MAULID, ANTARA TRADISI DAN GENGSI
oleh
Zaki
Fahrizal
Ada yang menarik ketika datang
bulan Rabiul Awal. Umat Islam di dunia gegap gempita menyambut datangnya bulan
yang mulia ini. Muslim Indonesia tentu tidak tertinggal menyambut kedatangan
bulan Rabiul Awal. Bulan Rabiul Awal merupakan bulan yang dimuliakan oleh Allah
saw. Mengapa? Karena di bulan itu lahir yang sangat dicintai umat Islam di
seluruh dunia. Seseorang yang lahir membawa rahmat. Ia datang membawa wahyu
Allah swt demi menyelamatkan ummat manusia dari kegelapan dunia menuju jalan
kebenaran sebagai bekal hidup di akhirat kelak. Beliau adalah Nabi Muhammad
saw.
Selain bulan kelahiran Nabi
Muhammad saw., bulan rabiul awal juga merupakan bulan wafatnya Nabi Muhammad
saw. Allah swt mengambil dan mengangkat arah mulia lagi suci dari Rasulullah
saw.
Bulan Rabiul Awal atau juga banyak yang menyebutnya dengan
bulan Mulud merupakan bulan yang sering digunakan dan dimanfaatkan untuk sarana
berkumpul bersama keluarga ataupun berkumpul sesama umat Islam di berbagai
tempat. Selain kata Mulud, beberapa orang menyebutnya dengan kata Maulid dan ada juga yang mengatakan
maulud. Saya perhatikan di pesan status media sosial seperti Facebook, Instagram, BBM, dan media
sosial lain menyebutnya maulud dan Maulid.
Lantas manakah yang benar, Mulud, Maulid
atau maulud? Kata mana yang baku menurut Ejaan Bahasa Indonesia?
Kata Maulid dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring V merujuk
pada 1) hari lahir (terutama hari lahir Nabi Muhammad saw); 2) tempat lahir; 3)
peringatan hari lahir Nabi Muhammad saw. Jadi yang benar yakni kata Maulid jika kita berpedoman pada Ejaan
Bahasa Indonesia menurut KBBI. Tetapi bukan itu topik yang akan saya bahas pada
artikel ini melinkan topik perayaan Maulid
antara Tradisi dan Gengsi.
Setiap daerah memiliki caranya
sendiri dalam merayakan kedatangan bulan Maulid
seperti di Yogyakarta dan Surakarta ada acara Grebeg Mulud, di Serang juga
tidak kalah ramainya dengan dua kota tersebut.
Apalagi sampai mengutang di
beberapa warung. Apakah mengutang dalam Islam diperbolehkan? Bukankah banyak
cara yang dapat dilakukan selain mengutang? Menurut saya, memperingati hari
kelahiran Nabi Muhammad saw dalam mengekspresikan kegembiraan menyembut
datangnya bulan Maulid tetapi tidak
berlebihan. Di beberapa kampung yang masih memegang tradisi, setiap rumah
diminta untuk mengeluarkan Panjang Maulid.
Tradisi ini sudah berlangsung puluhan tahun bahkan ada yang mengatakan
sedari masa Kesultanan Banten.
Panjang Maulid di beberapa kampung biasanya bervariasi, mulai dari
berbentuk kapal, monumen nasional, pesawat, rumah, menara banten lama, mobil,
samapi berbentuk hewan bernyawa. Selain bentuknya yang unik dan beragam, Panjang Maulid tersebut dihias dan diisi
dengan berbagai macam makanan dan barang seperti telur, lauk pauk, kain, uang,
baju, sembako, peralatan rumah tangga, almari hingga ada masyarakat yang
mengeluarkan spring bed. Sudah
seperti toko berjalan, bukan? Bukankah Islam melarang soal bersikap
berlebih-lebihan? Bagi yang mampu mengkin tidak masalah tetapi bagimana jika
masyarakat yang hidup pas-pasan? Kalau sudah seperti itu, masihkah ini yang
dinamakan tradisi? Tradisi yang seperti apa dan bagaimana?
Dilihat dari sisi positif tradisi
menggunakan panjang Maulid, yaitu: 1)
perayaan Maulid Nabi Muhammad saw.
sebagai bentuk ungkapan rasa syukur masyarakat karena masih dapat merasakan
berkumpul dengan sanak saudara; 2) perayaan Maulid
dengan membuat panjang Maulid sebagai
ajang berkumpul dengan keluarga besar salain dua hari raya umat Islam; 3) Menanam,
memupuk, dan menumbuhkan kecintaan pada
Rasulullah saw; 4) menjaga dan melestarikan budaya yang sudah diturunkan dari
generasi ke generasi.
Kemudian, dari sisi negatif
tradisi panjang Maulid yakni: 1)
menumbuhkan sikap konusmtif dan boros lalu akan mengutang ke warung; 2)
perayaan panjang Maulid dapat
menumbuhkan sifat ujub dan ria; 3) menimbulkan kemacetan bagi masyarakat yang
menyimpan panjang Maulidnya di tepi jalan
raya.
Dengan demikian, sudah
sepantasnya kita sebagai umat Islam bijak dalam bersikap. Pilihan tepat
merupakan pilihan terbaik. Kita mau mengikuti tradisi atau tidak keputusannya
ada di tangan kita sendiri sebagai seseorang yang mengambil keputusan. Dahulukan
yang utama. Jika peryaan panjang Maulid
itu penting dan mendesak maka lakukanlah, tetapi jika perayaan panjang Maulid itu dirasa tidak penting dan
kebutuhan tidak mendesak maka pertimbangkanlah. Jangan sampai ketika maulidan
selesai kita sebagai yang merayakannya kehabisan persediaan perlengkapan dan
peralatan hidup untuk satu hulan ke depan. Menjalankan tradisi tidak melulu
soal gengsi! (*)
*Dimuat dalam Harian Umum Banten Pos Senin 11
Desember 2017
Tidak ada komentar: