IBNU SINA (AVICENNA)
Terlahir di keluarga Muslim Syi’ah di masa era Keemasan Islam Persia, Ibn
Sina tumbuh menjadi anak yang cerdas dan suka membaca ragam buku tentang ragam
disiplin ilmu dan segala macam pengetahuan. Minatnya pada pengetahuan tumbuh
alami dan membentuknya sebagai ilmuwan dan filsuf multi-disipliner.
Ibn Sina (980-1037) dikenal sebagai Avicenna di Dunia Barat adalah seorang
filsuf, ilmuwan, dan juga dokter kelahiran Persia. Ia juga seorang penulis yang
produktif di mana sebagian besar karyanya adalah tentang filosofi dan
pengobatan. Bagi banyak orang, ia adalah “Bapak Pengobatan Modern” dan masih
banyak lagi sebutan baginya yang kebanyakan bersangkutan dengan karya-karyanya
di bidang kedokteran.
Karyanya yang sangat terkenal adalah Qanun Fi Al-Thib atau Canon of
Medicine yang merupakan rujukan di bidang kedokteran selama berabad-abad. Nama
lengkapnya adalah Abū ‘Alī Al-Husayn bin ‘Abdullāh bin Sīnā. Ibnu Sina lahir
tahun 980 di Afsyahnah daerah dekat Bukhara, sekarang wilayah Uzbekistan (yang
kala itu masuk kawasan administrative Persia), dan meninggal pada Juni 1037 di
Hamadan, Persia (Iran). Ia pengarang dari 450 buku pada beberapa pokok bahasan
besar. Banyak diantaranya memusatkan pada filosofi dan kedokteran.
Pada zaman ia hidup, ilmuwan-ilmuwan muslim banyak menerjemahkan teks ilmu
pengetahuan dari Yunani, Persia dan India. Teks Yunani dari jaman Plato,
sesudahnya hingga jaman Aristoteles secara intensif banyak diterjemahkan dan
dikembangkan lebih maju oleh para ilmuwan Islam. Pengembangan ini terutama
dilakukan oleh perguruan yang didirikan oleh Al-Kindi. Pengembangan ilmu
pengetahuan di masa ini meliputi matematika, astronomi, aljabar, trigonometri,
dan ilmu pengobatan.
Pada jaman Dinasti Samayid di bagian timur Persia wilayah Khurasan dan
Dinasti Buyid di bagian barat Iran memberi suasana yang mendukung bagi
perkembangan keilmuan dan budaya. Di jaman Dinasti Samaniyah, Bukhara dan
Baghdad menjadi pusat budaya dan ilmu pengetahuan dunia Islam.
Ilmu-ilmu lain seperti studi tentang Al-Qur’an dan Hadist berkembang dengan
suasana perkembangan ilmiah. Ilmu lainya seperti ilmu filsafat, Ilmu Fikih,
Ilmu Kalam sangat berkembang dengan pesat. Pada masa itu Al-Razi dan Al-Farabi
menyumbangkan ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu pengobatan dan filsafat. Pada
masa itu Ibnu Sina memiliki akses untuk belajar di perpustakaan besar di
wilayah Balkh, Khwarezmia, Gorgan, Kota Ray, Kota Isfahan dan Hamedan.
Selain fasilitas perpustakaan besar yang memiliki banyak koleksi buku, pada
masa itu hidup pula beberapa ilmuwan muslim seperti Abu Raihan Al-Biruni
seorang astronom terkenal, Aruzi Samarqandi, Abu Nashr Mansur seorang
matematikawan terkenal, Abu Al-Khayr Khammar seorang fisikawan dan ilmuwan
terkenal lainnya.
Dalam hal ini, Syeikh Ar-Rais Abu Ali Husein bin Abdillah bin Hasan bin Ali
bin Sina (Avicenna), yang berasal dari keluarga bermadzhab Syi’ah sudah akrab
dengan pembahasan ilmiah terutama yang disampaikan oleh ayahnya. Kecerdasannya
yang sangat tinggi membuatnya sangat menonjol sehingga salah seorang guru
menasehati ayahnya agar Ibnu Sina tidak terjun ke dalam pekerjaan apapun selain
belajar dan menimba ilmu.
Dengan demikian, Ibnu Sina secara penuh memberikan perhatiannya kepada
aktivitas keilmuan. Kejeniusannya membuat ia cepat menguasai banyak ilmu, dan
meski masih berusia muda, beliau sudah mahir dalam bidang kedokteran. Beliau
pun menjadi terkenal, sehingga Raja Bukhara, yaitu Nuh bin Mansur yang
memerintah antara tahun 366 hingga 387 Hijriyah saat jatuh sakit memanggil Ibnu
Sina untuk merawat dan mengobatinya.
Berkat hal itu, Ibnu Sina dapat leluasa masuk ke perpustakaan istana Samani
yang besar. Ibnu Sina mengenai perpustakan itu mengatakan:
“Semua buku yang aku inginkan ada di situ. Bahkan aku menemukan banyak buku
yang kebanyakan orang bahkan tak pernah mengetahui namanya. Aku sendiri pun
belum pernah melihatnya dan tidak akan pernah melihatnya lagi. Karena itu aku
dengan giat membaca kitab-kitab itu dan semaksimal mungkin dan memanfaatkannya.
Ketika usiaku menginjak 18 tahun, aku telah berhasil menyelesaikan semua bidang
ilmu”.
Ibnu Sina memang menguasai berbagai ilmu seperti hikmah, logika, dan
matematika dengan berbagai cabangnya. Sementara itu, kesibukannya di pentas
politik di istana Mansur, Raja Dinasti Samanid, juga kedudukannya sebagai
menteri di pemerintahan Abu Tahir Syamsud Daulah Deilami dan konflik politik
yang terjadi akibat perebutan kekuasaan antara kelompok bangsawan, tidak
mengurangi aktivitas keilmuan Ibnu Sina. Bahkan safari panjangnya ke berbagai
penjuru dunia dan penahanannya selama beberapa bulan di penjara Tajul Mulk,
penguasa Hamedan, tak menghalanginya untuk melahirkan ratusan jilid karya
ilmiah dan risalah.
Ketika berada di istana dan hidup tenang serta dapat dengan mudah
memperoleh buku yang diinginkan, Ibnu Sina menyibukkan diri dengan menulis
kitab Qanun dalam ilmu kedokteran atau menulis ensiklopedia filsafatnya yang
diberi nama kitab Al-Syifa’. Namun ketika harus bepergian, ia menulis buku-buku
kecil yang disebut dengan Risalah. Saat berada di dalam penjara, Ibnu Sina
menyibukkan diri dengan menggubah bait-bait syair, atau menulis perenungan
agamanya dengan metode yang indah.
Diantara buku-buku dan risalah yang ditulis oleh Ibnu Sina, yaitu kitab
Al-Syifa’ dalam filsafat dan Al-Qanun dalam ilmu kedokteran kemudian dikenal
sepanjang masa. Al-Syifa’ ditulis dalam 18 jilid yang membahas ilmu filsafat,
mantiq (logika), matematika, ilmu alam dan ilahiyyat. Mantiq Al-Syifa’ saat ini
dikenal sebagai buku yang paling otentik dalam ilmu mantiq Islami, sementara
pembahasan ilmu alam dan ilahiyyat dari kitab Al-Syifa’ sampai saat ini juga
masih menjadi bahan telaah.
Dalam ilmu kedokteran, kitab Al-Qanun tulisan Ibnu Sina selama beberapa
abad menjadi kitab rujukan utama dan paling otentik. Kitab ini mengupas
kaidah-kaidah umum ilmu kedokteran, obat-obatan dan berbagai macam penyakit.
Seiring dengan kebangkitan gerakan penerjemahan pada abad ke-12 Masehi.
Ibn Sîna tumbuh di dalam keluarga kaya dan terpandang karena ayahnya
menjadi wali di Afsyanat sebelum kemudian hijrah ke Bukhara. Ia dibesarkan di
lingkungan keluarga penganut Islam Syi’ah yang intelektual. Ayah dan
saudara-saudaranya dikenal sebagai Muslim Syi’ah. Ia juga hidup di dalam sebuah
lingkungan bilingual (dua bahasa). Bahasa ibu-nya adalah bahasa Persia sedang
bahasa pendidikannya adalah bahasa Arab.
Di Bukhara, Ibn Sîna mulai menerima pendidikan. Oleh ayahnya, ia diberi
pelajaran privat dengan memanggil seorang tutor (pengajar khusus yang dibayar
oleh keluarga-keluarga bangsawan) ke rumahnya. Tampaknya pendidikan yang
disediakan untuk Ibn Sîna oleh ayahnya berskala sangat luas, mencakup kajian
keagamaan Islam dan mata kajian sekuler dari Arab, Yunani, dan tradisi India.
Ia memulai pendidikannya dengan belajar menghafal Al-Qur’an dan sastra dan
bahasa Arab, termasuk dasar-dasar keagamaan lainnya seperti fiqih. Ia
mempelajari fiqh kepada Abu Muhammad Isma’îl ibn Al-Husainî Al-Zâhid.
Diperkirakan, Ibn Sîna telah merampungkan pelajaran bahasa, sastra dan
dasar-dasar keagamaan sebelum usia sepuluh tahun.
Selanjutnya, ia mempelajari ilmu-ilmu ‘aqliyat kepada teman ayahnya yang
Ahli filsafat yaitu ‘Ali Abu Abd-Allâh Al-Natilî. Melalui Al-Natilî, awalnya
Ibn Sîna berkenalan dengan logika, geometri, dan astronomi, serta filsafat
Yunani. Dalam beberapa tahun berikutnya ia telah mempelajari logika Aristoteles
melalui Organon, geometri-nya Euclid dengan mengkaji Elements, dan juga
astronominya dan kosmologi Ptolomy dari Almagest, dan segera bisa melampaui
pengetahuan gurunya di dalam ilmu-ilmu tersebut.
Sejak usia 14 atau 15 tahun Ibn Sîna meneruskan pendidikannya secara
otodidak. Ia membaca teks dan uraian di dalam ilmu-ilmu alam, metafisika, dan
ilmu kedokteran. Ia mempelajari kedokteran sampai mahir sehingga suatu ketika
pada usia enambelas tahun ia telah mampu mengajar dan mempraktikkannya.
Dalam satu setengah tahun kemudian, sampai usia enam belas tahun, ia
melengkapi pengetahuannya dengan mereview dan menguasai seluruh cabang
filsafat: logika, matematika, ilmu-ilmu alam (fisika), dan metafisika. Pada
usia enam belas tahun ini, Ibn Sîna telah secara aktif terlibat di dalam
seminar-seminar resmi dan seminar-seminar kedokteran, di mana para dokter
(tabib) pada masanya datang kepadanya dan memintanya memberi penjelasan.
Di dalam memahami metafisika Aristoteles ia banyak terbantu oleh uraian
Al-Farabî (wafat 950 Hijriah) “Maqâlat Fi Aghrâd Mâ Ba’da Al-Thabî’at” yang
menjelaskan tentang hal tersebut. Tampaknya ia sangat mengalami kesulitan untuk
memahami metafisika Aristoteles sebelum membaca uraian Al-Farabî tersebut.
Dikisahkan ia telah membaca metafisika Aristoteles empat puluh kali tanpa
mengerti, sampai akhirnya memahami maksudnya dari tulisan Al-Farabî. Setelah
membaca dan memahami buku tersebut, Ibn Sîna kemudian tidak sekedar memiliki
kesiapan untuk memahami metafisika Aristoteles, tetapi bahkan kemudian dia
memberikan kontribusinya yang mendalam dan distingtif di dalam keberanian
mendefinisikannya.
Ketika usia Ibn Sîna mencapai 21 tahun, ayahnya meninggal dunia.
Sepeninggal ayahnya dan di tengah kondisi kehancuran Daulah Samaniyah, Ibn Sîna
meninggalkan Bukhara menuju kota Kurkanj di Khawarizm. Di sana, ia disambut
oleh wazir Abu Al-Husein Al-Sahlî di istananya yang menyenangi filsafat serta
orang yang mencurahkan pemikirannya untuk filsafat. Ibn Sîna kemudian
diperkenalkan kepada Amir ‘Ali bin Ma´mûn, penguasa Kurkanj di bawah khalifah
Ma´mûn bin Ma´mûn, yang memperkenankannya tinggal di istananya.
Di istana Amir Ali inilah, Ibn Sîna tinggal selama sepuluh tahun sampai
1012 M/402 H. Di Kurkanj ini pula, Ibn Sîna menunjukkan keterlibatannya pada
kelompok ilmiah bersama dengan tokoh-tokoh lainnya seperti Al-Birûnî (362-448
Hijriah), Abû Sahl Al-Masîhî (wafat 401 Hijriah), Ahli fisika Abî Al-Khair Ibn
Al-Hasan Ibn Al-Khammâr, dan ahli matematika Abi Nasr Ibn Al-’Arrâq. yang juga
sama-sama berada di istana.
Pada masa tersebut, bintang Sultan Mahmûd Ghaznâwî di Ghazna sedang
bersinar cemerlang. Sultan Mahmûd menginginkan sinar kemenangannya semakin
meluas. Ia ingin agar istananya menjadi yang paling agung. Karenanya ia
kemudian menarik para ulama, filsuf, penyair, dan ahli hikmah ke istananya
dengan segala cara. Ketika ia mendengar kelompok Kurkanj, Sultan Mahmûd
berkirim surat pada sultan Ma´mûn, yang dibawa utusannya dan berisi permintaan
agar mengirimkan seluruh tokoh tersebut ke istananya.
Sesampainya utusan Sultan Mahmûd sampai di Khawarizm, Amir menunjukkan
surat kepada para ulama yang namanya tercantum di dalam surat tersebut.
Sementara tiga orang –Al-Birûni, Al-’Arrâq, dan Khammâr– menyatakan
ketertarikannya dan akhirnya berangkat ke Ghazna, Ibn Sîna dan Al-Masîhî dengan
bantuan Ma´mûn memilih melarikan diri ke selatan. Al-Masîhî tewas di dalam
perjalanan di dalam sebuah badai di gurun pasir. Sementara Ibn Sîna dengan
susah payah bisa tiba di Baward, lalu menuju Thus dan Naishapur. Akhirnya, ia
sampai ke Jurjan yang ketika itu dikuasai oleh Syams Al-Ma’âli Qabûs bin
Wasymâkir yang menyambutnya dengan baik. Kejadian ini berlangsung masih di
tahun 402 Hijriah (1012 Masehi).
Sejak itu Ibn Sîna tinggal di Jurjan dan di sana –dalam usia tiga puluh dua
tahun– ia bertemu dengan Abd Al-Wâhid Abu ‘Ubaid Al-Juzjâni yang kemudian
menjadi murid, mendampingi perjalanan selanjutnya dan sekaligus menuliskan
napak tilas kehidupannya. Di sana ia juga bertemu dengan Abû Muhammad
Al-Syirâzi yang menyediakan satu rumah bagi Ibn Sîna, di samping rumahnya
sendiri, yang digunakan sebagai pusat pengajaran. Di mana kemudian ia menulis
karangan untuk Al-Syirâzi berjudul Kitâb Al-Irsyâd Al-Kulliyat dan Al-Mabda’ wa
Al-Ma’âd. Di Jurjan juga, pada tahun 402 Hijriah (1012 Masehi), Ibn Sîna
memulai penulisan naskah besar kedokteran karangannya, Al-Qânûn fi Al-Thibb
(Canon of Medicine).
Ketika Sultan Qabus terbunuh dan keadaan politik di Jurjan bergolak, Ibn
Sîna –dengan diiringi oleh Al-Juzjâni– berturut-turut pindah ke Ray, Quzwain,
kemudian ke Hamadan (semua kota tersebut masuk kawasan Iran).
Di Rayy, kota terkaya di Persia (kini Iran) utara masa itu, Ibn Sîna
mengobati pangeran yang terserang melankolia dan depresi, Majd Al-Dawlat
(387-420 Hijriah) di istana kerajaan. Majd Al-Dawlat adalah penguasa Buwaihi
yang sangat lemah di dalam memerintah. Di dalam menjalankan roda pemerintahan
ia “diatur” oleh ibunya, Ratu Dawâjir.
Ketika Sultan Mahmûd Ghaznâwi mengirimkan surat tantangan, Ratu Dawâjir
masih dapat membalasnya melalui sebuah surat balasan. Tetapi ketika ibunya
meninggal di tahun 1028 Masehi, Majd Al-Dawlat tidak lagi mampu mengontrol
tentaranya dan bahkan mengundang Mahmûd Ghaznâwi, yang kemudian justru
menjadikannya tawanan. Dalam kondisi demikian, Ibn Sîna tidak menunggu lama
lebih lagi, kemudian ia melarikan diri ke Quzwain.
Dari Quzwain inilah kemudian Ibnu Sina pindah ke Hamadan. Di Hamadan, ia
dipanggil untuk mengobati penyakit kolik yang diderita Amir Syams Al-Dawlat
(387-412 Hijriah), kepala pemerintahan dari dinasti Buwaihi saudaranya Majd
Al-Dawlat. Di sana ia tinggal empat puluh hari untuk mengobati Amir sampai sang
Amir sembuh dari sakitnya. Ia tiba di sana di akhir tahun 405 Hijriah (1015
Masehi). Karena kesembuhannya, Ibn Sîna sangat dihormati sang Amir.
Sampai-sampai Ibn Sîna diberi kehormatan menjadi “menteri pertama“ dan salah
satu sahabatnya. Jabatan menteri tersebut dipegang oleh Ibn Sîna tidak kurang
dari lima tahun.
Tampaknya Ibn Sîna bersikap sangat tegas di dalam menyikapi tentara dan
pegawai yang korup. Angkatan bersenjata kemudian melakukan demonstrasi ke
rumahnya, memfitnah lalu menahan dan menangkapnya. Ia ditangkap dan diminta kepada
Amir agar dijatuhi hukuman mati. Amir menolak tuntutan mereka, tetapi untuk
memuaskan tuntutan mereka, Amir akhirnya memperlakukan hukuman buang. Ibn Sîna
terpaksa bersembunyi di rumah Abî Sa’îd bin Dakhduk selama empat puluh hari.
Tak lama setelah itu, Amir Syams Al-Dawlat sakit kembali, dan Ibn Sîna kembali
diminta mengobati. Amir kemudian mengembalikan Ibn Sîna menjadi menterinya
lagi.
Di saat Syam Al-Dawlah meningal dunia dan Samâ’ Al-Dawlat (memerintah
412-414 Hijriah) menggantikan ayahnya serta memilih Tâj Al-Mulk menjadi Wazir,
Ibn Sîna menulis surat permintaan suaka politik kepada Alâ’ Al-Dawlat, Amir
kota Isfahan yang terkenal indah. Kejadian tersebut diketahui oleh Tâj Al-Mulk,
yang menyebabkannya ditangkap dan ditahan di benteng Fardajan di wilayah Jarrah
sekitar 55 mil di luar kota Hamadan. Ketika itu, harapan untuk keluar dari
penjara tampaknya dipandangnya sangat tipis, sampai ia menulis syair:
“Aku masuk dengan pasti sebagaimana telah engkau saksikan,
sementara ketidak-pastian menyertai dalam hal kapan keluar”.
sementara ketidak-pastian menyertai dalam hal kapan keluar”.
Namun, di benteng tersebut, ia justru berhasil menyelesaikan penulisan
kitab Al-Hidâyat, dan kisah allegoriknya Hayy Ibn Yaqzân.
Ketika kemudian terjadi peperangan antara Samâ’ Al-Dawlat –Amir Hamadan–
dengan Alâ’ Al-Dawlat– sang Amir Isfahan, Ibn Sîna kemudian dilepas oleh Alâ’
Al-Dawlat setelah ia terpenjara selama empat bulan lamanya. Sekeluarnya Ibn
Sîna dari penjara. Ia kemudian minta perlindungan ke Isfahan. Di sana, ia
disambut dengan hangat. Ibn Sîna tinggal di Isfahan selama tiga belas tahun. Di
Isfahan, Ibn Sîna hidup terhormat. Ia hadir di majlis Amir pada setiap malam
Jum’at, bertukar pikiran dengan para ulama di hadapan Amir, bahkan menemani
Amir ke medan-medan peperangan.
Dalam suatu peperangan menemani Alâ’ al-Dawlat ini, Ibn Sîna terserang
penyakit kolik sampai ususnya luka. Penyakit yang menyerangnya tersebut
tampaknya parah. Dalam satu hari, Ibn Sîna mengalami nyeri perut sampai delapan
kali, sehingga ketika penyakitnya bertambah parah, ia terpaksa kembali ke
Isfahan untuk menyembuhkan dirinya. Tak lama kemudian, ia sudah kembali lagi
menemani Alâ’ al-Dawlat. Hanya saja ia tidak memelihara diri dan bahkan banyak
membahayakan dirinyasampai penyakitnya kambuh kembali dan ia jatuh tersungkur,
walaupun akhirnya berhasil sembuh.
Di dalam perjalanannya menemani Amir ke Hamadan, penyakitnya kambuh di
jalan. Ia akhirnya menganggap pengobatan tak akan mampu lagi menyembuhkan
penyakitnya. Ia kemudian menghentikan pengobatan dan berpasrah pada takdir. Ia
berkata:
“Sesuatu yang mengatur badanku kini tidak lagi dapat mengaturku. Sekarang
tak ada gunanya lagi pengobatan”
Ibn Sîna kemudian mandi, bertaubat, menyedekahkan miliknya, dan
memerdekakan budak-budaknya. Ia kemudian meninggal tahun 428 Hijriah (1037
Masehi) dan dimakamkan di Hamadan.
Apabila kita cermati, maka perjalanan hidup Ibn Sîna dari segi
produktivitas keilmuannya, dapat dibagi menjadi dua fase: Fase pembentukan
(Al-Tahsîl) dan fase produktif (Al-Intâj Al-’Ilmî). Fase pertama, yaitu fase
belajarnya dimulai usia lima tahun sampai sepuluh tahun belajar dasar-dasar
Al-Qur’an, ilmu-ilmu agama, serta ilmu perbintangan, serta masa-masa belajar
sesudahnya. Pada masa ini, Ibn Sîna mengalami masa yang lebih didominasi oleh
masa belajarnya yang lebih banyak melakukan penyerapan, di mana aktivitas Ibn
Sîna lebih banyak reseptif dan retentif.
Sedangkan fase kedua, yaitu fase produktif yang dimulai pada usia dua puluh
satu tahun, Ibn Sîna mulai melakukan aktivitas produktif. Setelah masa
tersebut, ia secara aktif menghasilkan karya-karya secara produktif dan
sintetis. Menyumbangkan teori dan khazanah yang gemilang bagi kemajuan ilmu
pengetahuan dan peradaban dunia. (*)
Sumber: wikipedia.org
Tidak ada komentar: