![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiflC8pxGEJEwcGKIUTn9J4GuBxeF-9C_r1qU9hYjfbY9a7MyuPMy_NMYHIMzv1A29dO8VR1KQnjgwQ15T2H0v_FluYYUEJEGInx2itGKiYUO7iZ5mq9MHDyOjdiYYGD0CdGaoPZX1JYeHv/s1600/IMG_20180120_085245.jpg)
BAHASA DAN POLITIK
BAHASA DAN POLITIK
oleh
ZAKI FAHRIZAL
Memasuki tahun politik, topik opini di koran pun berubah menjadi topik politik. Koran lokal dan koran nasional rerata memuat topik politik yang menggigit. Aktual menjadi syarat koran lokal dan koran nasional memuat topik opini tersebut. Mulai dari topik politik murni, topik politik dikaitkan dengan disiplin ilmu lain seperti sastra, budaya, dan lain sebagainya. Hal ini yang membuat saya tertarik menulis opini berjudul bahasa dan politik. Antara Bahasa politik dengan politik bahasa merupakan dua hal yang berbeda. Masing-masing memiliki makna. Hubungan bahasa dan politik menurut saya saling berkait. Semua aktivitas berpolitik menggunakan bahasa Indonesia sebagai medianya. Bahasa hidup di dalam masyarakat dan dipakai oleh warganya untuk berkomunikasi. Kelangsungan hidup sebuah bahasa sangat dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi dalam setiap penutur dan berkaitan dengan segala hal yang dialami penuturnya. Dengan kata lain, bahasa yang terdapat di sekeliling penutur tersebut akan ikut menentukan wajah dari topik itu sendiri.
Tetapi akhir-akhir ini sering dihubungkan. Hubungan bahasa dan politik ada dua macam, yakni hubungan koordinatif (sejajar) dan hubungan subordinatif (saling membawahi). Hubungan koordinatif merupakan hubungan saling mempengaruhi, hubungan saling tarik menarik karena keduanya (bahasa dan politik) menjadi subjek. Sedangkan hubungan subordinatif merupakan hubungan saling membawahi antar satu dengan yang lain. Salah satu menjadi subjek dan satu lainnya menjadi objek. Politik menjadi subjek ketika bahasa dijadikan agenda, kebijakan, dan sasaran kajian politik. Maka hal itu dinamakan politik bahasa. Bahasa menjadi subjek ketika tuturan, tulisan, perilaku politik dilihat sebagai kajian kebahasaan. Maka hal itu dinamakan bahasa politik. Memang dalam hal sebenarnya kita sulit memisahkan secara tegas antara politik bahasa dan bahasa politik.
Politik bahasa dan bahasa politik bukan fokus pembahasan pada tulisan ini. Saya hanya ingin menyoroti topik bahasa yang dipakai untuk berpolitik di tahun politik ini. Pemungutan dan penghitungan suara Pilakada Serentak sendiri akan dilaksanakan pada 27 Juni 2018. Masih ada sekitar lebih kurang lima bulan tetapi suasana politik sudah terasa. Seluruh mesin partai sudah bergerak jauh-jauh hari, menyusun dan merumuskan stretegi. Utak-atik formasi sudah dijalani, tinggal menunggu hari, calon yang akan jadi sudah menanti.
Daerah-daerah sudah membuka pendaftaran, bahkan ada yang sudah menutup pendaftaran. Bakal pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur atau bakal Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Bakal Calon Walikota dan Wakil Walikota sudah mendaftar menjadi calon. Ada yang lolos verifikasi dan ada yang tidak. Baik menggandeng partai dan ada yang melalui jalur perseorangan. Bahasa memiliki peran sangat penting dalam berpolitik. Bahasa digunakan sebagai media komunikasi politik. Bahasa dapat digunakan untuk memberitahu, memengaruhi, dan meyakinkan. Salah satu model bahasa yang sering digunakan dalam berpolitik yakni slogan. Slogan adalah kata pendek yang disusun sedemikian rupa dengan memerhatikan irama. Selain berupa kalimat pendek, slogan juga dapat berupa singkatan. Seperti Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat yakni M. Ridwan Kamil dan Uu Ruzhanul Ulum membuat singkatan berupa akronim RINDU kependekan dari Ridwan Kamil dan Uu Ruzhanul Ulum. Kata RINDU menarik, bukan? Selain Ridwan Kamil dan Uu Ruzhanul Ulum di Jawa Barat banyak calon Gubernur dan calon Walikota serta Calon Bupati menggunakan akronim-akronim yang menarik. Seperti slogan KOTA SERANG CANTIK milik calon Walikota Kota Serang.
Calon Walikota Kota Serang sudah jauh-jauh hari menyiapkan singkatan ini. Saya ketika membeli koran selalu menemui slogan tersebut. Calon Walikota Kota Serang mendeskripsikan kata CANTIK penjabaran visi dan misi dari Cerdas, Aman, Nyaman, Tertata, Indah, dan Kreatif. Kemudian tak kalah dengan slogan berupa akronim, ada juga pasangan calon membuat slogan yang bersifat kedaerahan. AJE KENDOR merupakan slogan dari pasangan calon Wlikota dan Wakil Walikota Kota Serang pasangan Syafrudin dan Subadri Usuludin. AJE KENDOR merupakan bentuk bahasa Jawa Banten jika di bahasa Indonesiakan berarti Jangan lemah atau harus kuat. Sebelumnya juga ada slogan KOTA SERANG BERSINAR, BERSINAR kependekan dari Bersih, Edukatif, Responsif, Sehat, Indah, Nyaman, Amanah, dan Religius milik salah satu bakal calon Walikota Kota Serang.
Memang benar, dengan dibuatnya akronim maka seseorang terutama pemilih akan mudah mengingat. Inilah fungsi dari bahasa politik yang sebenarnya. Selain itu, dengan bertebarannya bahasa politik yang menarik dapat dijadikan rujukan penelitian bagi mahasiswa dan dosen. Slogan RINDU, CANTIK, dan AJE KENDOR dapat dijadikan penelitian tugas akhir baik mahasiswa rumpun Humaniora maupun rumpun yang lain.
Jadi, Bahasa memiliki peran sangat penting dalam berpolitik. Bahasa digunakan sebagai media komunikasi politik. Bahasa dapat digunakan untuk memberitahu, memengaruhi, dan meyakinkan lawan tutur dalam kontestasi politik. Sangat menggelitik dan nyentrik. (*)
*Dimuat dalam Harian Umum Kabar Banten edisi Sabtu 20 Januari 2018
Tidak ada komentar: