Ads Top

BELAJAR DARI PRABU SABAKINGKING




Bung Karno pernah berkata, "Jas Merah". Jas Merah merupakan akronim dari "Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah". Ya, akronim ini begitu familiar di masyarakat Indonesia. Siapa yang tidak kenal Bung Karno? Akronim atau Slogan ini kemudian mengilhami saya dalam menulis topik berkaitan dengan lomba menulis tentang Banten.
Banten merupakan provinsi yang baru 18 tahun beridiri, dengan luas wilayah 9160 km2. Dengan komposisi penduduknya Sunda (36%), Jawa (28%),Banten (21%), Betawi (9%), Lain-lain (4%), Tionghoa (2%). Sebagian besar anggota masyarakat memeluk agama Islam dengan semangat religius yang tinggi, tetapi pemeluk agama lain dapat hidup berdampingan dengan damai.
Potensi, dan kekhasan budaya masyarakat Banten, antara lain seni bela diri silat, Debus, Rudad, Umbruk, Tari Saman, Tari Topeng, Tari Cokek, Dog-dog, Palingtung, dan Lojor. Di samping itu juga terdapat peninggalan warisan leluhur antara lain Masjid Agung Banten Lama, Keraton Kaibon, dan masih banyak peninggalan lain Banten pra-Islam sampai Banten pasca-Islam.
Kesultanan Banten pernah mencapai puncak kejayaan di bawah pemerintahan Sultan Maulana Hasanudin sekitar tahun 1552-1570 M. Pada masa itu Banten menjadi negeri mandiri dengan pelabuhan Karangantu sebagai daya tarik perekonomian yang mampu memberikan efek positif kesejahteraan perekonomian rakyat Banten. Masyarakat sejak dahulu dikenal sebagai masyarakat yang religius, selalu memegang teguh agama Islam dalam segala aspek terutama aspek sosialnya. Agama Islam bukan saja memiliki fungsi sebagai agama yang bersifat vertikal selalu berhubungan dengan Tuhan YME, namun juga sebagai agama yang bersifat horizontal yang selalu mengilhami konsep-konsep berhubungan sosial kemanusian.
Dari beberapa literatur menyebutkan saat Sultan Maulana Hasanudin memimpin Kesultanan Banten, wilayah Kesultanan Banten dikenal sebagai wilayah yang aman karena beliau berhasil menerapkan strategi pemerintahan yang tepat, yaitu dengan cara adanya harmonisasi beberapa bidang. Sultan Maulana Hasanudin berhasil mengislamkan  hampir keseluruhan wilayah Banten. Namun uniknya, Sultan memiliki kebijaksanaan dan tidak memaksakan kehendak diri untuk mengislamkan bagi  masyarakat yang tetap berpegang teguh dengan ajarannya. Kebijaksanaan itu terlihat dari masih terdapatnya suku Baduy sampai saat ini. Suku  Baduy  tinggal di kawasan Cagar Budaya Pegunungan Kendeng seluas 5.101,85 hektare di daerah Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak. Masyarakat Baduy merupakan dahulunya bagian dari Kerajaan Sunda Padjajaran yang menolak Islamisasi dan melarikan diri ke daerah pegunungan. Perkampungan masyarakat  Baduy  umumnya terletak di daerah aliran Sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng. Daerah ini dikenal sebagai wilayah tanah titipan dari nenek moyang, yang harus dipelihara, dan dijaga baik-baik, tidak boleh dirusak.
Selain masyarakat adat Baduy, Sultan Maualan Hasanudin juga memiliki toleransi tinggi terhadap semua golongan dan agama. Masyarakat yang menganut agama Cina-Budha juga hidup rukun di sekitar areal keraton kesultanan. Bahkan yang paling membuat saya salut dengan Sultan Maulana Hasanudin yakni kebijakannya membuat rumah ibadah bagi penganut agama Budha-China yang diberi nama Klenteng Avalokitesvara yang terletak di Kampung Pecinaan [Awalnya]. Sultan juga memperistri seorang dari China-Budha. Ini menunjukkan bahwa Sultan Maulana Hasanudin menjunjung tinggi keragaman sesama mahluk ciptaan Allah.
Banten juga memiliki semboyan “Gawe Kuta Baluwarti Bata Kalawan Kawis”. Semboyan ini tentunya berdasar pada pembangunan keraton dan benteng sekitar keraton yang menggunakan batu bata dan karang. Pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanudin benteng pertahanan Surosowan begitu digdaya dan kokok mengahdapi serangan musuh. Tidak hanya bertahan dengan mengandalkan benteng, Sultan juga berjasa dalam memperluas wilayah kerajaan dengan ekspansi kekuasaan ke daerah Lampung.
“Gawe Kuta Baluwarti Bata Kalawan Kawis” yang berarti membangun kota dengan batu bata dan karang juga turut andil dalam memaknai dinamika kehidupan masyarakat Banten. Tidak hanya membangun secara lahiriah saja, tetapi batiniah masyarakat Banten sejak dahulu sudah dikuatkan melalui pondasi agama yang kental.
Kemudian yang terakhir adanya semboyan “Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe”. “Sepi Ing Pamrih Rame Ing Gawe” dari beberapa literatur kalimat ini merupakan salah satu semboyan luhur yang tertanam dalam tradisi masyarakat sejak zaman Majapahit. “Sepi Ing Pamrih, Rame Ing Gawe, Banter tan Mbancangi, Dhuwur tan Ngungkuli” artinya sepi dalam pamrih, ramai (rajin/banyak) dalam bekerja, cepat dalam mendahului, tinggi tanpa melebihi merupakan tanda salah satu kebutuhan lahiriah manusia untuk memaknai dinamika kehidupan bahkan setara dengan kebutuhan sandang, pangan, dan papan.  Ini juga yang mengilhami kejayaan Kesultanan Banten pada masa itu. Semboyan yang selalu dijadikan landasan dasar dalam bernegara dan bermasyarakat.
Kepemimpinan Sultan Maulana Hasanudin yang harmonis juga menjadi bukti dalam menciptakan rasa aman dan keseimbangan sosial di masyarakat. Apa warisan kejayaan Kesultanan Banten pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanudin yang dapat dikembangkan? Pertama, semangat  dan mental jiwa kesatria, semangat ilmu keagamaan, dan kepintaran Sultan yang harus ada pada pemimpin Banten.
Banyak peran yang dapat dilakukan oleh setiap orang dengan caranya masing-masing untuk menjadi model dan penjaga peninggalan Kesultanan. Langkah-langkah tersebut di antaranya dengan memberikan pemahaman tentang sejarah dan nilai-nilai budaya masa lampau dalam upaya mencerdaskan bangsa kepada generasi muda, penumbuhkan semangat kebangsaan di lingkungan satuan pendidikan, dan mengajak generasi muda mengunjungi museum sebagai sumber inspirasi bagi pengembangan budaya berkepribadian untuk membangun insan berkarakter. 
Pemerintah akan lebih baik bekerja sama dengan seluruh rakyatnya mewujudkan kejayaan Banten berdasarkan Imtaq dan Iptek. Saya meyakini, jika pemerintah Provinsi Banten dan masyarakat Banten meneladani sosok Sultan Maulana Hasanudin, bukan tidak mungkin kita tidak akan mengenal yang namanya korupsi, kolusi, nepotisme, ketimpangan sosial antara si kaya dan si miskin, perang saudara, atau hal-hal negatif lainnya. Persoalan-persoalan sekecil apapun yanng dapat menghambat harus segera dapat diatasi Pemerintah Provinsi Banten guna mewujudkan Provinsi Banten yang maju dan sejahtera berlandaskan iman dan taqwa. "Jas Merah", Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah. Provinsi Banten di usianya yang ke-18 tahun ini, harus menjadi momentum agar Provinsi Banten menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Amin! (*)

Tidak ada komentar:

zakifahrizal. Diberdayakan oleh Blogger.