SEKOLAH DI ANTARA BIMBINGAN BELAJAR DAN GOOGLE
SEKOLAH DI ANTARA BIMBINGAN BELAJAR
DAN GOOGLE
OLEH
ZAKI FAHRIZAL
Banyak cara yang dapat ditempuh untuk
meningkatkan kualitas sumber daya manusia, salah satunya belajar pada pendidikan formal, informal,
maupun non formal. Sekolah dengan berbagai jenjangnya, merupakan lembaga
pendidikan formal yang memiliki peran penting dalam usaha mencerdaskan
kehidupan bangsa sebagaimana amanat pembukaan UUD 1945. Sekolah merupakan
sarana yang sengaja dirancang untuk melaksanakan proses pendidikan dan
pembelajaran. Sekolah harus menjalankan
perannya dengan baik, peran tersebut misalnya sekolah mempersiapkan peserta
didiknya memiliki pengetahuan, keterampilan
dasar, dan nilai-nilai luhur yang dibutuhkan untuk masa depan peserta didiknya.
BERHASIL
SEKOLAH ATAU BIMBEL?
Fenomena mulai menjamurnya lembaga
bimbingan belajar (bimbel) di Indonesia sedikit banyak dipengaruhi kondisi pendidikan.
Kondisi tersebut cukup mencemaskan orang tua dan menyita perhatian siswa kelas
9 yang ingin melanjutkan ke jenjang SMA dan siswa kelas 12 SMA yang
menginginkan studi di PTN favorit dengan mempersiapkan diri mengikuti pelajaran
tambahan di sekolah. Tetapi tidak semua sekolah membuat tambahan jam pelajaran
di samping karena waktu guru yang terbatas, para siswa pun merasa bosan apalagi
kalau guru yang mengajar kurang mampu dan tidak menarik menyampaikan materinya.
Siswa-siswa cerdas dan guru-guru berkualitas tidak tersebar merata, hanya
sekolah tertentu saja yang meilikinya. Walaupun demikian siswa-siswa yang
cerdas itu pun tidak memiliki percaya diri yang tinggi mereka
berbondong-bondong justru ikut lembaga bimbingan belajar.
Fenomena yang dipaparkan di atas boleh
jadi malah menguntungkan pihak penyelenggara lembaga bimbingan belajar. Mengapa?
Karena bukan tidak mungkin bahwa siswa-siswa yang mendafat termasuk siswa yang
sudah cerdas dan berprestasi di sekolah. Sehingga pihak lembaga bimbingan
belajar sangat senang menerima mereka. Nanti saat pengumuman hasil tes PTN
dengan bangganya pihak lembaga bimbingan belajar mengklaim bahwa siswa asuhan
mereka sukses besar diterima di PTN-PTN yang diinginkan. Propaganda semacam ini
yang membuat lembaga bimbingan belajar (bimbel) tak pernah kurang peserta.
Padahal, jika dicermati pelaksanaan bimbingan yang mereka lakukan belum tentu
lebih baik dari sekolah-sekolah tempat para siswa menimba ilmu. Bahkan,
pengajar bimbel banyak yang tidak mengerti bagaimana cara mengajar yang baik
(karena memang bukan dari sekolah keguruan).
Terlebih lagi sistem pengajaran klasikal
yang diterapkan pada lembaga bimbingan belajar itu sama juga dengan sistem yang
diadakan di sekolah di mana sistem tersebut kurang efektif bagi siswa yang
kurang cerdas. Sementara jika mereka ingin bertanya sesuatu yang tidak
dimengerti tentang pelajaran secara psikologis mereka merasa malu bertanya
kepada sang pengajar bimbel. Peserta bimbel berasal dari berbagai sekolah,
mereka tidak begitu akrab dan anak yang tidak dididik untuk menyampaikan
persoalan akan terasa enggan bertanya.
Dilaporkan bahwa ada bimbel yang membuat
program eksklusif dengan jaminan 100% uang kembali jika tidak diterima di PTN.
Cara-cara seperti ini menurut saya adalah teknik “menjual” bimbel yang sudah
biasa dilakukan untuk menarik para siswa sekolah. Mungkin promosi bimbel akan lebih
bagus misalnya, jika siswa tidak diterima di PTN yang diinginkan maka uang
bimbingan akan dikembalikan plus ganti kerugian sebesar dua kali lipat dari
uang bimbingan. Biasanya lembaga bimbingan belajar ini sudah mengetahui
terlebih dahulu mana anak yang cerdas mana yang kurang. Jadi, anak yang pada dasarnya
memang sudah cerdas akan dapat dimanfaatkan untuk mengangkat prestasi
bimbel.itu sendiri.
Jelas ini merupakan upaya-upaya
komersialisasi pendidikan. Komersialisai pendidikan adalah salahsatu persoalan
pendidikan di Indonesia saat ini. Di samping itu terdapat persoalan mendasar
pendidikan yakni konsep pemerintah dalam “mendidik” anak-anak bangsa di sekolah
dan lembaga pendidikan tinggi yang tampaknya hanya berorientasi pada wawasan
kognitif semata. Misalnya penyelenggaraan dan materi ujian nasioanl (UN) yang
mencerminkan pemerintah lebih menitik beratkan dan menaruh perhatian pada
faktor kecerdasan intelektual. Padahal berbagai literatur tentang pendidikan
mengungkapkan bahwa faktor kecerdasan intelektual menyumbang 20% saja dari
suksesnya seseorang dalam melakukan pekerjaan. UN yang lebih fokus pada
pelaksanaan “paper n pencil test”
inilah yang membuat bimbel menjamur. Selain di bimbel, juga tidak sedikit orang
tua yang mendatangkan guru privat ke rumah untuk memberikan bimbingan belajar
intensif pada anaknya. Fenomena apakah ini? Apakah siswa tidak merasa cukup
dengan pelajaran di sekolah dan gurunya? Atau orang tua tidak percaya pada
kualitas guru dan sekolahnya? Jika lebih baik bimbel daripada sekolah, untuk
apa sekolah?
Pendidikan yang baik seharusnya memiliki
arah jelas bagi pengembangan beragam kecerdasan manusia (multiple intelligence). IQ (intelligence
quotient) yang merupakan penjabaran dari kemampuan inetelektual dan akademik
siswa dalam literatur pendidikan hanyalah sebagaian dari kecerdasasan yang
dimiliki manusia.
Fokus kegiatan di lembaga bimbingan
belajar ini hanya berorientasi pada pencapaian nilai/skor ujian tertinggi dan
bersifat sesaat. Padahal, menurut teori pendidikan konsep drilling ini adalah
tingkatan wawasan kognitif paling rendah dalam proses pembelajaran dan hasil
belajar siswa. Karena karut marut kebijakan pendidikan kita ini membuat
masyarakat pemakai jasa pendidikan resah dan akhirnya pengeluaran biaya masyarakat
untuk lembaga bimbingan belajar demikian besar, sementara itu di lain pihak lembaga
bimbingan belajar berhasil memanfaatkan situasi kegundahan masyarakat dan
menjadikannya sebagai peluang bisnis. Akhirnya, terjadilah fenomena dan
praktek-praktek komersialisasi pendidikan oleh lembaga bimbingan belajar yang
tumbuh subur di negeri ini.
Disadari atau tidak disadari , pendidikan
di Indonesia identik dengan hafalan berbasis “kunci Jawaban” bukan pada
pengertian apalagi pemahaman kognitif tingkat tinggi yakni evaluasi.
GURU
ATAU GOOGLE SEBAGAI GUDANG ILMU?
Memang sekarang adalah realita di mana
kita berada di era globalisasi yang serba modern dan alat-alat pun semakin
banyak bermunculan seperti search engine,
social media dan lainya. Google salah
satu dari search engine sabagai topik
pembicaraan utama. Banyak orang yang mencari informasi di google karena search engine
ini sangat familiar dan sangt mudah dalam hal akses untuk mendapat iformasi-informasi
yang kita butuhkan.
Googling adalah cara
termudah dan ampuh untuk mendapat informasi tanpa merepotkan orang lain, namun kecanduan
googling ini memiliki dampak positif dan negatif.
Dampak positif adanya mesin pencari ini di
antaranya (1) mendapatkan informasi dengan cepat, (2) memudahkan kita untuk
belajar dan mendapat ilmu baru, (3) mendapatkan informasi tepat yang ingin kita
tuju dan masih banyak dampak postitif lainnya. Namun jika ada hal positif tentu
ada hal negatifnya karena kebanyakan aspek kehidupan bagai dua ujung pisau yang
saling berlawanan. Dampak negatif adanya mesin pencari ini antara lain, (1)
kita menjadi ketergantungan terhadap Google,
(2) malas mencari sumber lain seperti baca buku dan lainya, (3) menjerumuskan
ke porno grafi, (4) memperjauh jarak antara guru dan murid dalam komunikasi,
(5) makin sering seseorang memakai Google,
makin ‘tumpul’ otak orang tersebut.
Berdasarkan dampak negatif tersebut,
dampak nomor 2 dan nomor 4 merupakan dampak yang sedang terjadi saat ini. Siswa
di sekolah lebih memilih Google untuk
mencari ilmu materi pembelajaran dan menjawab pertanyaan atau tugas yang
diberikan oleh guru. Mereka dalam mencari informasi sudah tidak terpaku kepada
guru, tetapi lebih memilih Google
untuk mencari tahu. Lebih lanjut, terlalu sering menggunakan situs seperti Google akan membuat otak tak terlatih
dan membuat kemampuannya melambat. Mampu mengekspor pengetahuan dan
mengingatnya kapan pun, berarti Anda mampu melepaskan lebih banyak kekuatan
otak untuk melakukan hal-hal penting, termasuk berpikir dan kreatifitas, yang
membutuhkan lebih dari sekadar kapasitas penyimpanan.
Fenomena-fenomena di atas merupakan
sebagian kecil dari kondisi pendidikan kita saat ini. Dengan demikian sekolah
harus mulai berbenah diri untuk melakukan perubahan dari berbagai aspek, baik
sarana-prasarana, kurikulum, sumber belajar dan sebagainya. (*)
Tidak ada komentar: