MENYOAL PAMALI DAN TABU
oleh
Zaki Fahrizal
Beberapa waktu yang lalu
tepatnya 15 Desember 2017, saya membaca sebuah opini di Harian Radar Banten
dengan judul Menyoal Sunda dan Jawa
yang ditulis oleh Chudori Sukra. Chudori Sukra dalam tulisannya sempat
membahas sebutan pamali. Chudori Sukra menyebut pamali
diakibatkan oleh peristiwa masa lalu berupa
perang. Raja Hayam Wuruk (Kerajaan Majapahit) menyukai putri raja
bernama Diah Pitaloka dari Kerajaan Sunda. Karena kesalahpahaman kedua belah
pihak, terjadilah kontak senjata di daerah Bubat. Pasukan Gajah Mada mengepung
pasukan Padjajaran hingga Raja Lingga dan pengaawalnya terbunuh. Sedangkan Diah
Pitaloka melakukan bunuh diri. Sejak peristiwa itu Raja Siliwangi selaku
penerus kerajaan Padjajaran melarang laki-laki sunda untuk menikah dengan
perempuan jawa. Jadi yang dimaksud pamali dalam arti sempit adalah larangan atau
pantangan.
Sekarang pertanyaannya,
apakah sebutan pamali hanya ada di Jawa Barat atau dataran Sunda saja?
Apakah bentuk pamali hanya larangan
menikah antara Jawa dan Sunda saja? Bagimana dengan daerah lain? Bukankah
Indonesia multi budaya, agama, dan etnik? Apakah di luar negara Indonesia ada
istilah pamali?
Suatu waktu saya sempat
duduk di depan pintu rumah. Depan pintu rumah bagi saya merupakan tempat yang
nyaman untuk beristirahat. Tetapi orangtua (Ibu) sempat menegur saya, “Jangan
duduk di depan pintu pamali!”.
Teguran itu saya turuti dan akhirnya saya pindahkan posisi duduk saya ke bagian
halaman rumah. Benarkah duduk di depan pintu di sebut pamali? Kasus pamali atau tabu semacam ini banyak dijumpai di lingkungan masyarakat Indonesia
yang multi adat-istiadat, budaya, agama, multi etnik. Pamali atau tabu bila dipandang secara positif ada benarnya juga.
Sebagai contoh, kita dilarang (pamali)
berlama-lama di kamar mandi. Secara logika memang benar, jika kita terlalu lama
mandi maka kulit akan mengkerut karena terkena air. Semakin sering kulit
terkena air dan mengkerut maka tubuh kita akan cepat terlihat tua. Kemudian
dilihat dari segi agama, tidak berlama-lama di kamar mandi karena kamar mandi
merupakan tempat tinggal iblis.
Dalam sebuah hadis,
Rasulullah bercerita bahwa iblis meminta tempat tinggal kepada Allah, kemudian
Allah memberi tempat tinggal iblis di kamar mandi atau tempat yang tandas. Pamali berikutnya, kita dilarang (pamali) tidur di sore hari menjelang
magrib. Menurut orangtua zaman dahulu,
jika kita tidur di sore hari menjelang magrib maka kita akan menjadi gila. Ibnu Qayyim Rahimahullah
menjelaskan bahwa siang hari adalah buruk yang bisa menyebabkan berbagai
penyakit dan bencana, menyebabkan malas, melemahkan syahwat, kecuali dimsuim
panas. Dan yang paling buruk, tidur dipagi hari dan di ujung hari sesudah Asar.
Kemudian, pamali duduk di depan pintu secara
logika juga ada benarnya. Bila kita duduk di depan pintu maka seseorang yang
akan masuk ke rumah akan terhalang oleh tubuh kita. Apalagi jika pintu rumah
kita kecil, pasti orang yang masuk akan kesulitan. Seseorang yang duduk di
depan pintu rumah juga ibarat penjaga rumah. Tamu yang datang seperti dihalangi
dan diharapkan wajib lapor kepada yang duduk di depan pintu.
Berbicara mengenai sebutan pamali dalam konteks budaya dan
masyarakat. Ilmu bahasa dalam hal ini ilmu sosiolinguistik mengistilahkan
sebutan pamali (larangan) dengan
istilah tabu. Wardhaugh (2006:239) menjelaskan bahwa tabu adalah
larangan atau sesuatu yang diyakini dapat membahayakan anggotanya dan hal itu
akan menyebabkab mereka cemas, gugup, atau malu. Kridalaksana (1983:233)
membagi tabu menjadi dua dilihat dari efek yang ditimbulkannya, yaitu tabu
positif karena yang dilarang itu memberi efek kekuatan membahayakan dan tabu
negatif disebabkan larangan tersebut dapat memberikan kekuatan yang mencemarkan
atau merusak kekuatan hidup seseorang. Sehingga untuk menggantikan kata yang
dianggap tabu tersebut seseorang mempergunakan eufimisme.
Eufimisme merupakan
bentuk penghalusan dari kata-kata tertentu sehingga dianggap lebih pantas untuk
diucapkan. Eufimisme bentuk ujaran dalam rangka menghindari mengatakan hal-hal
yang tabu. Eufimisme membuat seseorang dapat mengatakan sesuatu yang tadinya
tidak pantas dan tidak menyenangkan menjadi sesuatu yang lebih pantas dan
menyenangkan. Contoh eufimisme yakni kata tunasusila untuk mengganti kata
pekerja seks komersial.
Masyarakat pulau Jawa
teutama masyarakat pantai Selatan pulau Jawa mentabukan pakaian warna hijau
atau warna merah bagi siapa saja yang ingin berrekreasi ke pantai. Mereka
percaya bahwa jika pengunjung menggunakan pakaian warna hijau atau warna merah
maka mahluk gaib penguasa pantai selatan akan marah. Jika tetap dilanggar maka
hal negatif akan menimpa pengunujung yang mengenakan pakaian warna merah atau
warna hijau tersebut.
Tabu juga tidak hanya
berlaku di Indonesia. Bersiul dianggap sesuatu yang tabu di Korea Utara. Entah
karena alasan apa, hal itu tidak dapat saya temukan dalam berbagai literatur.
Di banten ada masyarakat
adat baduy. Salah satu bentuk kearifan lingkungan yang ditunjukkan
masyarakat adat baduy adalah
dengan menjadikan hutan sebagai tempat yang dikeramatkan. Hutan
dijaga dengan berbagai tabu yang berfungsi
sebagai pengendali segala
aktivitas manusia yang berhubungan
dengan tempat tersebut. Ketaatan pada
tabu yang diwariskan
secara turun-temurun menjadikan hutan tetap lestari.
Oleh karena itu, perilaku
pamali atau tabu memerlukan
penelitian lebih lanjut untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya bidang agama, budaya dan
linguistik. Sebutan pamali yang
diucapkan orangtua kita sudah menjadi suatu kearifan lokal. Suatu sistem norma
yang secara tidak sadar sudah menjadi kesepakatan kolektif masyarakat. Tanpa
hitam di atas putih, tanpa perjanjian, dan tanpa paksaan kita iklas menerima
larangan yang diucapkan orangtua. Intinya patuh ke orangtua. Semoga tulisan ini
tidak dikatakan pamali! (*)
*Dimuat dalam kolom Wacana Publik Harian Radar Banten edisi 2 Januari 2018
*Dimuat dalam kolom Wacana Publik Harian Radar Banten edisi 2 Januari 2018
Tidak ada komentar: