Ads Top

MAAFKAN AKU SAIJA!



MAAFKAN AKU SAIJA!
Oleh
Zaki Fahrizal

  Namanya Tb. Saija Jayadiningrat lengkapnya, 30 tahun asli Banten lahir dan besar di Kota Serang. Keluarga ayah ibunya semua bergelar Tubagus dan Ratu. Jelas darah biru mengalir dalam dirinya. Tapi apa bedanya darah biru dan darah merah? Saija tak suka kebangsawanan. Dia lebih senang jadi rakyat jelata. Karenanya, nyaris di setiap kesempatan, dia hanya menuliskan atau menyebutkan namanya “Saija” saja. Lebih simpel, mudah diingat dan aktual, katanya.
            Aktual. Nah, kata ini yang menjadi pangkal perkenalannya dengan Adinda. Dalam rubrik ‘aktual’ di sebuah koran daerah, profil Saija diulas tuntas dengan judul Saija, pengusaha lokal yang sukses di kandang sendiri. Entah dengan cara bagaimana sampai ke tangan Adinda di Bandung, yang jelas dari rubrik itu Adinda tertarik dengan sub judul ‘Yang Belang Memang Lebih Baik’.
“Saya terbakar waktu berusia 5 tahun. Parah. Kamar saya hangus, sedangkan bapak dan ibu ada di kamar lain. Wajah saya belang. Tangan, kaki, dan badan saya bahkan bukan cuma belang, tetapi penuh keloid. Saya jadi sangat jelek. Tapi kata ibu saya yang belang justru lebih enak. Saya juga belang. Bolehkah saya berteman denganmu? Nama saya Adinda dari Bandung”. Dayung bersambut. Saija langsung menyambut perkenalan itu. Obrolan mengalir deras. Perasaan senasib mengikat pertemanan mereka. Lewat pesan singkat atau telepon. “Aku jauh dari cantik, Saija. Sebelah kiri dari tubuhku berkulit buruk. Mulai dari muka, leher, tangan, hanya kakiku yang selamat”.
Sejak lampu petromak meledak di rumahnya 17 tahun yang lalu kehidupan menjadi gelap. Memang luka Adinda tak separah luka ibu dan bapaknya. Bapaknya pergi, entah dengan wanita yang mana ia pergi, kami tak pernah mendapat kabarnya sampai ibu pun menyusul pergi. Ibu pergi membawa lara dan nyeri karena dikhianati. Saat itu Adinda terperangah. Terlalu tak percaya dengan pendengarannya. Ia telah hidup hampir selama 30 tahun, dan baru kali ini ada lelaki yang mencandainya seperti itu. Dia mengirim sebuah video dan beberapa foto yang terang-terangan menampakkan belang di kulit wajahnya. “Kalau dilihat dari kanan, kamu cantik, Din”. Saija berkata. Ternyata ia telah bertemu dengan lelaki yang istimewa. Lelaki yang membuat hatinya berbunga-bunga. “Dibanding aku, kau lebih beruntung, Din. Kau terbakar waktu berusia 13 tahun, sedangkan aku masih balita. Belasan kali aku dioperasi. Memperbaiki bagian-bagian tubuh yang tak berfungsi normal”. Lalu Saija mulai mengenang masa kecilnya. Ia tak peduli pulsanya habis.
“Din, 2 minggu ke depan, aku akan mengadakan grand opening di restoran baruku di Serang, namanya Sedap Saji. Kau bisa datang ke acara itu kan? Sungguh aku dan kedua orang tuaku mengundangmu secara khusus”. Tapi, bekas luka bakar di wajah Adinda ini benar-benar menjadi momok yng sangat menggangu rasa percaya dirinya. Antara berani atau tidak untuk bertemu Saija. Keesokan harinya Saija meminta kepastian, namun Adinda tetap bungkam. Adinda tak pernah menjelaskan apa-apa, dia menyimpan sendiri dalam hati. Gayung pun bersambut. Adinda menerima ajakan Saija. Adinda akhirnya berangkat bersama dengan supir Saija. Hanya saja, ketika baru beberapa menit mereka tiba di Serang, Adinda tiba-tiba memerintahkan Kohar untuk memutar mobilnya dan pulang ke Bandung.
Adinda merasa tertipu, merasa di permainkan, malu dan amat menyesal telah datang ke Sedap Saji. Dalam angannya, lelaki yang akan menyambutnya adalah lelaki yang buruk rupa yang canggung berdekatan dengan wanita. Tetapi pada kenyataannya, lelaki ini tampan rupawan dan ramah. Kulit wajahnya mulus dan bersih. Inikah Saija? Saija yang di dalam video tubuhnya di penuhi bekas luka bakar, belang dan penuh keloid yang buruk rupa?
Usai shalat subuh, ia menghidupkan televisi dan gambar yang pertama tampak pada layar televisi adalah peristiwa kebakaran. Kebakaran yang terjadi pukul 10 malam tadi, terjadi di sebuah restoran yang berlokasi di Kota Serang saat pembukaan perdananya. Namun sayang, pemilik restoran mewah itu menjadi korban, ia di dapati petugas dalam keadaan pingsan dan sebagian tubuhnya terbakar, uangkpa reporter televisi. Badan Adinda bergetar. Tiba-tiba terdengar bunyi pintu di ketuk. Lelaki itu membuka pintu. Ternyata, Mang Kohar beserta seorang wanita. Ini adalah ibunya Saija, Neng.
Adinda langsung memeluk wanita tua itu. Peristiwa begitu cepat. Adinda, ada kebocoran dalam sistem distribusi gas di dapur. “Sebenarnya saat itu kami semua sudah di luar, tapi kemudian tak ada yang mampu mencegah Saija untuk kembali masuk ke dalam gedung yang telah separuhnya terbakar. Dengan berani dia mencarimu ke setiap toilet, ke belakang, ke tempat yang justru sedang terbakar. Keberaniannya itu sangat mengejutkan, mengingat selama ini dia trauma pada api. Ibu sempat mengingatkannya, tapi dia bilang, ‘aku justru takut Adinda ada di dalam, bu. Tadi dia hanya pamit ke toilet!’. Beberapa menit kemudian petugas pemadam kebakaran berhasil membawanya keluar gedung dalam keadaan pingsan”.
Adinda menangis, tidak hanya dalam hati, dia menangis dengan mata dan seluruh jiwanya. “Maafkan aku, Saija, maafkan. Mestinya aku tetap di dekatmu dan kau tak perlu mencariku kemanapun, apalagi ke dalam kobaran api!”
“Bagaimana keadaan Saija, bu?”, Adinda berkata. Dia terbakar lagi. Ibu Saija mencoba tabah. “Sekarang dia di Rumah Sakit di temani bapak dan beberapa karyawan. Tangannya, wajahnya.. ibu khawatir dengan wajahnya. Din, operasi plastik itu baru berhasil di lakukan setahun yang lalu. Ibu merasa hanya dokter di Singapura yang menangani operasinya itu yang dapat memastikan kondisi luka bakarnya saat ini”.
Adinda berusaha tidak terkejut. “Jadi, Saija menjalani operasi plastik setahun yang lalu? Berarti selama bertelepon dengannya Saija sudah tak berkulit cacat?”. “Saija memang menyembunyikan soal operasi itu padamu. Dia ingin kau mengenalnya sebagai Saija seperti yang berpuluh tahun dialaminya. Saija yang berwajah buruk, Saija yang berkulit belang. Operasi itu sendiri selama ini selalu di tolaknya, tapi ibu memaksa sampai ia mau melakukannya. Hanya wajah dan leher, bagian tubuhnya tidak. Kau tahu kenapa ibu memaksakan operasi plastik yang dananya sangat besar itu, Din?”
“Ibu ingin dia punya istri. Ternyata selama ini ibu hanya berhasil menumbuhkan rasa percaya dirinya untuk mampu mandiri. Dia memang tak bermasalah dalam bermasyarakat dan beraktivitas di dunia kerja, tapi masalahnya justru timbul dalam hal bergaul dengan wanita. Ibu sadari benar, ibu gagal dalam hal ini. Dia tak pernah punya teman perempuan, apalagi yang khusus, kecuali kolega bisnisnya. Itu pun dengan kadar bergaul yang sangat minimalis”.
“Saija siuman setelah dua jam pingsan, Din. Dia memintaku menemuimu di Bandung, setelah yakin kau tak ada lagi di Sedap Saji. Saija sadar, mungkin kau tak lagi mau mempercayainya. Apalagi memaafkan kesalahnnya karena telah menyembunyikan soal operasi itu. Ia terbakar untuk kedua kali, padahal kali ini kulit wajahnya sudah bercampur silikon. Mungkin setelah sembuh pun kau akan menganggapnya terlau buruk untukmu. Tapi meski begitu, dia ingin mengetahui sesuatu. Ibu Saija mengeluarkan sebuah benda dari tasnya. Barang ini di siapkan Saija jauh hari sebelum kau di undang ke restoran Sedap Saji. Dia meminta ibu menyerahkan secepatnya padamu. Ambillah”.
“Sebetulnya, tadi malam Saija berniat melamarmu, Din. Tapi sekarang ia tak berani lagi berharap apa-apa. Ia merasa kau terlalu tinggi untuknya”. Tadi malam Saija berkata “aku tak berani meminta Adinda untuk jadi istriku, bu”.

“Sejak lima bulan yang lalu, saya tak pernah tahu kalau Saija berwajah sempurna. Saya hanya mengenalnya sebagai korban kebakaran yang senasib sama seperti saya. Jadi kalau sekarang dia berwajah jelek, bagi saya bukan masalah. Adinda membawa kesepuluh jemari ibu Saija kehidungnya, di ciumnya. Saya akan mendampingi Saija setiap hari selama dua puluh empat jam, ibu, sampai kodisinya pulih. Seperti yang ibu lakukan dulu ketika ia kecil. Tolong ibu mintakan izin pada bibi saya. Sebab hanya beliau satu-satunya orang tua saya”. Tapi Adinda bisa menduga arahnya, karena dia kenal benar sifat bibinya. Kini, seluruh angan dan imajinya segra melesat ke sebuah Rumah Sakit di Cilegon. Seorang lelaki berperawakan sedang, terbujur lemah di atas sprei putih, dengan kulit wajah melepuh dan tangan berbalut perban. (*)

Tidak ada komentar:

zakifahrizal. Diberdayakan oleh Blogger.