BELAJAR DARI TASIKARDI
oleh
Zaki
Fahrizal
Salah
satu dari sekian banyak warisan budaya di Indonesia adalah cerita rakyat.
Cerita rakyat merupakan satu jenis cerita yang hidup dan berkembang dengan
caranya sendiri, sampai saat ini. Cerita rakyat juga memainkan peranan
penting dalam usaha
pembinaan dan pengembangan
kebudayaan Nasional,
terutama dalam pembangunan
rohani bangsa Indonesia
secara umum dan masyarakat Banten pada khususnya, serta
cerita rakyat juga banyak memberikan pesan moral maupun pengajaran yang penting
untuk setiap pembaca.
Cerita
rakyat Banten juga selalu berhubungan dengan kepercayaan dan merupakan
peradaban yang erat pula hubungannya dengan kehidupan. Selain itu juga
berfungsi sebagai alat untuk memelihara serta menurunkan buah pikiran suatu
suku atau bangsa penulis sastra itu. Untuk itu cerita rakyat Banten merupakan
bahan analisis yang tepat untuk memahami tingkah laku, pikiran dan falsafah
kehidupan masyarakat pemilik cerita tersebut. Diakui bahwa ada di antara cerita
rakyat itu yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan keadaan masyarakat
sekarang ini. Namun, banyak di antara cerita rakyat itu yang mengandung ide
yang besar, buah pikiran yang luhur, penyelaman jiwa yang berharga dan
sebagainya. Semuanya itu masih tetap dapat dimanfaatkan pada masa sekarang dan
pada masa yang akan datang. Cerita rakyat yang menjadi bahan analisis dalam tulisan
ini adalah cerita rakyat “Danau Tasikardi” dilihat dari segi nilai-nilai. Saat ini Danau Tasikardi dijadikan obyek wisata dan termasuk salah satu
tempat bersejarah Kawasan Wisata Banten Lama yang cukup ramai dikunjungi
wisatawan, terutama pada hari libur.
Secara
administratif, Danau Tasikardi terletak di Desa Margasana Kecamatan Kramatwatu
Kabupaten Serang Banten. Letak Danau Tasikardi kira-kira 2 km sebelah tenggara
Kraton Surosowan. Lokasi objek Danau Tasikardi di pinggir jalan utama. Akses
menuju lokasi dapat melalui jalan raya Serang-Cilegon, tepatnya di simpang empat Kramatwatu (perempatan lampu
merah pasar Kramat) ke arah utara sekitar 3 km atau melalui jalan raya
Serang-Kasemen ke arah utara sekitar 10 km dari pusat kota serang.
Tasikardi
berasal dari kata ‘tasik’ yang artinya danau dan ‘ardi’ yang artinya buatan.
Asal mula tempat yang disebut dengan Tasikardi memeunculkan nama tokoh, yaitu
‘Siti Badriyah’ yang dianggap oleh masyarakat sebagai penunggu atau penguasa Danau Tasikardi. Riwayat tentang
Siti Badriyah tidak diketahui secara
pasti namun kemungkinan besar merupakan salah satu puteri dari keraton
atau puteri sultan.
Keberadaan
Siti Badriyah diakui oleh masyarakat karena dapat dibuktikan dengan kemunculan
penampakan seorang puteri yang kecantikannya luar biasa dengan ciri fisik
berambut panjang sepinggang, apabila air danau surut kadang Siti Badriyah
terlihat berjalan dari kampung Kenari menuju Danau Tasikardi, kemudian
mengontrol saluran air dari Danau Tasikardi, kadang menampakkan diri dengan
menunggang kuda atau macan.
Di dalam
cerita rakyat terkandung nilai-nilai yang dapat kita pelajari. Nilai-nilai itu
dapat berbentuk nilai hormat mengormati, sikap saling menghargai, nilai
toleransi, dan nilai peduli akan lingkungan alam serta nilai religius. Nilai
rasa hormat, yaitu sikap dan sifat menghargai orang lain. Nilai toleransi,
nilai peduli lingkungan alam, dan nilai religius, yaitu perilaku yang
berpedoman kepada syariat islam atau keyakinan bahwa selain manusia, Allah SWT
juga menciptakan jin, setan, iblis (mahluk gaib). Siti Badriyah merupakan penunggu dan penguasa
Danau Tasikardi. Siti Badriyah dianggap sosok yang baik atau tidak mengganggu
penduduk atau pengunjung jika penduduk dan pengunjung tersebut bersikap tertib
atau sewajarnya. Misalnya ketika Siti
Badriyah mengizinkan bagi penduduk setempat untuk memanen ikan. Untuk dapat
bertemu atau melihat penampakan wujud Siti Badriyah, maka kita dapat melakukan
semedi atau bertapa dengan melakukan hadarotun atau membaca doa-doa secara
islam di danau.
Jadi,
cerita rakyat Banten juga selalu berhubungan dengan kepercayaan dan merupakan
peradaban yang erat pula hubungannya dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.
Selain itu juga berfungsi sebagai alat untuk memelihara dan menjaga kearifan
lokal yang dimiliki masyarakat Banten. (*)
*Dimuat
dalam Harian Umum Kabar Banten, Kamis 7 Desember 2017
Tidak ada komentar: