Ads Top

BANTEN ULAMA, BANTEN JAWARA




BANTEN ULAMA, BANTEN JAWARA
Oleh
Zaki Fahrizal

Provinsi Banten sedari dahulu memang terkenal dengan gudang jawara dan ulamanya. Saya ingat sekali ketika membaca sebuah roman karya Achdiat Kartamihardja yang berjudul Atheis. Dalam roman Atheis terdapat latar dan alur cerita yang menggambarkan sosok Haji Dahlan yang merupakan seorang haji dari Banten. Singkat cerita, ayah Hasan kemudian berguru pada Kiyai Mahmud di Banten yang juga digurui oleh Haji Dahlan. Begitu mahsyurkah nama Banten sebagai pusat ilmu sampai-sampai masuk ke cerita roman Atheis karya Achdiat Kartamihardja yang begitu fenomenal pada tahun 1946-an, bukan?
Ulama dan jawara sejak Kesultanan Banten merupakan perpaduan yang harmonis. Secara umum Banten dapat dipahami sebagai provinsi yang tidak dapat lepas dari dua unsur antara ulama dan jawara sebagai potensi untuk dikembangkan demi kebaikan. Ulama mewakil entitas banten yang religius, sedangkan jawara mewakili entitas banten tradisional. Peran ulama pada masa kesultanan dipercaya sebagai penasihat sultan-sultan Banten. Sedangkan jawara pada masa Kesultanan Banten senantiasa menjadi garda terdepan dalam mengamankan kerajaan dari pihak yang ingin meruntuhkan kesultanan. Keduanya menjadi simbol dari Kesultanan Banten. Tetapi saat ini peran ulama dan jawara mengalami pergeseran.
Provinsi Banten lebih terkenal dengan sebutan jawaranya dibandingkan ulama. Coba saja wawancarai seseorang dari luar Provinsi Banten. Mendengar kata Banten, apa pendapatmu? Pasti jawabannya mereka Banten itu gudangnya jawara. Tidak hanya itu, coba perhatikan di media sosial seperti facebook dan instagram, jika ada pemilihan duta atau kang nong pasti tagar yang dipakai bertuliskan “#bantenjawara” bukan #bantenulamadanjawara#. Bagaimana dengan ulama? Bukankah citra negeri “Seribu santri seribu kiyai” masih melekat? Saat ini peran ulama di Banten mengalami kemerosotan di banding peran jawara. Mengapa?
Peran jawara selalu dibutuhkan dalam segala bidang, baik politik, sosial, ekonomi dan kemasyarakatan. Selain dibutuhkan dalm berbagai bidang, jawara Banten juga terorganisir dalam berbagai organisasi-organisasi mulai dari tingkat ranting, cabang, sampai pusat. Sedangkan ulama, yang awalnya dipakai di berbagai bidang, saat ini hanya sebagai guru ngaji, berdakwah dari majlis ke majlis, penasihat-penasihat dan pengajar-pengajar di pondok-pondok pesantren. Padahal, sejarah mencatat bahwa peran ulama ketika prakemerdekaan dan pascakemerdekaan menjabat posisi strategis di pemerintahan.
Sejak Kesultanan Banten jatuh, ulama tampil sebagai pemimpin. Syekh Abdul Karim Tanara dengan tarekat Qadiriyahnya; Syekh Nawawi Al-Bantani terkenal dengan karya-karyanya dan sampai sekarang masih menjadi rujukan bagi umat muslim di dunia; KH Wasid mempimpin gerakan revolusioner di Cilegon sampai sekarang kita mengenal peristiwa itu menjadi Geger Cilegon; KH Asnawi Caringin murid dari Syekh Nawawi Al Bantani juga sangat berpengaruh dalam memimpin gerakan-gerakan di Banten; KH Achmad Chatib yang juga menantu dari Syekh Asnawi Caringin sebagai seorang tokoh pergerakan Banten. Selain para ulama di atas, masih banyak lagi ulama yang memiliki peran dalam pembentukan dan pembangunan Provinsi Banten.
KH Mas Abdurrahman dibantu oleh beberapa temannya mendirikan organisasi Mathlaul Anwar yang bertempat di Menes, Kabupaten Pandeglang, KH Brigjen Syam’un mendirikan organisasi sosial keagamaan bernama Alkhairiyah yang bertempat di Citangkil Cilegon. Selain pada masa penjajahan, pascakemerdekaan pun peran ulama tetap berkembang. Lubis (2004:171) menjelaskan ulama-ulama yang menjabat bupati di Banten setelah Indonesia merdeka yakni Kolonel KH Syamun (Bupati Serang), KH Tb. Abdul Halim (Bupati Pandeglang), dan KH Tb. Hasan (Bupati Lebak).
Dari beberapa literatur menyebutkan saat KH Tb. Achmad Chatib  ditunjuk menjadi Residen Banten, dalam perjalanan dari Cadasari ke Serang beliau sempat mampir ke Ciomas dan membawa para jawara untuk membantunya menjalankan roda pemerintahan. Pada masa kepemimpinan Bupati Serang KH Syamun, beliau mengangkat KH Sanwani sebagai Wedana daerah Pontang. Kepemimpinan KH Sanwani, wilayah Kawedanaan Pontang dikenal sebagai wilayah yang aman karena beliau berhasil menerapkan strategi pemerintahan yang tepat, yaitu dengan cara megundang para jawara di kewedanaan dan memberikan nasihat untuk membantu menertibkan daerahnya. (Malik, dkk., 2011:110)
Kepemimpinan ulama dan jawara yang harmonis juga menjadi bukti dalam menciptakan rasa aman dan keseimbangan sosial di masyarakat. Ulama dan jawara diharapkan masyarakat untuk dapat tampil di muka umum sehingga dapat membantu menyelesaikan masalah-masalah serta mampu meluruskan arah semangat Provinsi Banten.
Apa warisan kejayaan Kesultanan Banten yang dapat dikembangkan? Pertama, semangat  dan mental jiwa kesatria jawara, semangat ilmu keagamaan ulama, dan kepintaran cendikiawan yang harus ada pada pemimpin Banten.

Terlepas dari peran masing-masing antara ulama dan jawara, kita harapkan dari peran ulama dan jawara dalam percepatan pembangunan dan membangkitkan kejayaan Provinsi Banten. Pemerintah akan lebih baik bekerja sama dengan seluruh rakyatnya termasuk ulama dan jawara mewujudkan kejayaan Banten berdasarkan Imtaq dan Iptek. (*)

*Dimuat dalam Harian Banten Pos edisi Jumat 19 Januari 2018

Tidak ada komentar:

zakifahrizal. Diberdayakan oleh Blogger.