) bahwa
pragmatik adalah ilmu tentang makna bahasa, dalam kaitan dengan keseluruhan
perilaku umat manusia dan tanda-tanda atau lambang-lambang bahasa yang ada di
sekelilingnya. Menurut John R. Searle dalam (Kunjana Rahardi, 2007: 70)
menyatakan bahwa dalam praktik penggunaan bahasa di masyarakat, terdapat
setidaknya tiga macam tindak tutur di dalam pemakaian bahasa yang sesungguhnya
di masyarakat tersebut secara berturut-turut dapat disebutkan seperti berikut
ini:
1.
Lokusi yaitu tindak bertutur
dengan kata, frasa dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata,
frasa, dan kalimat itu.
2.
Ilokusi yaitu tindak melakukan
sesuatu dengan maksuddan fungsi yang tertentu pula.
3.
Perlokusi yaitu tindak
menumbuhkan pengaruh (effect) kepada
diri sang mitra tutur.
C. Kajian secara semantik
Dalam segi semantik pembaca diajak untuk menafsirkan ke
arah makna, karena semantik adalah ilmu tentang makna. Menurut Verhaar dalam (Suherlan dan Odien R, 2004: 242)
mendefinisikan semantik sebagai cabang linguistik yang meneliti arti atau
makna.
D. Kajian isotopi
Isotopi adalah istilah pokok lain dalam kosakata.
Menurut Gremas dalam (John. Luchte, 2001: 209-210) meyakini bahwa isotopi
adalah pembedaan kandungan mimpi antara yang “laten” dan yang “tampil”. Dalam
puisi yang berjudul “Cerita dari Jakarta ” karya Azhar
terdapat beberapa isotopi, yaitu:
a.
Isotopi manusia :
b.
Isotopi perbuatan :
c.
Isotopi alam :
E. Kajian secara sosiologi
sastra
Swingewood dalam Faruk (2003: 1) mendefinisikan
sosiologi sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam
masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial, sedangkan
Ritzer dalam (Faruk, 2003: 2) menganggap sosiologi sebagai suatu ilmu
pengetahuan yang multi paradigma. Maksudnya, di dalam ilmu tersebut dijumpai
beberapa paradigma yang saling bersaing satu sama lain dalam usaha merebut
hegemoni dalam lapangan sosiologi secara keseluruhan. Paradigma itu sendiri diartikannya
sebagai satu citra fundamental mengenai pokok persoalan dalam suatu ilmu
pengetahuan, yaitu: paradigma fakta-fakta sosial, paradigma definisi sosial,
dan paradigma perilaku sosial.
Selanjutnya dikatakan bahwa sosiologi berusaha menjawab
pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya
dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Dalam hal ini tugas sosiologi sastra
adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayal dan situasi ciptaan
pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal usulnya. Tema dan gaya yang ada dalam karya
asastra yang bersifat pribadi itu harus diubah menjadi hal-hal yang bersifat
sosial.
Sosiologi adalah telaah yang
obyektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat, telaah tentang lembaga dan
proses sosial. Seperti halnya sosiologi, sastra juga berurusan dengan manusia
dalam masyarakat dengan di dalamnya terdapat usaha manusia untuk menyesuaikan
diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Pendekatan terhadap sastra
yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakat ini oleh beberapa penulis disebut
sosiologi sastra (Damono, 1978: 6).
Menurut Damono (1978: 2), ada dua
kecenderungan utama dalam telaah sosiologis terhadap sastra, yaitu: 1)
Pendekatan yang berdasarkan anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses
sosial ekonomi belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor luar sastra untuk
membicarakan sastra; 2) Pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan
penelitian. Metode yang digunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis teks
untuk mengetahui lebih dalam lagi gejala di luar sastra.
Menurut Ritzer dalam (Faruk, 2003: 4) setidaknya ada
tiga paradigma yang dasar dalam sosiologi, yaitu paradigma fakta-fakta sosial,
paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial. Kemudian menurut
Wellek dan Warren
dalam (Faruk, 2003: 4) membagi telaah sosiologi menjadi tiga klasifikasi yaitu:
1.
Sosiologi Pengarang : yakni
yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain
yang menyangkut diri pengarang.
2.
Sosiologi Karya Sastra : yakni
mempermasalahkan tentang suatu karya sastra yang menjadi pokok telaah adalah
tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau
amanat yang hendak disampaikannya.
3.
Sosiologi Sastra : yang
mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.
Klasifikasi sosiologi sastra
menurut Wellek dan Warren
tidak jauh berbeda dengan klasifikasi kajian sosiologi sastra yang dikemukakan
oleh Ian Watt. Ian Watt dalam esainya yang berjudul “Literatur Society” (Damono, 1978: 3-4) yang membicarakan hubungan
timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat, yaitu antara lain:
(1)
Konteks
sosial pengarang.
Konteks sosial pengarang ada
hubungannya dengan posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca,
dan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi si pengarang sebagai perseorangan
dan isi karya sastranya. Yang terutama harus diteliti adalah (a) bagaimana si
pengarang mendapatkan mata pencahariannya, apakah ia menerima bantuan dari
pengayom atau dari masyarakat secara langsung, atau dari kerja rangkap, (b)
profesionalisme dalam kepengarangan: sejauh mana pengarang itu menganggap
pekerjaannya sebagai profesi, dan (c) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang
dalam hubungan antara pengarang dan masyarakat, sebab masyarakat yang dituju
sering mempengaruhi bentuk dan isi karya sastra.
(2)
Sastra
sebagai cermin masyarakat (Mimetik)
Sejauh mana sastra dapat dianggap
mencerminkan keadaan masyarakat pada waktu karya itu ditulis, yang terutama
mendapat perhatian adalah (a) sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan
masyarakat pada waktu ditulis, (b) sifat lain dari yang lain seorang pengarang
sering mempengaruhi pemilihan penampilan faktor-faktor sosial dalam karyanya,
(c) genre sastra merupakan sikap sosial kelompok tertentu, bahkan sikap sosial
seluruh masyarakat, (d) sastra berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat
secermat-cermatnya, mungkin saja tidak dipercaya sebagai cermin pandangan
sosial pengarang harus diperhitungkan apabila kita menilai karya sastra sebagai
cermin masyarakat.
(3)
Fungsi
sosial sastra.
Hal yang perlu dipertanyakan
adalah sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan
seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial. Pada hubungan ini, ada
tiga hal yang harus diperhatikan yaitu sudut pandang ekstrinsik kaum Romantik,
sastra bertugas sebagai penghibur adanya kompromi dapat dicapai dengan meninjau
slogan klasik bahwa sastra harus menggunakan sesuatu dengan cara menghibur
(Damono, 1978: 3-4).
B.
Kajian puisi kedua
LAGU TANAH KEMARAU
Matahari menyengatkan kegelisahan
Di atas ladang kerinduan
Burung-burung memekikkan pedih
di dahan-dahan letih
melawan kemarau dengan perih
tapi kesabaran harus berulang
agar harapan tak lekas hilang
bajak dan sapi di kandang
dijaga dengan saying
duhai, ibu
harapan dan kasih saying
modalku untuk berjuang
A. Kajian secara sintaksis
Menurut Ramlan dalam (Suherlan dan Odien R, 2004: 195-196)
mendefinisikan sintaksis sebagai bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang
membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan frasa; berbeda dengan
morfologi yang membicarakan seluk beluk kata dan morfem. . Karena sintaksis merupakan sebuah ilmu yang membahas tentang hal
tersebut. Adapun penjabaran dari semua itu adalah:
1.
Frasa
Menurut Kridalaksana (2008: 66)
mendefinisikan frasa sebagai gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak
predikatif. Kemudian menurut Kentjono dalam (Suherlan dan Odien R., 2004: 203)
Frasa sebagai satuan gramatikal yang terdiri atas dua kata atau lebih dari dua
kata yang tidak berciri klausa dan yang pada umumnya menjadi pembentuk klausa.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa frasa merupakan satuan
gramatikal yang terdiri atas dua kata atau lebih yang membentuk suatu kesatuan,
tidak bersifat predikatif, tidak berciri klausa, merupakan unsur pembentuk
klausa, dan menjadi salah satu unsur atau fungsi kalimat. Adapun contoh frasa
dari puisi yang berjudul ” Lagu Tanah Kemarau” sebagai berikut:
1) Jhguygfrijoi
2) Lkjhiukhfoishlkdf
3) Lkjhgkljhkjngl.,m
4) Lkjxhlfknlgknmlk
2. Klausa
Klausa merupakan unsur-unsur
yang termasuk dalam tataran sintaksis. Ada beberapa definisi mengenai klausa
yang dikemukakan para ahli. Menurut Suherlan dan Odien
R (2003:215) menyatakan
bahwa, ”klausa merupakan satuan gramatikal yang terdiri atas beberapa kata,
yang sekurang-kurangnya terdiri atas fungsi subjek dan predikat, dengan
disertai objek, pelengkap, keterangan atau tidak, dan berpotensi menjadi
kalimat”.
Sedangkan menurut Chaer
(2003:231) menyatakan bahwa, ”klausa adalah satuan sintaksis berupa runtutan
kata-kata berkonstruksi predikatif”. Selanjutnya menurut Kridalaksana dalam (Suherlan dan Odien R, 2003:215) yang memberikan batasan terhadap klausa sebagai satuan
gramatikal yang berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas
subjek dan predikat, dan mempunyai potensi untuk menjadi kalimat.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli mengenai
definisi klausa, dapat disimpulkan bahwa klausa merupakan satuan gramatikal
yang terdiri atas beberapa kata, memiliki subjek dan predikat, unsur objek,
pelengkap, dan keterangan boleh ada atau tidak serta mempunyai potensi menjadi
kalimat. Adapun contoh klausa dari puisi yang berjudul ” Lagu Tanah Kemarau” sebagai berikut:
1) Kjgabkjf
2) Jhgfjzbjkf
3) Jhzgdfjkbf,
3. Kalimat
Menurut Lamudin Finoza (2004: 111) Kalimat adalah bagian
ujaran yang mempunyai struktur minimal Subjek (S) dan Perdikat (p) dan
intonasinya menunjukan bagian ujaran itu sudah lengkap dengan makna. Intonasi
final kalimat dalam bahasa tulis dilambangkan dengan tanda titik, tanda Tanya,
atau tanda seru.
Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa kalimat merupakan satuan
gramatikal yang paling lengkap dan mempunyai struktur sekurang-kurangnya
terdiri dari subjek dan predikat. Kemudian ditandai dengan adanya tanda baca
baik berupa tanda titik, tanda Tanya maupun tanda seru. Adapun contoh kalimat
dari puisi yang berjudul ” Lagu Tanah Kemarau” sebagai berikut:
1) Kjgrjsbh,fm
2) Lkjugrasdhbkrjnk
3) Kuyjhgrsnf,
B. Kajian secara pragmatik
Menurut George dalam (Kunjana Rahardi, 2007: 12) bahwa
pragmatik adalah ilmu tentang makna bahasa, dalam kaitan dengan keseluruhan
perilaku umat manusia dan tanda-tanda atau lambang-lambang bahasa yang ada di
sekelilingnya. Menurut John R. Searle dalam (Kunjana Rahardi, 2007: 70)
menyatakan bahwa dalam praktik penggunaan bahasa di masyarakat, terdapat
setidaknya tiga macam tindak tutur di dalam pemakaian bahasa yang sesungguhnya
di masyarakat tersebut secara berturut-turut dapat disebutkan seperti berikut
ini:
1.
Lokusi yaitu tindak bertutur
dengan kata, frasa dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata,
frasa, dan kalimat itu.
2.
Ilokusi yaitu tindak melakukan
sesuatu dengan maksuddan fungsi yang tertentu pula.
3.
Perlokusi yaitu tindak
menumbuhkan pengaruh (effect) kepada
diri sang mitra tutur.
C. Kajian secara semantik
Dalam segi semantik pembaca diajak untuk menafsirkan ke
arah makna, karena semantik adalah ilmu tentang makna. Menurut Verhaar dalam (Suherlan dan Odien R, 2004: 242)
mendefinisikan semantik sebagai cabang linguistik yang meneliti arti atau
makna.
D. Kajian isotopi
Isotopi adalah istilah pokok lain dalam kosakata.
Menurut Gremas dalam (John. Luchte, 2001: 209-210) meyakini bahwa isotopi
adalah pembedaan kandungan mimpi antara yang “laten” dan yang “tampil”. Dalam
puisi yang berjudul “Lagu Tanah Kemarau”
karya Azhar terdapat beberapa isotopi, yaitu:
a.
Isotopi manusia :
b.
Isotopi perbuatan :
c.
Isotopi alam :
E. Kajian secara sosiologi
sastra
Swingewood dalam Faruk (2003: 1) mendefinisikan
sosiologi sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam
masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial, sedangkan
Ritzer dalam (Faruk, 2003: 2) menganggap sosiologi sebagai suatu ilmu
pengetahuan yang multi paradigma. Maksudnya, di dalam ilmu tersebut dijumpai
beberapa paradigma yang saling bersaing satu sama lain dalam usaha merebut
hegemoni dalam lapangan sosiologi secara keseluruhan. Paradigma itu sendiri
diartikannya sebagai satu citra fundamental mengenai pokok persoalan dalam
suatu ilmu pengetahuan, yaitu: paradigma fakta-fakta sosial, paradigma definisi
sosial, dan paradigma perilaku sosial.
Selanjutnya dikatakan bahwa sosiologi berusaha menjawab
pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya
dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Dalam hal ini tugas sosiologi sastra
adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayal dan situasi ciptaan
pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal usulnya. Tema dan gaya yang ada dalam karya
asastra yang bersifat pribadi itu harus diubah menjadi hal-hal yang bersifat
sosial.
Sosiologi adalah telaah yang
obyektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat, telaah tentang lembaga
dan proses sosial. Seperti halnya sosiologi, sastra juga berurusan dengan
manusia dalam masyarakat dengan di dalamnya terdapat usaha manusia untuk
menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Pendekatan
terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakat ini oleh beberapa
penulis disebut sosiologi sastra (Damono, 1978: 6).
Menurut Damono (1978: 2), ada dua
kecenderungan utama dalam telaah sosiologis terhadap sastra, yaitu: 1)
Pendekatan yang berdasarkan anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses
sosial ekonomi belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor luar sastra untuk
membicarakan sastra; 2) Pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan
penelitian. Metode yang digunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis
teks untuk mengetahui lebih dalam lagi gejala di luar sastra.
Menurut Ritzer dalam (Faruk, 2003: 4) setidaknya ada
tiga paradigma yang dasar dalam sosiologi, yaitu paradigma fakta-fakta sosial,
paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial. Kemudian menurut
Wellek dan Warren
dalam (Faruk, 2003: 4) membagi telaah sosiologi menjadi tiga klasifikasi yaitu:
1.
Sosiologi Pengarang : yakni
yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain
yang menyangkut diri pengarang.
2.
Sosiologi Karya Sastra : yakni
mempermasalahkan tentang suatu karya sastra yang menjadi pokok telaah adalah
tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau
amanat yang hendak disampaikannya.
3.
Sosiologi Sastra : yang
mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.
Klasifikasi sosiologi sastra
menurut Wellek dan Warren
tidak jauh berbeda dengan klasifikasi kajian sosiologi sastra yang dikemukakan
oleh Ian Watt. Ian Watt dalam esainya yang berjudul “Literatur Society” (Damono, 1978: 3-4) yang membicarakan hubungan
timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat, yaitu antara lain:
(1)
Konteks
sosial pengarang.
Konteks sosial pengarang ada
hubungannya dengan posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat
pembaca, dan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi si pengarang sebagai
perseorangan dan isi karya sastranya. Yang terutama harus diteliti adalah (a)
bagaimana si pengarang mendapatkan mata pencahariannya, apakah ia menerima
bantuan dari pengayom atau dari masyarakat secara langsung, atau dari kerja
rangkap, (b) profesionalisme dalam kepengarangan: sejauh mana pengarang itu
menganggap pekerjaannya sebagai profesi, dan (c) masyarakat apa yang dituju
oleh pengarang dalam hubungan antara pengarang dan masyarakat, sebab masyarakat
yang dituju sering mempengaruhi bentuk dan isi karya sastra.
(2)
Sastra
sebagai cermin masyarakat (Mimetik)
Sejauh mana sastra dapat dianggap
mencerminkan keadaan masyarakat pada waktu karya itu ditulis, yang terutama
mendapat perhatian adalah (a) sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan
masyarakat pada waktu ditulis, (b) sifat lain dari yang lain seorang pengarang
sering mempengaruhi pemilihan penampilan faktor-faktor sosial dalam karyanya,
(c) genre sastra merupakan sikap sosial kelompok tertentu, bahkan sikap sosial
seluruh masyarakat, (d) sastra berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat
secermat-cermatnya, mungkin saja tidak dipercaya sebagai cermin pandangan
sosial pengarang harus diperhitungkan apabila kita menilai karya sastra sebagai
cermin masyarakat.
(3)
Fungsi
sosial sastra.
Hal yang perlu dipertanyakan
adalah sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan
seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial. Pada hubungan ini, ada
tiga hal yang harus diperhatikan yaitu sudut pandang ekstrinsik kaum Romantik,
sastra bertugas sebagai penghibur adanya kompromi dapat dicapai dengan meninjau
slogan klasik bahwa sastra harus menggunakan sesuatu dengan cara menghibur
(Damono, 1978: 3-4).
C.
Kajian Puisi Ketiga
KONSPIRASI PARA MALING
Inilah negeri yang lama dibikin malu
Ketika hokum bisa dibeli setiap waktu
Dan terjadi banjir banding korupsi
Di bulan Mei yang berhujan
Topeng-topeng terbuka mulai bernyanyi
Di tengah busung lapar anak megeri
Ini bukan negeri dongeng yang tanpa hutang
Rumah-rumah peribadatan beragam dan panjang
Tapi begitu lama kebusukan terjaga
Dari senja ke senja
Inilah negeriku
Negeri yang lama dibikin pilu
A. Kajian secara sintaksis
Menurut Ramlan dalam (Suherlan dan Odien R, 2004: 195-196)
mendefinisikan sintaksis sebagai bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang
membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan frasa; berbeda dengan
morfologi yang membicarakan seluk beluk kata dan morfem. . Karena sintaksis merupakan sebuah ilmu yang membahas tentang hal
tersebut. Adapun penjabaran dari semua itu adalah:
1.
Frasa
Menurut Kridalaksana (2008: 66)
mendefinisikan frasa sebagai gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak
predikatif. Kemudian menurut Kentjono dalam (Suherlan dan Odien R., 2004: 203)
Frasa sebagai satuan gramatikal yang terdiri atas dua kata atau lebih dari dua
kata yang tidak berciri klausa dan yang pada umumnya menjadi pembentuk klausa.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa frasa merupakan satuan
gramatikal yang terdiri atas dua kata atau lebih yang membentuk suatu kesatuan,
tidak bersifat predikatif, tidak berciri klausa, merupakan unsur pembentuk
klausa, dan menjadi salah satu unsur atau fungsi kalimat. Adapun contoh frasa
dari puisi yang berjudul ” Lagu Tanah Kemarau” sebagai berikut:
1) Jhguygfrijoi
2) Lkjhiukhfoishlkdf
3) Lkjhgkljhkjngl.,m
4) Lkjxhlfknlgknmlk
2. Klausa
Klausa merupakan unsur-unsur yang
termasuk dalam tataran sintaksis. Ada beberapa definisi mengenai klausa yang
dikemukakan para ahli. Menurut Suherlan dan Odien R (2003:215) menyatakan bahwa, ”klausa
merupakan satuan gramatikal yang terdiri atas beberapa kata, yang
sekurang-kurangnya terdiri atas fungsi subjek dan predikat, dengan disertai
objek, pelengkap, keterangan atau tidak, dan berpotensi menjadi kalimat”.
Sedangkan menurut Chaer
(2003:231) menyatakan bahwa, ”klausa adalah satuan sintaksis berupa runtutan
kata-kata berkonstruksi predikatif”. Selanjutnya menurut Kridalaksana dalam (Suherlan dan Odien R, 2003:215) yang memberikan batasan terhadap klausa sebagai satuan
gramatikal yang berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas
subjek dan predikat, dan mempunyai potensi untuk menjadi kalimat.
Berdasarkan beberapa pendapat
para ahli mengenai definisi klausa, dapat disimpulkan bahwa klausa merupakan
satuan gramatikal yang terdiri atas beberapa kata, memiliki subjek dan
predikat, unsur objek, pelengkap, dan keterangan boleh ada atau tidak serta
mempunyai potensi menjadi kalimat. Adapun contoh klausa
dari puisi yang berjudul ” Lagu Tanah Kemarau” sebagai berikut:
1) Kjgabkjf
2) Jhgfjzbjkf
3) Jhzgdfjkbf,
3. Kalimat
Menurut Lamudin Finoza (2004: 111) Kalimat adalah bagian
ujaran yang mempunyai struktur minimal Subjek (S) dan Perdikat (p) dan
intonasinya menunjukan bagian ujaran itu sudah lengkap dengan makna. Intonasi
final kalimat dalam bahasa tulis dilambangkan dengan tanda titik, tanda Tanya,
atau tanda seru.
Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa kalimat merupakan satuan
gramatikal yang paling lengkap dan mempunyai struktur sekurang-kurangnya
terdiri dari subjek dan predikat. Kemudian ditandai dengan adanya tanda baca
baik berupa tanda titik, tanda Tanya maupun tanda seru. Adapun contoh kalimat
dari puisi yang berjudul ” Lagu Tanah Kemarau” sebagai berikut:
1) Kjgrjsbh,fm
2) Lkjugrasdhbkrjnk
3) Kuyjhgrsnf,
B. Kajian secara pragmatik
Menurut George dalam (Kunjana Rahardi, 2007: 12) bahwa
pragmatik adalah ilmu tentang makna bahasa, dalam kaitan dengan keseluruhan
perilaku umat manusia dan tanda-tanda atau lambang-lambang bahasa yang ada di
sekelilingnya. Menurut John R. Searle dalam (Kunjana Rahardi, 2007: 70)
menyatakan bahwa dalam praktik penggunaan bahasa di masyarakat, terdapat
setidaknya tiga macam tindak tutur di dalam pemakaian bahasa yang sesungguhnya
di masyarakat tersebut secara berturut-turut dapat disebutkan seperti berikut
ini:
1.
Lokusi yaitu tindak bertutur
dengan kata, frasa dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa,
dan kalimat itu.
2.
Ilokusi yaitu tindak melakukan
sesuatu dengan maksuddan fungsi yang tertentu pula.
3.
Perlokusi yaitu tindak
menumbuhkan pengaruh (effect) kepada
diri sang mitra tutur.
C. Kajian secara semantik
Dalam segi semantik pembaca diajak untuk menafsirkan ke
arah makna, karena semantik adalah ilmu tentang makna. Menurut Verhaar dalam (Suherlan dan Odien R, 2004: 242)
mendefinisikan semantik sebagai cabang linguistik yang meneliti arti atau
makna.
D. Kajian isotopi
Isotopi adalah istilah pokok lain dalam kosakata.
Menurut Gremas dalam (John. Luchte, 2001: 209-210) meyakini bahwa isotopi
adalah pembedaan kandungan mimpi antara yang “laten” dan yang “tampil”. Dalam
puisi yang berjudul “Lagu Tanah Kemarau”
karya Azhar terdapat beberapa isotopi, yaitu:
d.
Isotopi manusia :
e.
Isotopi perbuatan :
f.
Isotopi alam :
E. Kajian secara sosiologi
sastra
Swingewood dalam Faruk (2003: 1) mendefinisikan
sosiologi sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam
masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial, sedangkan
Ritzer dalam (Faruk, 2003: 2) menganggap sosiologi sebagai suatu ilmu
pengetahuan yang multi paradigma. Maksudnya, di dalam ilmu tersebut dijumpai
beberapa paradigma yang saling bersaing satu sama lain dalam usaha merebut
hegemoni dalam lapangan sosiologi secara keseluruhan. Paradigma itu sendiri
diartikannya sebagai satu citra fundamental mengenai pokok persoalan dalam
suatu ilmu pengetahuan, yaitu: paradigma fakta-fakta sosial, paradigma definisi
sosial, dan paradigma perilaku sosial.
Selanjutnya dikatakan bahwa sosiologi berusaha menjawab
pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya
dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Dalam hal ini tugas sosiologi sastra
adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayal dan situasi ciptaan
pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal usulnya. Tema dan gaya yang ada dalam karya
asastra yang bersifat pribadi itu harus diubah menjadi hal-hal yang bersifat
sosial.
Sosiologi adalah telaah yang obyektif
dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat, telaah tentang lembaga dan proses
sosial. Seperti halnya sosiologi, sastra juga berurusan dengan manusia dalam
masyarakat dengan di dalamnya terdapat usaha manusia untuk menyesuaikan diri
dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Pendekatan terhadap sastra yang
mempertimbangkan segi-segi kemasyarakat ini oleh beberapa penulis disebut
sosiologi sastra (Damono, 1978: 6).
Menurut Damono (1978: 2), ada dua
kecenderungan utama dalam telaah sosiologis terhadap sastra, yaitu: 1)
Pendekatan yang berdasarkan anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses
sosial ekonomi belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor luar sastra untuk
membicarakan sastra; 2) Pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan
penelitian. Metode yang digunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis
teks untuk mengetahui lebih dalam lagi gejala di luar sastra.
Menurut Ritzer dalam (Faruk, 2003: 4) setidaknya ada
tiga paradigma yang dasar dalam sosiologi, yaitu paradigma fakta-fakta sosial,
paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial. Kemudian menurut
Wellek dan Warren
dalam (Faruk, 2003: 4) membagi telaah sosiologi menjadi tiga klasifikasi yaitu:
1.
Sosiologi Pengarang : yakni
yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain
yang menyangkut diri pengarang.
2.
Sosiologi Karya Sastra : yakni
mempermasalahkan tentang suatu karya sastra yang menjadi pokok telaah adalah
tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau
amanat yang hendak disampaikannya.
3.
Sosiologi Sastra : yang
mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.
Klasifikasi sosiologi sastra
menurut Wellek dan Warren
tidak jauh berbeda dengan klasifikasi kajian sosiologi sastra yang dikemukakan
oleh Ian Watt. Ian Watt dalam esainya yang berjudul “Literatur Society” (Damono, 1978: 3-4) yang membicarakan hubungan
timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat, yaitu antara lain:
(1)
Konteks
sosial pengarang
Konteks sosial pengarang ada
hubungannya dengan posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat
pembaca, dan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi si pengarang sebagai
perseorangan dan isi karya sastranya. Yang terutama harus diteliti adalah (a)
bagaimana si pengarang mendapatkan mata pencahariannya, apakah ia menerima
bantuan dari pengayom atau dari masyarakat secara langsung, atau dari kerja
rangkap, (b) profesionalisme dalam kepengarangan: sejauh mana pengarang itu
menganggap pekerjaannya sebagai profesi, dan (c) masyarakat apa yang dituju
oleh pengarang dalam hubungan antara pengarang dan masyarakat, sebab masyarakat
yang dituju sering mempengaruhi bentuk dan isi karya sastra.
(2)
Sastra
sebagai cermin masyarakat (Mimetik)
Sejauh mana sastra dapat dianggap
mencerminkan keadaan masyarakat pada waktu karya itu ditulis, yang terutama
mendapat perhatian adalah (a) sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan
masyarakat pada waktu ditulis, (b) sifat lain dari yang lain seorang pengarang
sering mempengaruhi pemilihan penampilan faktor-faktor sosial dalam karyanya,
(c) genre sastra merupakan sikap sosial kelompok tertentu, bahkan sikap sosial
seluruh masyarakat, (d) sastra berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat
secermat-cermatnya, mungkin saja tidak dipercaya sebagai cermin pandangan
sosial pengarang harus diperhitungkan apabila kita menilai karya sastra sebagai
cermin masyarakat.
(3)
Fungsi
sosial sastra
Hal yang perlu dipertanyakan
adalah sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan
seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial. Pada hubungan ini, ada
tiga hal yang harus diperhatikan yaitu sudut pandang ekstrinsik kaum Romantik,
sastra bertugas sebagai penghibur adanya kompromi dapat dicapai dengan meninjau
slogan klasik bahwa sastra harus menggunakan sesuatu dengan cara menghibur
(Damono, 1978: 3-4).
D.
Kajian Puisi Keempat
BALADA NELAYAN
Menemui ombak bergulung
Kemiskinan mengepung
Lautan kaya di depan mata
Menyimpan cerita duka
Pancing dan jala ditebarkan
Menangguk sisa jarahan
Layar dikembangkan
Bersama kepedihan
Berlayar di laut biru
Rindu pulang tanpa pilu
A. Kajian secara sintaksis
Menurut Ramlan dalam (Suherlan dan Odien R, 2004: 195-196)
mendefinisikan sintaksis sebagai bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang
membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan frasa; berbeda dengan
morfologi yang membicarakan seluk beluk kata dan morfem. . Karena sintaksis merupakan sebuah ilmu yang membahas tentang hal
tersebut. Adapun penjabaran dari semua itu adalah:
1.
Frasa
Menurut Kridalaksana (2008: 66) mendefinisikan
frasa sebagai gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak predikatif.
Kemudian menurut Kentjono dalam (Suherlan dan Odien R., 2004: 203) Frasa
sebagai satuan gramatikal yang terdiri atas dua kata atau lebih dari dua kata
yang tidak berciri klausa dan yang pada umumnya menjadi pembentuk klausa.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa frasa
merupakan satuan gramatikal yang terdiri atas dua kata atau lebih yang
membentuk suatu kesatuan, tidak bersifat predikatif, tidak berciri klausa, merupakan
unsur pembentuk klausa, dan menjadi salah satu unsur atau fungsi kalimat.
Adapun contoh frasa dari puisi yang berjudul ”
Lagu Tanah
Kemarau” sebagai berikut:
1) Jhguygfrijoi
2) Lkjhiukhfoishlkdf
3) Lkjhgkljhkjngl.,m
4) Lkjxhlfknlgknmlk
2. Klausa
Klausa merupakan unsur-unsur
yang termasuk dalam tataran sintaksis. Ada beberapa definisi mengenai klausa
yang dikemukakan para ahli. Menurut Suherlan dan Odien
R (2003:215) menyatakan
bahwa, ”klausa merupakan satuan gramatikal yang terdiri atas beberapa kata,
yang sekurang-kurangnya terdiri atas fungsi subjek dan predikat, dengan
disertai objek, pelengkap, keterangan atau tidak, dan berpotensi menjadi
kalimat”.
Sedangkan menurut Chaer
(2003:231) menyatakan bahwa, ”klausa adalah satuan sintaksis berupa runtutan
kata-kata berkonstruksi predikatif”. Selanjutnya menurut Kridalaksana dalam (Suherlan dan Odien R, 2003:215) yang memberikan batasan terhadap klausa sebagai satuan
gramatikal yang berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas
subjek dan predikat, dan mempunyai potensi untuk menjadi kalimat.
Berdasarkan beberapa pendapat
para ahli mengenai definisi klausa, dapat disimpulkan bahwa klausa merupakan
satuan gramatikal yang terdiri atas beberapa kata, memiliki subjek dan
predikat, unsur objek, pelengkap, dan keterangan boleh ada atau tidak serta
mempunyai potensi menjadi kalimat. Adapun contoh klausa
dari puisi yang berjudul ” Lagu Tanah Kemarau” sebagai berikut:
1) Kjgabkjf
2) Jhgfjzbjkf
3) Jhzgdfjkbf,
3. Kalimat
Menurut Lamudin Finoza (2004: 111) Kalimat adalah bagian
ujaran yang mempunyai struktur minimal Subjek (S) dan Perdikat (p) dan
intonasinya menunjukan bagian ujaran itu sudah lengkap dengan makna. Intonasi
final kalimat dalam bahasa tulis dilambangkan dengan tanda titik, tanda Tanya,
atau tanda seru.
Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa kalimat merupakan satuan
gramatikal yang paling lengkap dan mempunyai struktur sekurang-kurangnya
terdiri dari subjek dan predikat. Kemudian ditandai dengan adanya tanda baca
baik berupa tanda titik, tanda Tanya maupun tanda seru. Adapun contoh kalimat
dari puisi yang berjudul ” Lagu Tanah Kemarau” sebagai berikut:
1) Kjgrjsbh,fm
2) Lkjugrasdhbkrjnk
3) Kuyjhgrsnf,
B. Kajian secara pragmatik
Menurut George dalam (Kunjana Rahardi, 2007: 12) bahwa
pragmatik adalah ilmu tentang makna bahasa, dalam kaitan dengan keseluruhan
perilaku umat manusia dan tanda-tanda atau lambang-lambang bahasa yang ada di
sekelilingnya. Menurut John R. Searle dalam (Kunjana Rahardi, 2007: 70)
menyatakan bahwa dalam praktik penggunaan bahasa di masyarakat, terdapat
setidaknya tiga macam tindak tutur di dalam pemakaian bahasa yang sesungguhnya
di masyarakat tersebut secara berturut-turut dapat disebutkan seperti berikut
ini:
1.
Lokusi yaitu tindak bertutur
dengan kata, frasa dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata,
frasa, dan kalimat itu.
2.
Ilokusi yaitu tindak melakukan
sesuatu dengan maksuddan fungsi yang tertentu pula.
3.
Perlokusi yaitu tindak
menumbuhkan pengaruh (effect) kepada
diri sang mitra tutur.
C. Kajian secara semantik
Dalam segi semantik pembaca diajak untuk menafsirkan ke
arah makna, karena semantik adalah ilmu tentang makna. Menurut Verhaar dalam (Suherlan dan Odien R, 2004: 242)
mendefinisikan semantik sebagai cabang linguistik yang meneliti arti atau
makna.
D. Kajian isotopi
Isotopi adalah istilah pokok lain dalam kosakata.
Menurut Gremas dalam (John. Luchte, 2001: 209-210) meyakini bahwa isotopi
adalah pembedaan kandungan mimpi antara yang “laten” dan yang “tampil”. Dalam
puisi yang berjudul “Lagu Tanah Kemarau”
karya Azhar terdapat beberapa isotopi, yaitu:
g.
Isotopi manusia :
h.
Isotopi perbuatan :
i.
Isotopi alam :
E. Kajian secara sosiologi
sastra
Swingewood dalam Faruk (2003: 1) mendefinisikan
sosiologi sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam
masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial, sedangkan
Ritzer dalam (Faruk, 2003: 2) menganggap sosiologi sebagai suatu ilmu
pengetahuan yang multi paradigma. Maksudnya, di dalam ilmu tersebut dijumpai
beberapa paradigma yang saling bersaing satu sama lain dalam usaha merebut
hegemoni dalam lapangan sosiologi secara keseluruhan. Paradigma itu sendiri
diartikannya sebagai satu citra fundamental mengenai pokok persoalan dalam
suatu ilmu pengetahuan, yaitu: paradigma fakta-fakta sosial, paradigma definisi
sosial, dan paradigma perilaku sosial.
Selanjutnya dikatakan bahwa sosiologi berusaha menjawab
pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya
dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Dalam hal ini tugas sosiologi sastra
adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayal dan situasi ciptaan
pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal usulnya. Tema dan gaya yang ada dalam karya
asastra yang bersifat pribadi itu harus diubah menjadi hal-hal yang bersifat
sosial.
Sosiologi adalah telaah yang
obyektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat, telaah tentang lembaga
dan proses sosial. Seperti halnya sosiologi, sastra juga berurusan dengan
manusia dalam masyarakat dengan di dalamnya terdapat usaha manusia untuk
menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Pendekatan
terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakat ini oleh beberapa
penulis disebut sosiologi sastra (Damono, 1978: 6).
Menurut Damono (1978: 2), ada dua
kecenderungan utama dalam telaah sosiologis terhadap sastra, yaitu: 1)
Pendekatan yang berdasarkan anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses
sosial ekonomi belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor luar sastra untuk
membicarakan sastra; 2) Pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan
penelitian. Metode yang digunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis
teks untuk mengetahui lebih dalam lagi gejala di luar sastra.
Menurut Ritzer dalam (Faruk, 2003: 4) setidaknya ada
tiga paradigma yang dasar dalam sosiologi, yaitu paradigma fakta-fakta sosial,
paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial. Kemudian menurut
Wellek dan Warren
dalam (Faruk, 2003: 4) membagi telaah sosiologi menjadi tiga klasifikasi yaitu:
4.
Sosiologi Pengarang : yakni
yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain
yang menyangkut diri pengarang.
5.
Sosiologi Karya Sastra : yakni
mempermasalahkan tentang suatu karya sastra yang menjadi pokok telaah adalah
tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau
amanat yang hendak disampaikannya.
6.
Sosiologi Sastra : yang
mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.
Klasifikasi sosiologi sastra
menurut Wellek dan Warren
tidak jauh berbeda dengan klasifikasi kajian sosiologi sastra yang dikemukakan
oleh Ian Watt. Ian Watt dalam esainya yang berjudul “Literatur Society” (Damono, 1978: 3-4) yang membicarakan hubungan
timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat, yaitu antara lain:
(1)
Konteks
sosial pengarang
Konteks sosial pengarang ada
hubungannya dengan posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat
pembaca, dan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi si pengarang sebagai
perseorangan dan isi karya sastranya. Yang terutama harus diteliti adalah (a)
bagaimana si pengarang mendapatkan mata pencahariannya, apakah ia menerima
bantuan dari pengayom atau dari masyarakat secara langsung, atau dari kerja
rangkap, (b) profesionalisme dalam kepengarangan: sejauh mana pengarang itu
menganggap pekerjaannya sebagai profesi, dan (c) masyarakat apa yang dituju
oleh pengarang dalam hubungan antara pengarang dan masyarakat, sebab masyarakat
yang dituju sering mempengaruhi bentuk dan isi karya sastra.
(2)
Sastra
sebagai cermin masyarakat (Mimetik)
Sejauh mana sastra dapat dianggap
mencerminkan keadaan masyarakat pada waktu karya itu ditulis, yang terutama
mendapat perhatian adalah (a) sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan
masyarakat pada waktu ditulis, (b) sifat lain dari yang lain seorang pengarang
sering mempengaruhi pemilihan penampilan faktor-faktor sosial dalam karyanya,
(c) genre sastra merupakan sikap sosial kelompok tertentu, bahkan sikap sosial
seluruh masyarakat, (d) sastra berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat
secermat-cermatnya, mungkin saja tidak dipercaya sebagai cermin pandangan
sosial pengarang harus diperhitungkan apabila kita menilai karya sastra sebagai
cermin masyarakat.
(3)
Fungsi
sosial sastra
Hal yang perlu dipertanyakan
adalah sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan
seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial. Pada hubungan ini, ada
tiga hal yang harus diperhatikan yaitu sudut pandang ekstrinsik kaum Romantik,
sastra bertugas sebagai penghibur adanya kompromi dapat dicapai dengan meninjau
slogan klasik bahwa sastra harus menggunakan sesuatu dengan cara menghibur
(Damono, 1978: 3-4).
DAFTAR PUSTAKA
Azhar. 2005. Mata
yang Memberi. Jakarta: Bukupop
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum.
Jakarta: Rineka Cipta.
Damono,
Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra
(Sebuah Pengantar Ringkas). Jakarta :
Depdikbud.
Faruk. 2003. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Finoza, Lamudin. 2004. Komposisi
Bahasa Indonesia. Jakarta :
Diksi Insan Mulia
Herwan FR. 2005. Apresiasi dan
Kajian Puisi. Banten: Gerage Budaya.
Kridalaksana,
Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta : Gramedia.
Luchte, John. 2001. 50 Filsuf Kontemporer (Dari Strukturalisme
Sampai Post Moderitas). Yogyakarta :
Kanasius (Anggota Kapi).
Pradopo, Rakhmat Joko. 2009. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Rahardi, Kunjana R. 2007. Berkenalan dengan Ilmu Bahasa Pragmatik.
Malang : DIOMA.
Suherlan
dan Odien R. 2004. Ihwal Ilmu Bahasa dan
Cakupannya. Banten: Untirta Press.
Tidak ada komentar: