Ads Top

KEARIFAN BUDAYA LOKAL SEBAGAI PENGUAT PENDIDIKAN KARAKTER SISWA

KEARIFAN BUDAYA LOKAL SEBAGAI PENGUAT PENDIDIKAN KARAKTER SISWA
Oleh Zaki Fahrizal

Pendidikan dapat dipandang sebagai proses penting untuk memenuhi janji kemerdekaan. Tidak peduli di mana pun. “Mencerdaskan kehidupan bangsa” adalah sebuah janji yang harus dilunasi untuk setiap anak bangsa Indonesia. Tak dapat dipungkiri bahwa pendidikan telah memegang peranan penting bagi perubahan negeri ini. Pendidikan yang berkualitas akan mencetak generasi masa depan yang juga berkualitas. Pemerintah dari hari waktu ke waktu berusaha memperbaiki khualitas layanan pendidikan baik dari segi sumber daya manusia (SDM) dalam hal ini pendidikan dan tenaga kependidikannya, infrastruktur layanan pendidikannya, serta rumusan-rumusan  pendidikan nasional yang sudah diatur sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.
Rumusan pendidikan nasional secara keseluruhan telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Undang-Undang tersebut, dijelaskan bahwa fungsi dan tujuan pendidikan nasional ialah mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Kemampuan kognitif bukanlah satu-satunya yang dibutuhkan seorang siswa. Ada faktor lain yang lebih berpotensi dikembangkan  yakni kemampuan afektif (moral). Kemampuan moral ini berhubungan dengan karakter seseorang. Pendidikan karakter harus sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Oleh karena itu, nilai-nilai pendidikan karakter yang dikembangkan harus terintegrasikan dengan tujuan pendidikan nasional.
Fadlillah dan Khoirida (2013:22) menjelaskan bahwa pendidikan karakter ialah suatu pendidikan yang mengajarkan tabiat, moral, tingkah laku maupun kepribadian.  Maksudnya proses pembelajaran yang dilakukan di lembaga pendidikan harus mampu mengarahkan, mengembangkan, dan menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada peserta didik yang kemudian dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Kesuma (Djunaedi, 2002:11) tujuan pendidikan karakter, khususnya dalam setting sekolah, di antaranya sebagai berikut: 1) Menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting dan perlu sehingga menjadi kepribadian atau kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana nilai-nilai yang dikembangkan; 2) Mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang dikembangkan oleh sekolah; 3) Membangun koneksi yang harmonis dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara umum.
Hal ini sejalan dengan poin ke delapan program kerja (nawacita) Presiden Joko Widodo yang berbunyi “Melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta Tanah Air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia.“
Sekolah merupakan sarana yang sengaja dirancang untuk melaksanakan proses pendidikan dan pembelajaran.  Sekolah menjalankan perannya dengan baik, peran tersebut misalnya sekolah mempersiapkan peserta didiknya memiliki  pengetahuan, keterampilan dasar, dan nilai-nilai luhur yang dibutuhkan untuk masa depan peserta didiknya.
Nilai-nilai luhur merupakan bentuk dari kearifan lokal yang sudah diwariskan dari generasi ke genarasi secara turun temurun. Menurut Keraf (2010: 369) kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Jadi kearifan lokal ini bukan hanya menyangkut pengetahuan dan pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana relasi di antara semua penghuni komunitas ekologis ini harus dibangun. Seluruh kearifan tradisional ini dihayati, dipraktikkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain yang sekaligus membentuk pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap sesama manusia maupun terhadap alam dan Yang Gaib.
Bentuk akhir dari kearifan lokal yang berkembang di masyarakat kemudian menjadi sebuah tradisi. Dalam masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyayian, pepatah, mantra, petuah, semboyan, kitab-kitab kuno, tarian, sistem mata pencahariaan, sistem kepercayaan dan  yang perilaku manusia sehari-hari. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari.
Sebagai contoh, masyarakat Baduy yang ada di Provinsi Banten secara tradisi terus berpegang pada nilai-nilai lokal yang diyakini kebenarannya dan menjadi pegangan hidup yang diwariskan secara turun temurun. Sebagai   kesatuan   hidup,   masyarakat  Baduy memiliki nilai sosial-budaya yang layak dikembangkan  dalam dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat kota zaman ini. Nilai sosial-budaya seperti kesetiakawanan  (solidaritas)   dalam melakukan aktivitas hidupnya. Selain memiliki kesetiakawanan sosial yang tinggi, masyarakat adat juga memiliki budaya luhur lain yang berupa gotong-royong, rendah hati (sederhana), musyawarah, dan kerukunan, serta menghargai alam sebgai sumber kehidupan.
Perhatikan pepatah  Baduy  berikut ini.
Gunung teu beunang dilebur
Lebak teu beunang dirakrak
Buyut teu beunang dirobah
Larangan aya di darat di cai
Gunung aya maungan, lebak aya badakan
Lembur aya kokolota, leuwi aya buayaan
Pepatah-pepatah tersebut diperuntukkan dari berbagai segi dan aspek kehidupan, isinya lebih cendrung pada mengingatkan, menasehati, gambaran berupa ajakan serta simbol-simbol kehidupan dan bukan berupa perintah ataupun larangan apalagi berupa ancaman atau hukuman. Saya memperkirakan pepatah tersebut merupakan undang-undang tidak tertulis mereka yang dijadikan sebagai penuntun dan pedoman hidup mereka dan itu tercermin dalam perilaku kehidupa sehar-hari sejak nenek moyang mereka lahir sampai anak cucunya sekarang. Nilai budaya tersebutlah yang kemudian diyakini sebagai cara paling ampuh dalam mengelola alam.
Sistem budaya lokal merupakan modal  yang  besar,  telah  tumbuh  dan  berkembang secara turun-temurun yang hingga kini kuat berurat-berakar di masyarakat. Oleh karena itu,  penting  untuk  menjaga kearifan lokal, mengingat peranannya  dalam  membantu  penyelamatan lingkungan. Globalisasi juga telah menimbulkan efek samping  berupa  pengikisan  nilai-nilai  luhur budaya  bangsa,  digantikan  dengan  budaya asing  yang  seringkali  bertentangan  dengan budaya yang dianut oleh masyarakat. (*)


*Dimuat dalam kolom Ruang Publik Harian Banten Pos edisi Selasa, 16 Januari 2018

Tidak ada komentar:

zakifahrizal. Diberdayakan oleh Blogger.