Ads Top

KAJIAN PUISI Mata yang Memberi

Kajian Sosiologi Sastra dalam Antologi Puisi
Mata Yang Memberi” karya Azhar

1.      Kajian puisi pertama
CERITA DARI JAKARTA
Matahariku pecah di kuburan
Orang-orang tercinta dibunuh dalam prahara
Kepada siapa aku teriakkan perih yang menggunung
Bulan mati dalam darah
Sedang angin tak lagi menyejukkan

Aku berjalan sendirian
Setelah mata pencarian dihanguskan
anak dan istri cuma tinggal kenangan
Aku lelaki tua yang luka dan kesepian
Berjalan
Terus berjalan
Sunyi dan luka

A.    Kajian secara sintaksis
Menurut Ramlan dalam (Suherlan dan Odien R, 2004: 195-196) mendefinisikan sintaksis sebagai bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan frasa; berbeda dengan morfologi yang membicarakan seluk beluk kata dan morfem. . Karena sintaksis merupakan sebuah ilmu yang membahas tentang hal tersebut. Adapun penjabaran dari semua itu adalah:
1.      Frasa
Menurut Kridalaksana (2008: 66) mendefinisikan frasa sebagai gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak predikatif. Kemudian menurut Kentjono dalam (Suherlan dan Odien R., 2004: 203) Frasa sebagai satuan gramatikal yang terdiri atas dua kata atau lebih dari dua kata yang tidak berciri klausa dan yang pada umumnya menjadi pembentuk klausa.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa frasa merupakan satuan gramatikal yang terdiri atas dua kata atau lebih yang membentuk suatu kesatuan, tidak bersifat predikatif, tidak berciri klausa, merupakan unsur pembentuk klausa, dan menjadi salah satu unsur atau fungsi kalimat. Adapun contoh frasa dari puisi yang berjudul ” Cerita dari Jakarta” sebagai berikut:
1)      Orang-orang tercinta

2)      Lkjhiukhfoishlkdf
3)      Lkjhgkljhkjngl.,m
4)      Lkjxhlfknlgknmlk
2.   Klausa
Klausa merupakan unsur-unsur yang termasuk dalam tataran sintaksis. Ada beberapa definisi mengenai klausa yang dikemukakan para ahli. Menurut Suherlan dan Odien R (2003:215) menyatakan bahwa, ”klausa merupakan satuan gramatikal yang terdiri atas beberapa kata, yang sekurang-kurangnya terdiri atas fungsi subjek dan predikat, dengan disertai objek, pelengkap, keterangan atau tidak, dan berpotensi menjadi kalimat”.
Sedangkan menurut Chaer (2003:231) menyatakan bahwa, ”klausa adalah satuan sintaksis berupa runtutan kata-kata berkonstruksi predikatif”. Selanjutnya menurut Kridalaksana dalam (Suherlan dan Odien R, 2003:215) yang memberikan batasan terhadap klausa sebagai satuan gramatikal yang berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan predikat, dan mempunyai potensi untuk menjadi kalimat.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli mengenai definisi klausa, dapat disimpulkan bahwa klausa merupakan satuan gramatikal yang terdiri atas beberapa kata, memiliki subjek dan predikat, unsur objek, pelengkap, dan keterangan boleh ada atau tidak serta mempunyai potensi menjadi kalimat. Adapun contoh klausa dari puisi yang berjudul ” Cerita dari Jakarta” sebagai berikut:
1)      Kjgabkjf
2)      Jhgfjzbjkf
3)      Jhzgdfjkbf,
3.   Kalimat
Menurut Lamudin Finoza (2004: 111) Kalimat adalah bagian ujaran yang mempunyai struktur minimal Subjek (S) dan Perdikat (p) dan intonasinya menunjukan bagian ujaran itu sudah lengkap dengan makna. Intonasi final kalimat dalam bahasa tulis dilambangkan dengan tanda titik, tanda Tanya, atau tanda seru.
Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa kalimat merupakan satuan gramatikal yang paling lengkap dan mempunyai struktur sekurang-kurangnya terdiri dari subjek dan predikat. Kemudian ditandai dengan adanya tanda baca baik berupa tanda titik, tanda Tanya maupun tanda seru. Adapun contoh kalimat dari puisi yang berjudul ” Cerita dari Jakarta” sebagai berikut:
1)      Kjgrjsbh,fm
2)      Lkjugrasdhbkrjnk
3)      Kuyjhgrsnf,
B.     Kajian secara pragmatik
Menurut George dalam (Kunjana Rahardi, 2007: 12) bahwa pragmatik adalah ilmu tentang makna bahasa, dalam kaitan dengan keseluruhan perilaku umat manusia dan tanda-tanda atau lambang-lambang bahasa yang ada di sekelilingnya. Menurut John R. Searle dalam (Kunjana Rahardi, 2007: 70) menyatakan bahwa dalam praktik penggunaan bahasa di masyarakat, terdapat setidaknya tiga macam tindak tutur di dalam pemakaian bahasa yang sesungguhnya di masyarakat tersebut secara berturut-turut dapat disebutkan seperti berikut ini:
1.      Lokusi yaitu tindak bertutur dengan kata, frasa dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu.
2.      Ilokusi yaitu tindak melakukan sesuatu dengan maksuddan fungsi yang tertentu pula.
3.      Perlokusi yaitu tindak menumbuhkan pengaruh (effect) kepada diri sang mitra tutur.




C.    Kajian secara semantik
Dalam segi semantik pembaca diajak untuk menafsirkan ke arah makna, karena semantik adalah ilmu tentang makna. Menurut Verhaar dalam (Suherlan dan Odien R, 2004: 242) mendefinisikan semantik sebagai cabang linguistik yang meneliti arti atau makna.
D.    Kajian isotopi
Isotopi adalah istilah pokok lain dalam kosakata. Menurut Gremas dalam (John. Luchte, 2001: 209-210) meyakini bahwa isotopi adalah pembedaan kandungan mimpi antara yang “laten” dan yang “tampil”. Dalam puisi yang berjudul “Cerita dari Jakarta” karya Azhar terdapat beberapa isotopi, yaitu:
a.       Isotopi manusia     :
b.      Isotopi perbuatan  :
c.       Isotopi alam          :
E.     Kajian secara sosiologi sastra
Swingewood dalam Faruk (2003: 1) mendefinisikan sosiologi sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial, sedangkan Ritzer dalam (Faruk, 2003: 2) menganggap sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang multi paradigma. Maksudnya, di dalam ilmu tersebut dijumpai beberapa paradigma yang saling bersaing satu sama lain dalam usaha merebut hegemoni dalam lapangan sosiologi secara keseluruhan. Paradigma itu sendiri diartikannya sebagai satu citra fundamental mengenai pokok persoalan dalam suatu ilmu pengetahuan, yaitu: paradigma fakta-fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial.
Selanjutnya dikatakan bahwa sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Dalam hal ini tugas sosiologi sastra adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayal dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal usulnya. Tema dan gaya yang ada dalam karya asastra yang bersifat pribadi itu harus diubah menjadi hal-hal yang bersifat sosial.
Sosiologi adalah telaah yang obyektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat, telaah tentang lembaga dan proses sosial. Seperti halnya sosiologi, sastra juga berurusan dengan manusia dalam masyarakat dengan di dalamnya terdapat usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakat ini oleh beberapa penulis disebut sosiologi sastra (Damono, 1978: 6).
Menurut Damono (1978: 2), ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologis terhadap sastra, yaitu: 1) Pendekatan yang berdasarkan anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial ekonomi belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor luar sastra untuk membicarakan sastra; 2) Pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelitian. Metode yang digunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis teks untuk mengetahui lebih dalam lagi gejala di luar sastra.
Menurut Ritzer dalam (Faruk, 2003: 4) setidaknya ada tiga paradigma yang dasar dalam sosiologi, yaitu paradigma fakta-fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial. Kemudian menurut Wellek dan Warren dalam (Faruk, 2003: 4) membagi telaah sosiologi menjadi tiga klasifikasi yaitu:
1.      Sosiologi Pengarang : yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang.
2.      Sosiologi Karya Sastra : yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya.
3.      Sosiologi Sastra : yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.
Klasifikasi sosiologi sastra menurut Wellek dan Warren tidak jauh berbeda dengan klasifikasi kajian sosiologi sastra yang dikemukakan oleh Ian Watt. Ian Watt dalam esainya yang berjudul “Literatur Society” (Damono, 1978: 3-4) yang membicarakan hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat, yaitu antara lain:
(1)   Konteks sosial pengarang.
Konteks sosial pengarang ada hubungannya dengan posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, dan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi si pengarang sebagai perseorangan dan isi karya sastranya. Yang terutama harus diteliti adalah (a) bagaimana si pengarang mendapatkan mata pencahariannya, apakah ia menerima bantuan dari pengayom atau dari masyarakat secara langsung, atau dari kerja rangkap, (b) profesionalisme dalam kepengarangan: sejauh mana pengarang itu menganggap pekerjaannya sebagai profesi, dan (c) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang dalam hubungan antara pengarang dan masyarakat, sebab masyarakat yang dituju sering mempengaruhi bentuk dan isi karya sastra.
(2)   Sastra sebagai cermin masyarakat (Mimetik)
Sejauh mana sastra dapat dianggap mencerminkan keadaan masyarakat pada waktu karya itu ditulis, yang terutama mendapat perhatian adalah (a) sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ditulis, (b) sifat lain dari yang lain seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan penampilan faktor-faktor sosial dalam karyanya, (c) genre sastra merupakan sikap sosial kelompok tertentu, bahkan sikap sosial seluruh masyarakat, (d) sastra berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya, mungkin saja tidak dipercaya sebagai cermin pandangan sosial pengarang harus diperhitungkan apabila kita menilai karya sastra sebagai cermin masyarakat.
(3)   Fungsi sosial sastra.
Hal yang perlu dipertanyakan adalah sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial. Pada hubungan ini, ada tiga hal yang harus diperhatikan yaitu sudut pandang ekstrinsik kaum Romantik, sastra bertugas sebagai penghibur adanya kompromi dapat dicapai dengan meninjau slogan klasik bahwa sastra harus menggunakan sesuatu dengan cara menghibur (Damono, 1978: 3-4).

B.    Kajian puisi kedua
LAGU TANAH KEMARAU
Matahari menyengatkan kegelisahan
Di atas ladang kerinduan

Burung-burung memekikkan pedih
di dahan-dahan letih
melawan kemarau dengan perih

tapi kesabaran harus berulang
agar harapan tak lekas hilang
bajak dan sapi di kandang
dijaga dengan saying

duhai, ibu
harapan dan kasih saying
modalku untuk berjuang
A.    Kajian secara sintaksis
Menurut Ramlan dalam (Suherlan dan Odien R, 2004: 195-196) mendefinisikan sintaksis sebagai bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan frasa; berbeda dengan morfologi yang membicarakan seluk beluk kata dan morfem. . Karena sintaksis merupakan sebuah ilmu yang membahas tentang hal tersebut. Adapun penjabaran dari semua itu adalah:
1.      Frasa
Menurut Kridalaksana (2008: 66) mendefinisikan frasa sebagai gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak predikatif. Kemudian menurut Kentjono dalam (Suherlan dan Odien R., 2004: 203) Frasa sebagai satuan gramatikal yang terdiri atas dua kata atau lebih dari dua kata yang tidak berciri klausa dan yang pada umumnya menjadi pembentuk klausa.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa frasa merupakan satuan gramatikal yang terdiri atas dua kata atau lebih yang membentuk suatu kesatuan, tidak bersifat predikatif, tidak berciri klausa, merupakan unsur pembentuk klausa, dan menjadi salah satu unsur atau fungsi kalimat. Adapun contoh frasa dari puisi yang berjudul ” Lagu Tanah Kemarau” sebagai berikut:
1)      Jhguygfrijoi
2)      Lkjhiukhfoishlkdf
3)      Lkjhgkljhkjngl.,m
4)      Lkjxhlfknlgknmlk
2.   Klausa
Klausa merupakan unsur-unsur yang termasuk dalam tataran sintaksis. Ada beberapa definisi mengenai klausa yang dikemukakan para ahli. Menurut Suherlan dan Odien R (2003:215) menyatakan bahwa, ”klausa merupakan satuan gramatikal yang terdiri atas beberapa kata, yang sekurang-kurangnya terdiri atas fungsi subjek dan predikat, dengan disertai objek, pelengkap, keterangan atau tidak, dan berpotensi menjadi kalimat”.
Sedangkan menurut Chaer (2003:231) menyatakan bahwa, ”klausa adalah satuan sintaksis berupa runtutan kata-kata berkonstruksi predikatif”. Selanjutnya menurut Kridalaksana dalam (Suherlan dan Odien R, 2003:215) yang memberikan batasan terhadap klausa sebagai satuan gramatikal yang berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan predikat, dan mempunyai potensi untuk menjadi kalimat.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli mengenai definisi klausa, dapat disimpulkan bahwa klausa merupakan satuan gramatikal yang terdiri atas beberapa kata, memiliki subjek dan predikat, unsur objek, pelengkap, dan keterangan boleh ada atau tidak serta mempunyai potensi menjadi kalimat. Adapun contoh klausa dari puisi yang berjudul ” Lagu Tanah Kemarau” sebagai berikut:
1)      Kjgabkjf
2)      Jhgfjzbjkf
3)      Jhzgdfjkbf,


3.   Kalimat
Menurut Lamudin Finoza (2004: 111) Kalimat adalah bagian ujaran yang mempunyai struktur minimal Subjek (S) dan Perdikat (p) dan intonasinya menunjukan bagian ujaran itu sudah lengkap dengan makna. Intonasi final kalimat dalam bahasa tulis dilambangkan dengan tanda titik, tanda Tanya, atau tanda seru.
Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa kalimat merupakan satuan gramatikal yang paling lengkap dan mempunyai struktur sekurang-kurangnya terdiri dari subjek dan predikat. Kemudian ditandai dengan adanya tanda baca baik berupa tanda titik, tanda Tanya maupun tanda seru. Adapun contoh kalimat dari puisi yang berjudul ” Lagu Tanah Kemarau” sebagai berikut:
1)      Kjgrjsbh,fm
2)      Lkjugrasdhbkrjnk
3)      Kuyjhgrsnf,

B.     Kajian secara pragmatik
Menurut George dalam (Kunjana Rahardi, 2007: 12) bahwa pragmatik adalah ilmu tentang makna bahasa, dalam kaitan dengan keseluruhan perilaku umat manusia dan tanda-tanda atau lambang-lambang bahasa yang ada di sekelilingnya. Menurut John R. Searle dalam (Kunjana Rahardi, 2007: 70) menyatakan bahwa dalam praktik penggunaan bahasa di masyarakat, terdapat setidaknya tiga macam tindak tutur di dalam pemakaian bahasa yang sesungguhnya di masyarakat tersebut secara berturut-turut dapat disebutkan seperti berikut ini:
1.      Lokusi yaitu tindak bertutur dengan kata, frasa dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu.
2.      Ilokusi yaitu tindak melakukan sesuatu dengan maksuddan fungsi yang tertentu pula.
3.      Perlokusi yaitu tindak menumbuhkan pengaruh (effect) kepada diri sang mitra tutur.




C.    Kajian secara semantik
Dalam segi semantik pembaca diajak untuk menafsirkan ke arah makna, karena semantik adalah ilmu tentang makna. Menurut Verhaar dalam (Suherlan dan Odien R, 2004: 242) mendefinisikan semantik sebagai cabang linguistik yang meneliti arti atau makna.
D.    Kajian isotopi
Isotopi adalah istilah pokok lain dalam kosakata. Menurut Gremas dalam (John. Luchte, 2001: 209-210) meyakini bahwa isotopi adalah pembedaan kandungan mimpi antara yang “laten” dan yang “tampil”. Dalam puisi yang berjudul “Lagu Tanah Kemarau” karya Azhar terdapat beberapa isotopi, yaitu:
a.       Isotopi manusia     :
b.      Isotopi perbuatan  :
c.       Isotopi alam          :
E.     Kajian secara sosiologi sastra
Swingewood dalam Faruk (2003: 1) mendefinisikan sosiologi sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial, sedangkan Ritzer dalam (Faruk, 2003: 2) menganggap sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang multi paradigma. Maksudnya, di dalam ilmu tersebut dijumpai beberapa paradigma yang saling bersaing satu sama lain dalam usaha merebut hegemoni dalam lapangan sosiologi secara keseluruhan. Paradigma itu sendiri diartikannya sebagai satu citra fundamental mengenai pokok persoalan dalam suatu ilmu pengetahuan, yaitu: paradigma fakta-fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial.
Selanjutnya dikatakan bahwa sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Dalam hal ini tugas sosiologi sastra adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayal dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal usulnya. Tema dan gaya yang ada dalam karya asastra yang bersifat pribadi itu harus diubah menjadi hal-hal yang bersifat sosial.
Sosiologi adalah telaah yang obyektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat, telaah tentang lembaga dan proses sosial. Seperti halnya sosiologi, sastra juga berurusan dengan manusia dalam masyarakat dengan di dalamnya terdapat usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakat ini oleh beberapa penulis disebut sosiologi sastra (Damono, 1978: 6).
Menurut Damono (1978: 2), ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologis terhadap sastra, yaitu: 1) Pendekatan yang berdasarkan anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial ekonomi belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor luar sastra untuk membicarakan sastra; 2) Pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelitian. Metode yang digunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis teks untuk mengetahui lebih dalam lagi gejala di luar sastra.
Menurut Ritzer dalam (Faruk, 2003: 4) setidaknya ada tiga paradigma yang dasar dalam sosiologi, yaitu paradigma fakta-fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial. Kemudian menurut Wellek dan Warren dalam (Faruk, 2003: 4) membagi telaah sosiologi menjadi tiga klasifikasi yaitu:
1.      Sosiologi Pengarang : yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang.
2.      Sosiologi Karya Sastra : yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya.
3.      Sosiologi Sastra : yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.
Klasifikasi sosiologi sastra menurut Wellek dan Warren tidak jauh berbeda dengan klasifikasi kajian sosiologi sastra yang dikemukakan oleh Ian Watt. Ian Watt dalam esainya yang berjudul “Literatur Society” (Damono, 1978: 3-4) yang membicarakan hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat, yaitu antara lain:
(1)   Konteks sosial pengarang.
Konteks sosial pengarang ada hubungannya dengan posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, dan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi si pengarang sebagai perseorangan dan isi karya sastranya. Yang terutama harus diteliti adalah (a) bagaimana si pengarang mendapatkan mata pencahariannya, apakah ia menerima bantuan dari pengayom atau dari masyarakat secara langsung, atau dari kerja rangkap, (b) profesionalisme dalam kepengarangan: sejauh mana pengarang itu menganggap pekerjaannya sebagai profesi, dan (c) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang dalam hubungan antara pengarang dan masyarakat, sebab masyarakat yang dituju sering mempengaruhi bentuk dan isi karya sastra.
(2)   Sastra sebagai cermin masyarakat (Mimetik)
Sejauh mana sastra dapat dianggap mencerminkan keadaan masyarakat pada waktu karya itu ditulis, yang terutama mendapat perhatian adalah (a) sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ditulis, (b) sifat lain dari yang lain seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan penampilan faktor-faktor sosial dalam karyanya, (c) genre sastra merupakan sikap sosial kelompok tertentu, bahkan sikap sosial seluruh masyarakat, (d) sastra berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya, mungkin saja tidak dipercaya sebagai cermin pandangan sosial pengarang harus diperhitungkan apabila kita menilai karya sastra sebagai cermin masyarakat.
(3)   Fungsi sosial sastra.
Hal yang perlu dipertanyakan adalah sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial. Pada hubungan ini, ada tiga hal yang harus diperhatikan yaitu sudut pandang ekstrinsik kaum Romantik, sastra bertugas sebagai penghibur adanya kompromi dapat dicapai dengan meninjau slogan klasik bahwa sastra harus menggunakan sesuatu dengan cara menghibur (Damono, 1978: 3-4).

C.    Kajian Puisi Ketiga
KONSPIRASI PARA MALING
Inilah negeri yang lama dibikin malu
Ketika hokum bisa dibeli setiap waktu
Para maling leluasa berkonspirasi
Dan terjadi banjir banding korupsi

Di bulan Mei yang berhujan
Topeng-topeng terbuka mulai bernyanyi
Di tengah busung lapar anak megeri

Ini bukan negeri dongeng yang tanpa hutang
Rumah-rumah peribadatan beragam dan panjang
Tapi begitu lama kebusukan terjaga
Dari senja ke senja

Inilah negeriku
Negeri yang lama dibikin pilu
A.    Kajian secara sintaksis
Menurut Ramlan dalam (Suherlan dan Odien R, 2004: 195-196) mendefinisikan sintaksis sebagai bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan frasa; berbeda dengan morfologi yang membicarakan seluk beluk kata dan morfem. . Karena sintaksis merupakan sebuah ilmu yang membahas tentang hal tersebut. Adapun penjabaran dari semua itu adalah:
1.      Frasa
Menurut Kridalaksana (2008: 66) mendefinisikan frasa sebagai gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak predikatif. Kemudian menurut Kentjono dalam (Suherlan dan Odien R., 2004: 203) Frasa sebagai satuan gramatikal yang terdiri atas dua kata atau lebih dari dua kata yang tidak berciri klausa dan yang pada umumnya menjadi pembentuk klausa.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa frasa merupakan satuan gramatikal yang terdiri atas dua kata atau lebih yang membentuk suatu kesatuan, tidak bersifat predikatif, tidak berciri klausa, merupakan unsur pembentuk klausa, dan menjadi salah satu unsur atau fungsi kalimat. Adapun contoh frasa dari puisi yang berjudul ” Lagu Tanah Kemarau” sebagai berikut:
1)      Jhguygfrijoi
2)      Lkjhiukhfoishlkdf
3)      Lkjhgkljhkjngl.,m
4)      Lkjxhlfknlgknmlk
2.   Klausa
Klausa merupakan unsur-unsur yang termasuk dalam tataran sintaksis. Ada beberapa definisi mengenai klausa yang dikemukakan para ahli. Menurut Suherlan dan Odien R (2003:215) menyatakan bahwa, ”klausa merupakan satuan gramatikal yang terdiri atas beberapa kata, yang sekurang-kurangnya terdiri atas fungsi subjek dan predikat, dengan disertai objek, pelengkap, keterangan atau tidak, dan berpotensi menjadi kalimat”.
Sedangkan menurut Chaer (2003:231) menyatakan bahwa, ”klausa adalah satuan sintaksis berupa runtutan kata-kata berkonstruksi predikatif”. Selanjutnya menurut Kridalaksana dalam (Suherlan dan Odien R, 2003:215) yang memberikan batasan terhadap klausa sebagai satuan gramatikal yang berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan predikat, dan mempunyai potensi untuk menjadi kalimat.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli mengenai definisi klausa, dapat disimpulkan bahwa klausa merupakan satuan gramatikal yang terdiri atas beberapa kata, memiliki subjek dan predikat, unsur objek, pelengkap, dan keterangan boleh ada atau tidak serta mempunyai potensi menjadi kalimat. Adapun contoh klausa dari puisi yang berjudul ” Lagu Tanah Kemarau” sebagai berikut:
1)      Kjgabkjf
2)      Jhgfjzbjkf
3)      Jhzgdfjkbf,


3.   Kalimat
Menurut Lamudin Finoza (2004: 111) Kalimat adalah bagian ujaran yang mempunyai struktur minimal Subjek (S) dan Perdikat (p) dan intonasinya menunjukan bagian ujaran itu sudah lengkap dengan makna. Intonasi final kalimat dalam bahasa tulis dilambangkan dengan tanda titik, tanda Tanya, atau tanda seru.
Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa kalimat merupakan satuan gramatikal yang paling lengkap dan mempunyai struktur sekurang-kurangnya terdiri dari subjek dan predikat. Kemudian ditandai dengan adanya tanda baca baik berupa tanda titik, tanda Tanya maupun tanda seru. Adapun contoh kalimat dari puisi yang berjudul ” Lagu Tanah Kemarau” sebagai berikut:
1)      Kjgrjsbh,fm
2)      Lkjugrasdhbkrjnk
3)      Kuyjhgrsnf,

B.     Kajian secara pragmatik
Menurut George dalam (Kunjana Rahardi, 2007: 12) bahwa pragmatik adalah ilmu tentang makna bahasa, dalam kaitan dengan keseluruhan perilaku umat manusia dan tanda-tanda atau lambang-lambang bahasa yang ada di sekelilingnya. Menurut John R. Searle dalam (Kunjana Rahardi, 2007: 70) menyatakan bahwa dalam praktik penggunaan bahasa di masyarakat, terdapat setidaknya tiga macam tindak tutur di dalam pemakaian bahasa yang sesungguhnya di masyarakat tersebut secara berturut-turut dapat disebutkan seperti berikut ini:
1.      Lokusi yaitu tindak bertutur dengan kata, frasa dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu.
2.      Ilokusi yaitu tindak melakukan sesuatu dengan maksuddan fungsi yang tertentu pula.
3.      Perlokusi yaitu tindak menumbuhkan pengaruh (effect) kepada diri sang mitra tutur.



C.    Kajian secara semantik
Dalam segi semantik pembaca diajak untuk menafsirkan ke arah makna, karena semantik adalah ilmu tentang makna. Menurut Verhaar dalam (Suherlan dan Odien R, 2004: 242) mendefinisikan semantik sebagai cabang linguistik yang meneliti arti atau makna.
D.    Kajian isotopi
Isotopi adalah istilah pokok lain dalam kosakata. Menurut Gremas dalam (John. Luchte, 2001: 209-210) meyakini bahwa isotopi adalah pembedaan kandungan mimpi antara yang “laten” dan yang “tampil”. Dalam puisi yang berjudul “Lagu Tanah Kemarau” karya Azhar terdapat beberapa isotopi, yaitu:
d.      Isotopi manusia     :
e.       Isotopi perbuatan  :
f.       Isotopi alam          :
E.     Kajian secara sosiologi sastra
Swingewood dalam Faruk (2003: 1) mendefinisikan sosiologi sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial, sedangkan Ritzer dalam (Faruk, 2003: 2) menganggap sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang multi paradigma. Maksudnya, di dalam ilmu tersebut dijumpai beberapa paradigma yang saling bersaing satu sama lain dalam usaha merebut hegemoni dalam lapangan sosiologi secara keseluruhan. Paradigma itu sendiri diartikannya sebagai satu citra fundamental mengenai pokok persoalan dalam suatu ilmu pengetahuan, yaitu: paradigma fakta-fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial.
Selanjutnya dikatakan bahwa sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Dalam hal ini tugas sosiologi sastra adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayal dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal usulnya. Tema dan gaya yang ada dalam karya asastra yang bersifat pribadi itu harus diubah menjadi hal-hal yang bersifat sosial.
Sosiologi adalah telaah yang obyektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat, telaah tentang lembaga dan proses sosial. Seperti halnya sosiologi, sastra juga berurusan dengan manusia dalam masyarakat dengan di dalamnya terdapat usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakat ini oleh beberapa penulis disebut sosiologi sastra (Damono, 1978: 6).
Menurut Damono (1978: 2), ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologis terhadap sastra, yaitu: 1) Pendekatan yang berdasarkan anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial ekonomi belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor luar sastra untuk membicarakan sastra; 2) Pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelitian. Metode yang digunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis teks untuk mengetahui lebih dalam lagi gejala di luar sastra.
Menurut Ritzer dalam (Faruk, 2003: 4) setidaknya ada tiga paradigma yang dasar dalam sosiologi, yaitu paradigma fakta-fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial. Kemudian menurut Wellek dan Warren dalam (Faruk, 2003: 4) membagi telaah sosiologi menjadi tiga klasifikasi yaitu:
1.      Sosiologi Pengarang : yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang.
2.      Sosiologi Karya Sastra : yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya.
3.      Sosiologi Sastra : yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.
Klasifikasi sosiologi sastra menurut Wellek dan Warren tidak jauh berbeda dengan klasifikasi kajian sosiologi sastra yang dikemukakan oleh Ian Watt. Ian Watt dalam esainya yang berjudul “Literatur Society” (Damono, 1978: 3-4) yang membicarakan hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat, yaitu antara lain:
(1)   Konteks sosial pengarang
Konteks sosial pengarang ada hubungannya dengan posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, dan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi si pengarang sebagai perseorangan dan isi karya sastranya. Yang terutama harus diteliti adalah (a) bagaimana si pengarang mendapatkan mata pencahariannya, apakah ia menerima bantuan dari pengayom atau dari masyarakat secara langsung, atau dari kerja rangkap, (b) profesionalisme dalam kepengarangan: sejauh mana pengarang itu menganggap pekerjaannya sebagai profesi, dan (c) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang dalam hubungan antara pengarang dan masyarakat, sebab masyarakat yang dituju sering mempengaruhi bentuk dan isi karya sastra.
(2)   Sastra sebagai cermin masyarakat (Mimetik)
Sejauh mana sastra dapat dianggap mencerminkan keadaan masyarakat pada waktu karya itu ditulis, yang terutama mendapat perhatian adalah (a) sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ditulis, (b) sifat lain dari yang lain seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan penampilan faktor-faktor sosial dalam karyanya, (c) genre sastra merupakan sikap sosial kelompok tertentu, bahkan sikap sosial seluruh masyarakat, (d) sastra berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya, mungkin saja tidak dipercaya sebagai cermin pandangan sosial pengarang harus diperhitungkan apabila kita menilai karya sastra sebagai cermin masyarakat.
(3)   Fungsi sosial sastra
Hal yang perlu dipertanyakan adalah sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial. Pada hubungan ini, ada tiga hal yang harus diperhatikan yaitu sudut pandang ekstrinsik kaum Romantik, sastra bertugas sebagai penghibur adanya kompromi dapat dicapai dengan meninjau slogan klasik bahwa sastra harus menggunakan sesuatu dengan cara menghibur (Damono, 1978: 3-4).

D.    Kajian Puisi Keempat
BALADA NELAYAN
Menemui ombak bergulung
Kemiskinan mengepung

Lautan kaya di depan mata
Menyimpan cerita duka

Pancing dan jala ditebarkan
Menangguk sisa jarahan

Layar dikembangkan
Bersama kepedihan

Berlayar di laut biru
Rindu pulang tanpa pilu
A.    Kajian secara sintaksis
Menurut Ramlan dalam (Suherlan dan Odien R, 2004: 195-196) mendefinisikan sintaksis sebagai bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan frasa; berbeda dengan morfologi yang membicarakan seluk beluk kata dan morfem. . Karena sintaksis merupakan sebuah ilmu yang membahas tentang hal tersebut. Adapun penjabaran dari semua itu adalah:
1.      Frasa
Menurut Kridalaksana (2008: 66) mendefinisikan frasa sebagai gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak predikatif. Kemudian menurut Kentjono dalam (Suherlan dan Odien R., 2004: 203) Frasa sebagai satuan gramatikal yang terdiri atas dua kata atau lebih dari dua kata yang tidak berciri klausa dan yang pada umumnya menjadi pembentuk klausa.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa frasa merupakan satuan gramatikal yang terdiri atas dua kata atau lebih yang membentuk suatu kesatuan, tidak bersifat predikatif, tidak berciri klausa, merupakan unsur pembentuk klausa, dan menjadi salah satu unsur atau fungsi kalimat. Adapun contoh frasa dari puisi yang berjudul ” Lagu Tanah Kemarau” sebagai berikut:
1)      Jhguygfrijoi
2)      Lkjhiukhfoishlkdf
3)      Lkjhgkljhkjngl.,m
4)      Lkjxhlfknlgknmlk
2.   Klausa
Klausa merupakan unsur-unsur yang termasuk dalam tataran sintaksis. Ada beberapa definisi mengenai klausa yang dikemukakan para ahli. Menurut Suherlan dan Odien R (2003:215) menyatakan bahwa, ”klausa merupakan satuan gramatikal yang terdiri atas beberapa kata, yang sekurang-kurangnya terdiri atas fungsi subjek dan predikat, dengan disertai objek, pelengkap, keterangan atau tidak, dan berpotensi menjadi kalimat”.
Sedangkan menurut Chaer (2003:231) menyatakan bahwa, ”klausa adalah satuan sintaksis berupa runtutan kata-kata berkonstruksi predikatif”. Selanjutnya menurut Kridalaksana dalam (Suherlan dan Odien R, 2003:215) yang memberikan batasan terhadap klausa sebagai satuan gramatikal yang berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan predikat, dan mempunyai potensi untuk menjadi kalimat.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli mengenai definisi klausa, dapat disimpulkan bahwa klausa merupakan satuan gramatikal yang terdiri atas beberapa kata, memiliki subjek dan predikat, unsur objek, pelengkap, dan keterangan boleh ada atau tidak serta mempunyai potensi menjadi kalimat. Adapun contoh klausa dari puisi yang berjudul ” Lagu Tanah Kemarau” sebagai berikut:
1)      Kjgabkjf
2)      Jhgfjzbjkf
3)      Jhzgdfjkbf,



3.   Kalimat
Menurut Lamudin Finoza (2004: 111) Kalimat adalah bagian ujaran yang mempunyai struktur minimal Subjek (S) dan Perdikat (p) dan intonasinya menunjukan bagian ujaran itu sudah lengkap dengan makna. Intonasi final kalimat dalam bahasa tulis dilambangkan dengan tanda titik, tanda Tanya, atau tanda seru.
Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa kalimat merupakan satuan gramatikal yang paling lengkap dan mempunyai struktur sekurang-kurangnya terdiri dari subjek dan predikat. Kemudian ditandai dengan adanya tanda baca baik berupa tanda titik, tanda Tanya maupun tanda seru. Adapun contoh kalimat dari puisi yang berjudul ” Lagu Tanah Kemarau” sebagai berikut:
1)      Kjgrjsbh,fm
2)      Lkjugrasdhbkrjnk
3)      Kuyjhgrsnf,

B.     Kajian secara pragmatik
Menurut George dalam (Kunjana Rahardi, 2007: 12) bahwa pragmatik adalah ilmu tentang makna bahasa, dalam kaitan dengan keseluruhan perilaku umat manusia dan tanda-tanda atau lambang-lambang bahasa yang ada di sekelilingnya. Menurut John R. Searle dalam (Kunjana Rahardi, 2007: 70) menyatakan bahwa dalam praktik penggunaan bahasa di masyarakat, terdapat setidaknya tiga macam tindak tutur di dalam pemakaian bahasa yang sesungguhnya di masyarakat tersebut secara berturut-turut dapat disebutkan seperti berikut ini:
1.      Lokusi yaitu tindak bertutur dengan kata, frasa dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu.
2.      Ilokusi yaitu tindak melakukan sesuatu dengan maksuddan fungsi yang tertentu pula.
3.      Perlokusi yaitu tindak menumbuhkan pengaruh (effect) kepada diri sang mitra tutur.



C.    Kajian secara semantik
Dalam segi semantik pembaca diajak untuk menafsirkan ke arah makna, karena semantik adalah ilmu tentang makna. Menurut Verhaar dalam (Suherlan dan Odien R, 2004: 242) mendefinisikan semantik sebagai cabang linguistik yang meneliti arti atau makna.
D.    Kajian isotopi
Isotopi adalah istilah pokok lain dalam kosakata. Menurut Gremas dalam (John. Luchte, 2001: 209-210) meyakini bahwa isotopi adalah pembedaan kandungan mimpi antara yang “laten” dan yang “tampil”. Dalam puisi yang berjudul “Lagu Tanah Kemarau” karya Azhar terdapat beberapa isotopi, yaitu:
g.      Isotopi manusia     :
h.      Isotopi perbuatan  :
i.        Isotopi alam          :
E.     Kajian secara sosiologi sastra
Swingewood dalam Faruk (2003: 1) mendefinisikan sosiologi sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial, sedangkan Ritzer dalam (Faruk, 2003: 2) menganggap sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang multi paradigma. Maksudnya, di dalam ilmu tersebut dijumpai beberapa paradigma yang saling bersaing satu sama lain dalam usaha merebut hegemoni dalam lapangan sosiologi secara keseluruhan. Paradigma itu sendiri diartikannya sebagai satu citra fundamental mengenai pokok persoalan dalam suatu ilmu pengetahuan, yaitu: paradigma fakta-fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial.
Selanjutnya dikatakan bahwa sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Dalam hal ini tugas sosiologi sastra adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayal dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal usulnya. Tema dan gaya yang ada dalam karya asastra yang bersifat pribadi itu harus diubah menjadi hal-hal yang bersifat sosial.
Sosiologi adalah telaah yang obyektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat, telaah tentang lembaga dan proses sosial. Seperti halnya sosiologi, sastra juga berurusan dengan manusia dalam masyarakat dengan di dalamnya terdapat usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakat ini oleh beberapa penulis disebut sosiologi sastra (Damono, 1978: 6).
Menurut Damono (1978: 2), ada dua kecenderungan utama dalam telaah sosiologis terhadap sastra, yaitu: 1) Pendekatan yang berdasarkan anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial ekonomi belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor luar sastra untuk membicarakan sastra; 2) Pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelitian. Metode yang digunakan dalam sosiologi sastra ini adalah analisis teks untuk mengetahui lebih dalam lagi gejala di luar sastra.
Menurut Ritzer dalam (Faruk, 2003: 4) setidaknya ada tiga paradigma yang dasar dalam sosiologi, yaitu paradigma fakta-fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial. Kemudian menurut Wellek dan Warren dalam (Faruk, 2003: 4) membagi telaah sosiologi menjadi tiga klasifikasi yaitu:
4.      Sosiologi Pengarang : yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-lain yang menyangkut diri pengarang.
5.      Sosiologi Karya Sastra : yakni mempermasalahkan tentang suatu karya sastra yang menjadi pokok telaah adalah tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat yang hendak disampaikannya.
6.      Sosiologi Sastra : yang mempermasalahkan tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.
Klasifikasi sosiologi sastra menurut Wellek dan Warren tidak jauh berbeda dengan klasifikasi kajian sosiologi sastra yang dikemukakan oleh Ian Watt. Ian Watt dalam esainya yang berjudul “Literatur Society” (Damono, 1978: 3-4) yang membicarakan hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat, yaitu antara lain:

(1)   Konteks sosial pengarang
Konteks sosial pengarang ada hubungannya dengan posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, dan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi si pengarang sebagai perseorangan dan isi karya sastranya. Yang terutama harus diteliti adalah (a) bagaimana si pengarang mendapatkan mata pencahariannya, apakah ia menerima bantuan dari pengayom atau dari masyarakat secara langsung, atau dari kerja rangkap, (b) profesionalisme dalam kepengarangan: sejauh mana pengarang itu menganggap pekerjaannya sebagai profesi, dan (c) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang dalam hubungan antara pengarang dan masyarakat, sebab masyarakat yang dituju sering mempengaruhi bentuk dan isi karya sastra.
(2)   Sastra sebagai cermin masyarakat (Mimetik)
Sejauh mana sastra dapat dianggap mencerminkan keadaan masyarakat pada waktu karya itu ditulis, yang terutama mendapat perhatian adalah (a) sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ditulis, (b) sifat lain dari yang lain seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan penampilan faktor-faktor sosial dalam karyanya, (c) genre sastra merupakan sikap sosial kelompok tertentu, bahkan sikap sosial seluruh masyarakat, (d) sastra berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya, mungkin saja tidak dipercaya sebagai cermin pandangan sosial pengarang harus diperhitungkan apabila kita menilai karya sastra sebagai cermin masyarakat.
(3)   Fungsi sosial sastra
Hal yang perlu dipertanyakan adalah sampai seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi nilai sosial. Pada hubungan ini, ada tiga hal yang harus diperhatikan yaitu sudut pandang ekstrinsik kaum Romantik, sastra bertugas sebagai penghibur adanya kompromi dapat dicapai dengan meninjau slogan klasik bahwa sastra harus menggunakan sesuatu dengan cara menghibur (Damono, 1978: 3-4).




DAFTAR PUSTAKA
Azhar. 2005. Mata yang Memberi. Jakarta: Bukupop
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra (Sebuah Pengantar Ringkas). Jakarta: Depdikbud.
Faruk. 2003. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Finoza, Lamudin. 2004. Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Diksi Insan Mulia

Herwan FR. 2005. Apresiasi dan Kajian Puisi. Banten: Gerage Budaya.
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

Luchte, John. 2001. 50 Filsuf Kontemporer (Dari Strukturalisme Sampai Post Moderitas). Yogyakarta: Kanasius (Anggota Kapi).
Pradopo, Rakhmat Joko. 2009. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Rahardi, Kunjana R. 2007. Berkenalan dengan Ilmu Bahasa Pragmatik. Malang: DIOMA.

Suherlan dan Odien R. 2004. Ihwal Ilmu Bahasa dan Cakupannya. Banten: Untirta Press.

Tidak ada komentar:

zakifahrizal. Diberdayakan oleh Blogger.