Ads Top

MAKALAH BAHASA, KEBUDAYAAN, DAN PERENCANAAN BAHASA

BAHASA, KEBUDAYAAN, DAN PERENCANAAN BAHASA




BAB 1
PENDAHULUAN

Ada berbagai teori mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan bahasa itu merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi ada pulayang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan. Ada yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan, sehingga segala hal yang ada dalam kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa. Sebaliknya, ada juga yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan dan cara berpikir manusia atau masyarakat penuturnya.
Menurut Koentjaraningrat sebagaimana dikutip Abdul Chaer dan Leonie Agustina dalam buku Sosiolinguistik bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi, hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, di mana bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan. Namun pendapat lain ada yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi.
Bahasa adalah sebuah sistem, artinya, bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Sebagai sebuah sistem, bahasa bersifat sistematis dan juga bersifat sistemis. Sistematis artinya bahasa itu tersusun menurut suatu pola tertentu. Sistemis artinya bahasa tersebut bukan merupakan sebuah sistem tunggal, melainkan terdiri dari sejumlah subsistem.
Sistem bahasa yang dimaksud di atas adalah berupa lambang-lambang dalam bentuk bunyi yang lazim disebut bunyi ujar atau bunyi bahasa. Setiap lambang bahasa mengandung sesuatu yang disebut makna atau konsep. Bahasa sebagai sebuah lambang bunyi yang bersifat manasuka (arbitrer), konvensional, produktif serta dinamis mempunyai banyak fungsi. Menurut Dell Hymes (1964) ada lima fungsi bahasa, yaitu (1) menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial, (2) menyampaikan pengalaman tentang keindahan, kebaikan, keluhuran budi, (3) mengatur kontak sosial, (4) mengatur perilaku, dan (5) mengungkapkan perasaan.
Secara khusus banyak ahli yang mengembangkan fungsi-fungsi bahasa sesuai dengan sarana penggunaannya. Namun, pada dasarnya, bahasa dapat berfungsi sesuai dengan keinginan sang penggunanya bila bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi dapat menyampaikan maksud atau memberikan informasi bagi orang lain yang diajak berkomunikasi. Dalam kehidupan bermasyarakat, banyak model penggunaan bahasa yang dilakukan oleh manusia, model bahasa yang digunakan tersebut tentunya akan memiliki fungsi dan dampak yang berbeda-beda. Sejauh mana model bahasa tersebut akan berpengaruh terhadap fungsi penggunaan bahasa dan hubungan bahasa dengan kebudayaan  akan coba kita bahas dalam bagian ini.
Telah dikukuhkan oleh para ahli bahasa bahwa bahasa sebagai alat komunikasi secara genetis hanya ada pada manusia. Implementasinya manusia mampu membentuk lambang atau memberi nama guna menandai setiap kenyataan, sedangkan binatang tidak mampu melakukan itu semua. Bahasa hidup di dalam masyarakat dan dipakai oleh warganya untuk berkomunikasi. Kelangsungan hidup sebuah bahasa sangat dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi dalam setiap penutur dan berkaitan dengan segala hal yang dialami penuturnya. Dengan kata lain, budaya yang terdapat di sekeliling bahasa tersebut akan ikut menentukan wajah dari bahasa itu sendiri.
Keanekaragaman bahasa (multilingualisme) tidak dapat dipisahkan dari keanekaragaman budaya (multikulturalisme). Ditinjau dari segi budaya, bahasa termasuk aspek budaya, kekayaan bahasa merupakan sesuatu yang menguntungkan. Berbagai bahasa itu akan merefleksikan kekayaan budaya yang ada pada masyarakat pemakainya (multikultural). Akan tetapi, apabila ditinjau dari segi bahasa, multilingual dapat menimbulkan permasalahan dalam berkomunikasi.
Sosiolinguistik bukanlah sekadar pembahasan campuran antara ilmu bahasa dan sosiologi atau ilmu sosial lainnya, tetapi di dalamnya juga tercakup prinsip-prinsip setiap aspek kehidupan yang berkaitan dengan fungsi sosial dan kultural. Oleh karena itu, agar pembahasan ini tidak meluas, penulis membatasinya pada “Bahasa dan Budaya” sebagai aspek kultural kehidupan sehari-hari.
Banyak ahli dan peneliti sepakat bahwa bahasa dan budaya adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sebut saja di antaranya Suryadi (2009), dalam makalahnya Hubungan Antara Bahasa dan Budaya, Ia menyebutkan bahwa bahasa adalah produk budaya pemakai bahasa. Sebelumnya, pakar-pakar linguistik juga sudah sepakat antara bahasa dan budaya memiliki kajian erat. Kajian yang sangat terkenal dalam hal ini adalah teori Sapir-Whorf. Kedua ahli ini menyatakan, Jalan pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat ditentukan atau dipengaruhi oleh struktur bahasanya (Chaer, 2003: 61).
Sementara itu, Piaget (dalam Herman, 2009: 1), seorang sarjana Perancis, menyebutkan bahwa budaya (pikiran) akan membentuk bahasa seseorang. Dari sinilah lahir teori pertumbuhan kognisi oleh Piaget. Sedikit berbeda dengan itu, Vigotsky (dalam Herman, 2009: 1), sarjana Rusia, berbendapat bahwa perkembangan bahasa lebih awal satu tahap sebelum berkembangnya pemikiran (budaya) yang kemudian keduanya bertemu sehingga melahirkan pikiran berbasa dan bahasa berpikir. Noam Chomsky juga sepakat bahwa kajian bahasa memiliki erat kaitan dengan budaya. Demikian halnya dengan Eric Lenneberg yang memiliki kesamaan pandangan dengan teori kebahasaan yang dikemukakan oleh Chomsky dan Piaget dalam Chaer (2003: 52-58).

.






BAB 2
PEMBAHASAN

A. Bahasa

1.    Pengertian Bahasa

Istilah bahasa dalam bahasa Indonesia, sama dengan language, dalam bahasa Inggris, taal dalam bahasa Belanda, sprache dalam bahasa Jerman, lughatun dalam bahasa Arab dan bahasa dalam bahasa Sansekerta. Istilah-istilah tersebut, masing-masing mempunyai aspek tersendiri, sesuai dengan pemakainya, untuk menyebutkan suatu unsur kebudayaan yang mempunyai aspek yang sangat luas, sehingga merupakan konsep yang tidak mudah didefinisikan, seperti yang diungkapkan oleh para ahli.
Secara sederhana, bahasa dapat diartikan sebagai alat untuk menyampaikan sesuatu yang terlintas di dalam hati. Namun, lebih jauh bahasa bahasa adalah alat untuk beriteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau perasaan. Dalam studi sosiolinguistik, bahasa diartikan sebagai sebuah sistem lambang, berupa bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam dan manusiawi (Chaer dan Leonie Agustina, 2010: 11).
Bahasa adalah sebuah sistem, artinya, bahasa dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Sistem bahasa berupa lambang-lambang bunyi, setiap lambang bahasa melambangkan sesuatu yang disebut makna atau konsep. Karena setiap lambang bunyi itu memiliki atau menyatakan suatu konsep atau makna, maka dapat disimpulkan bahwa setiap suatu ujaran bahasa memiliki makna. Contoh lambang bahasa yang berbunyi nasi melambangkan konsep atau makna sesuatu yang biasa dimakan orang sebagai makanan pokok.
Pengertian Bahasa menurut (Depdiknas, 2005: 3)Bahasa pada hakikatnya adalah ucapan pikiran dan perasan manusia secara teratur, yang mempergunakan bunyi sebagai alatnya. Menurut Harun Rasyid, Mansyur & Suratno (2009: 126) bahasa merupakan struktur dan makna yang bebas dari penggunanya, sebagai tanda yang menyimpulkan suatu tujuan. Sedangkan bahasa menurut kamus besar Bahasa Indonesia (Hasan Alwi, 2002: 88) bahasa berarti sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh semua orang atau anggota masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri dalam bentuk percakapan yang baik, tingkah laku yang baik, sopan santun yang baik.
Sturtevent berpendapat bahwa bahasa adalah sistem lambang sewenang-wenang, berupa bunyi yang digunakan oleh anggota-anggota suatu kelompok sosial untuk bekerja sama dan saling berhubungan. Sedangkan menurut Chomsky (1957: 13), language is a set of sentences, each finite length and contructed out of a finite set of elements. Menegaskan pendapat tersebut, Keraf (1997: 1) mengatakan bahwa bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat, berupa lambang bunyi suara yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.
Masih banyak lagi definisi tentang bahasa yang dikemukakan oleh para ahli bahasa. Setiap batasan yang dikemukakan tersebut, pada umumnya memiliki konsep yang sama, meskipun terdapat perbedaaan dan penekanannya. Terlepas dari kemungkinan perbedaan tersebut, dapat disimpulkan sebagaimana dinyatakan Linda Thomas dan Shan Wareing (2007) dalam buku Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan bahwa salah satu cara dalam menelaah bahasa adalah dengan memandangnya sebagai cara sistematis untuk menggabungkan unit-unit kecil menjadi unit-unit yang lebih besar dengan tujuan komunikasi. Sebagai contoh, kita menggabungkan bunyi-bunyi bahasa (fonem) menjadi kata (butir leksikal) sesuai dengan aturan dari bahasa yang kita gunakan. Butir-butir leksikal ini kemudian digabungkan lagi untuk membuat struktur tata bahasa, sesuai dengan aturan-aturan sintaksis dalam bahasa. Dengan demikian bahasa merupakan ujaran yang diucapkan secara lisan, verbal secara arbitrer. Lambang, simbol, dan tanda-tanda yang digunakan dalam bahasa mengandung makna yang berkaitan dengan situasi hidup dan pengalaman nyata manusia.


2.    Fungsi-Fungsi Bahasa
Secara umum, fungsi bahasa adalah alat untuk berkomunikasi baik secara lisan maupun komunikasi tulis. Namun, lebih khusus fungsi bahasa dapat digolongkan dalam beberapa bagian, antara lain, bahasa mempunyai fungsi kebudayaan, fungsi kemasyarakatan, fungsi perorangan, dan fungsi pendidikan (Nababan, 1991: 38). Bahasa sebagai alat komunikasi memiliki fungsi yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.  Fungsi informasi,
Fungsi ini untuk menyampaikan informasi timbal-balik antaranggota keluarga ataupun anggota-anggota masyarakat. Berita, pengumuman, petunjuk pernyataan lisan ataupun tulisan melalui media massa ataupun elektronik merupakan wujud fungsi bahasa sebagai fungsi informasi.
b.  Fungsi ekspresi diri,
Fungsi ini untuk menyalurkan perasaan, sikap, gagasan, emosi atau tekanan-tekanan perasaan pembicara. Bahasa sebagai alat mengekspresikan diri ini dapat menjadi media untuk menyatakan eksistensi (keberadaan) diri, membebaskan diri dari tekanan emosi dan untuk menarik perhatian orang.
c.  Fungsi adaptasi dan integrasi,
Fungsi ini untuk menyesuaikan dan membaurkan diri dengan anggota masyarakat. Melalui bahasa seorang anggota masyarakat sedikit demi sedikit belajar adat istiadat, kebudayaan, pola hidup, perilaku dan etika masyarakatnya. Mereka menyesuaikan diri dengan semua ketentuan yang berlaku dalam masyarakat melalui bahasa. Kalau seorang mudah beradaptasi dengan masyarakat di sekelilingnya maka dengan mudah pula ia akan membaurkan diri (integrasi) dengan kehidupan masyarakat tersebut.
Dengan bahasa manusia dapat saling bertukar pengalaman dan menjadi bagian dari pengalaman itu. Mereka memanfaatkan pengalaman itu untuk kehidupannya. Dengan demikian mereka saling terikat dengan kelompok sosial yang dimasukinya. Bahasa menjadi alat integrasi (pembauran) bagi tiap manusia dengan masyarakatnya.
d.  Fungsi kontrol sosial,
Fungsi ini bahasa berfungsi untuk mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain. Bila fungsi ini berlaku dengan baik, maka semua kegiatan sosial akan berlangsung dengan baik pula. Sebagai contoh pendapat seorang tokoh masyarakat akan didengar dan ditanggapi dengan tepat bila ia dapat menggunakan bahasa yang komunikatif dan persuasif. Kegagalannya dalam menggunakan bahasa akan menghambat pula usahanya dalam mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain. Dengan bahasa seseorang dapat mengembangkan kepribadian dan nilai-nilai sosial kepada tingkat yang lebih berkualitas.
Setiap bahasa memiliki fungsi khusus. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional mempunyai fungsi khusus yang sesuai dengan kepentingan bangsa Indonesia. Fungsi itu adalah sebagai:
a.       Alat untuk menjalankan administrasi negara.
Fungsi bahasa Indonesia sebagai alat untuk menjalankan administrasi negara terlihat dalam surat-surat resmi, surat keputusan, peraturan dan perundang-undangan, pidato dan pertemuan resmi.
b.      Alat pemersatu berbagai suku
Fungsi bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu berbagai suku yang memiliki latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda-beda.
c.       Wadah penampung kebudayaan.
Semua ilmu pengetahuan dan kebudayaan harus diajarkan dan diperdalam dengan mempergunakan bahasa Indonesia sebagai medianya.
Ragam bahasa dapat diklasifikasikan berdasarkan bidang wacana. Dengan dasar ini ragam bahasa dapat dibedakan atas; a) ragam ilmiah yaitu bahasa yang digunakan dalam kegiatan ilmiah, ceramah, tulisan-tulisan ilmiah; b) ragam populer yaitu bahasa yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari dan dalam tulisan populer.
Ragam bahasa dapat digolongkan menurut sarana dibagi atas ragam lisan dan ragam tulisan. Makna ragam lisan diperjelas dengan intonasi yaitu, tekanan, nada, tempo suara dan perhentian. Sedangkan penggunaan ragam tulisan dipengaruhi oleh bentuk, pola kalimat, dan tanda baca. Ragam bahasa dari sudut pendidikan dapat dibagi atas bahasa baku dan bahasa tidak baku. Ragam baku menggunakan kaidah bahasa yang lebih lengkap dibandingkan dengan ragam tidak baku. Ciri ragam bahasa baku adalah a) memiliki sifat kemantapan dinamis artinya konsisten dengan kaidah dan aturan yang tetap, b) memiliki sifat kecendekiaan, 3) bahasa baku dapat mengungkapkan penalaran atau pemikiran yang teratur, logis dan masuk akal.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bahasa berperan penting dalam segala aspek kehidupan. la dapat membantu manusia dalam menjalankan tugasnya. Era globalisasi yang telah datang pada awal 2003 membawa berbagai pembaharuan dalam dunia budaya dan teknologi. Masalahnya adalah dapatkah bahasa Indonesia tetap diakui keberadaannya di tanah airnya sendiri. Agar tetap eksis tentu saja banyak tantangannya karena bahasa Asing dalam aspek tertentu lebih diterima oleh masyarakat daripada bahasa Indonesia. Perkembangan bahasa yang kalah cepat dengan perkembangan teknologi industri dan ilmu pengetahuan telah memunculkan masalah baru. Masalah ini adalah Bagaimana Bahasa Indonesia dapat berperan maksimal sebagai sarana komunikasi dalam era globalisasi.
Secara tradisional ada tiga fungsi bahasa yang seharusnya terpisah tapi pada kenyataannya agak tumpang tindih, ada banyak kemiripan pada fungsi bahasa ini tetapi ada juga beberapa perbedaannya, dan perbedaan itu terletak pada macam informasi yang disampaikan oleh tiap fungsi bahasa itu.
a)      Fungsi kognitif yaitu fungsi bahasa sebagai alat untuk mengungkapkan gagasan, konsep, dan pemikiran. Fungsi ini sejalan dengan fungsi bahasa secara umum sebagai alat komunikasi untuk mengungkapkan ide atau gagasan.
b)      Fungsi Evaluatif yaitu fungsi bahasa untuk menyalurkan atau mengantarkan sikap serta nilai-nilai dalam komunikasi.
c)      Fungsi Afektif yaitu fungsi yang mengalihkan emosi serta perasaan dalam komunikasi.
d)      Penggunaan bahasa pada lingkungan ilmu pengetahuan membagi fungsi-fungsi kebahasaan sesuai dengan kegunaannya, pada ilmu Linguistik dan ilmu Filsafat cenderung memfokuskan diri pada fungsi kognitif, ilmu Sosiologi dan Psikologi Sosial lebih cenderung pada fungsi evaluatif sedang pada ilmu Psikologi dan Kritik Sastra cenderung memfokuskan diri pada fungsi afektif dari bahasa tersebut.


B. Kebudayaan

1. Konsep Kebudayaan
Kebudayaan menurut Clifford Geertz sebagaimana disebutkan oleh Fedyani Syaifuddin dalam bukunya Antropologi Kontemporer yaitu sistem simbol yang terdiri dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat diindentifikasi, dan bersifat publik. Senada dengan pendapat di atas Claud Levi-Strauss memandang kebudayaan sebagai sistem struktur dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat diindentifikasi, dan bersifat publik. Adapun Gooddenough sebagaimana disebutkan Mudjia Rahardjo dalam bukunya Relung-relung Bahasa mengatakan bahwa budaya suatu masyarakat adalah apa saja yang harus diketahui dan dipercayai seseorang sehngga dia bisa bertindak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku di dalam masyarakat, bahwa pengetahuan itu merupakan sesuatu yang harus dicari dan perilaku harus dipelajari dari orang lain bukan karena keturunan. Karena itu budaya merupakan cara yang harus dimiliki seseorang untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari dalam hidupnya.
Dalam konsep ini kebudayaan dapat dimaknai sebagai fenomena material, sehingga pemaknaan kebudayaan lebih banyak dicermati sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat. Karenanya tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat akan terikat oleh kebudayaan yang terlihat wujudnya dalam berbagai pranata yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku manusia.
Adapun Menurut Canadian Commision for UNESCO seperti yang dikutip oleh Nur Syam mengatakan kebudayaan adalah sebuah sistem nilai yang dinamik dari elemen-elemen pembelajaran yang berisi asumsi, kesepakatan, keyakinan dan atauran-atauran yang memperbolehkan anggota kelompok untuk berhubungan dengan yang lain serta mengadakan komunikasi dan membangun potensi kreatif mereka.
Definisi-definisi di atas dan pendapat para ahli lainnya dapat dikelompokkan menjadi 6 golongan menurut Abdul Chaer yaitu:
a.       Definisi deskriptif adalah definisi yang menerangkan pada unsur-unsur kebudayaan.
b.      Definisi historis adalah definisi yang menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara kemasyarakatan.
c.       Definisi normatif adalah definisi yang menekankan hakekat kebuadayaan sebagai aturan hidup dan tingkah laku.
d.      Definisi psikologis merupakan definisi yang menekankan pada kegunaan kebudayaan dalam menyesuaikan diri kepada lingkungan, pemecahan persoalan dan belajar hidup.
e.       Definisi sturktural definisi yang menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu sistem yang berpola teratur.
f.        Definisi genetik yang menekankan pada terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya manusia.
Dengan demikian kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial, oleh para anggota suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan dan tata kelakuan tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi. Dan kebudayaan melingkupi semua aspek dan segi kehidupan manusia, baik itu berupa produk material atau non material.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, yang terdiri dari berbagai budaya, menjadikan perbedaan antar-kebudayaan, justru bermanfaat dalam mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut. Pluralisme masyarakat dalam tatanan sosial agama, dan suku bangsa telah ada sejak jaman nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan secara damai merupakan kekayaan yang tak ternilai dalam khasanah budaya nasional.
Tanpa melihat bagaimana rumusan definisi-definisi yang dikumpulkan itu satu per satu sudah dapat diketahui dari pengelompokan itu bahwa kebudayaan itu melingkupi semua aspek dan segi kehidupan manusia. Kemudian, kalau kita lihat definisi golongan enam, maka bisa dikatakan apa saja perbuatan manusia dengan segala hasil dan akibatnya adalah termasuk dalam konsep kebudayaan. Ini berbeda dengan konsep kebudayaan yang tercakup dan diurus oleh Direktorat Jendral Kebudayaan yang ada di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, sebab ternyata yang diurus oleh Direktorat ini hanyalah hal-hal yang berkaitan dengan kesenian. Direktorat itu tidak mengurus pekerjaan dan hasil pekerjaan lain, seperti bidang ekonomi, teknologi, hukum, pertanian, dan perumahan.
Pengelompokan definisi kebudayaan yang dibuat Nababan (1984) pun menunjukkan bahwa kebudayaan itu dilingkupi segala aspek dan unsur-unsur kebudayaan manusia. Nababan mengelompokkan definisi kebudayaan atas empat golongan, yaitu:
a.       Definisi yang melihat budaya sebagai pengatur dan pengikat masyarakat.
b.      Definisi yang melihat kebudayaan sebagai hal-hal yang diperoleh manusia melalui belajar atau pendidikan.
c.       Definisi yang melihat kebudayaan sebagai kebiasaan dan perilaku manusia.
d.      Definisi yang melihat kebudayaan sebagai sistem komunikasi yang dipakai masyarakat untuk memperoleh kerja sama, kesatuan, dan kelangsungan hidup masyarakat manusia
Definisi-definisi golongan dari pengelompokan yang dibuat Nababan secara eksplisit menyatakan bahwa semua sistem komunikasi yang digunakan manusia, tentu termasuk juga bahasa, adalah termasuk dalam kebudayaan. Itulah sebabnya Nababan (1984: 49) menyatakan bahwa kebudayaan adalah sistem aturan-aturan komunikasi dan interaksi yang memungkinkan suatu masyarakat terjadi, terpelihara, dan dilestarikan. Dengan kata lain, kebudayaan adalah segala hal yang menyangkut kehidupan manusia, termasuk aturan atau hukum yang berlaku dalam masyarakat, hasil-hasil yang dibuat manusia, kebiasaan dan tradisi yang biasa dilakukan dan sebagai alat interaksi atau komunikasi yang digunakan, yakni bahasa dan alat-alat komunikasi non-verbal lainnya.
Koentjaraningrat (1992) mengatakan bahwa kebudayaan itu hanya dimiliki manusia dan tumbuh bersama dengan berkembangnya masyarakat manusia. Untuk memahaminya Koentjaraningrat (1992) menggunakan sesuatu yang disebutkan kerangka kebudayaan, yang memiliki dua aspek tolak, yaitu (1) wujud kebudayaan dan (2) isi kebudayaan. Yang disebut wujud kebudayaan itu berupa (a) wujud gagasan, (b) perilaku, dan (c) fisik atau benda. Ketiga wujud itu secara berurutan disebutnya juga (a) sistem budaya, yang bersifat abstrak; (b) sistem sosial, yang bersifat agak konkret; dan (c) kebudayaan fisik, yang bersifat sangat konkret.
Isi kebudayaan itu terdiri atas tujuh unsur yang bersifat universal. Artinya ketujuh unsur itu terdapat dalam setiap masyarakat manusia yang ada di dunia ini. Ketujuh unsur tersebut yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian hidup atau ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, sistem religi dan kesenian. Menurut Koentjaraningrat (1992), bahasa merupakan bagian dari kebudayaan, atau dengan kata lain bahasa itu di bawah lingkup kebudayaan. Akan tetapi, kata Koentjaraningrat pula, pada zaman purba ketika manusia hanya terdiri atas kelompok-kelompok kecil yang tersebar di beberapa tempat saja. Bahasa merupakan unsur utama yang mengandung semua unsur kebudayaan manusia lainnya. Kini, setelah unsur-unsur lain dari kebudayaan manusia itu telah berkembang, bahasa hanya merupakan salah satu unsur saja, tetapi memiliki fungsi yang sangat penting bagi kehidupan manusia.

2.    Unsur Unsur Kebudayaan
Kebudayaan berasal dari kata sansekerta buddayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi, yang berarti budi atau akal. Dengan demikian, kebudayaan berarti hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Adapun ahli antropologi yang merumuskan definisi tentang kebudayaan secara sistematis dan ilmiah adalah Taylor, yang menulis dalam bukunya: Primitive Culture, bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan lain, serta kebiasaan yang di dapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat (Ranjabar, 2006).
Goodenough (dalam Kalangie, 1994) mengemukakan, bahwa kebudayaan adalah suatu sistem kognitif, yaitu suatu sistem yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, dan nilai yang berada dalam pikiran anggota-anggota individual masyarakat. Dengan kata lain, kebudayaan berada dalam tatanan kenyataan yang ideasional. Atau, kebudayaan merupakan perlengkapan mental yang oleh anggotaanggota masyarakat dipergunakan dalam proses orientasi, transaksi, pertemuan, perumusan, gagasan, penggolongan, dan penafsiran perilaku sosial nyata dalam masyarakat mereka. Menurut C. Kluckhohn, kebudayaan memiliki 7 unsur sebagai berikut.
a.        Sistem kepercayaan
Sistem religi meliputi kepercayaan, nilai, pandangan hidup, komunikasi keagamaan dan upacara keagamaan. Definisi kepercayaan mengacu kepada pendapat Fishbein dan Azjen (dalam Soekanto, 2007), yang menyebutkan pengertian kepercayaan atau keyakinan dengan kata “belief”, yang memiliki pengertian sebagai inti dari setiap perilaku manusia. Aspek kepercayaan tersebut merupakan acuan bagi seseorang untuk menentukan persepsi terhadap sesuatu objek. Kepercayaan membentuk pengalaman, baik pengalaman pribadi maupun pengalaman sosial. Sistem kepercayaan (sistem religi) merupakan hal-hal yang bersifat keagamaan dan kepercayaan. Dalam hal ini bisa dibilang budaya yang mistis, seperti animisme, dinamisme, dan sebagainya. Biasanya terdapat bacaan-bacaan dan juga ritual-ritual dalam pelaksanaan sistem kepercayaan ini. Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia. Sifat-sifat nilai menurut Daroeso (dalam Kalangie, 1994) adalah sebagai berikut.
a.       Nilai itu suatu realitas abstrak dan ada dalam kehidupan manusia. Nilai yang bersifat abstrak tidak dapat diindra. Hal yang dapat diamati hanyalah objek yang bernilai.
b.      Nilai memiliki sifat normatif, artinya nilai mengandung harapan, cita-cita, dan suatu keharusan sehingga nilai nemiliki sifat ideal. Nilai diwujudkan dalam bentuk norma sebagai landasan manusia dalam bertindak.
c.       Nilai berfungsi sebagai daya dorong dan manusia adalah pendukung nilai. Manusia bertindak berdasar dan didorong oleh nilai yang diyakininya.
Dalam filsafat, nilai dibedakan dalam tiga macam, yaitu: 1) nilai logika adalah nilai benar salah; 2) nilai estetika adalah nilai indah tidak indah; dan 3) nilai etika/moral adalah nilai baik buruk. Nilai moral adalah suatu bagian dari nilai, yaitu nilai yang menangani kelakuan baik atau buruk dari manusia. Moral selalu berhubungan dengan nilai, tetapi tidak semua nilai adalah nilai moral. Moral berhubungan dengan kelakuan atau tindakan manusia. Nilai moral inilah yang lebih terkait dengan tingkah laku kehidupan kita sehari-hari. Nilai religius yang merupakan nilai kerohanian tertinggi dan mutlak serta bersumber pada kepercayaan atau keyakinan manusia.

b.      Sistem pengetahuan
Pengetahuan merupakan hal yang mendasar dalam unsur kebudayaan. Pengetahuan dianggap penting karena dengan pengetahuan, seseorang dapat mengetahui kebudayaannya sendiri maupun orang lain. Adanya pengetahuan dalam seorang individu dapat memicu timbulnya ide-ide yang baru dan kreatif sehingga budaya tersebut dapat dipertahankan. Spradlye (dalam Kalangie, 1994) menyebutkan, bahwa pengetahuan budaya itu bukanlah sesuatu yang bisa kelihatan secara nyata, melainkan tersembunyi dari pandangan, namun memainkan peranan yang sangat penting bagi manusia dalam menentukan perilakunya. Pengetahuan budaya yang diformulasikan dengan beragam ungkapan tradisional itu sekaligus juga merupakan gambaran dari nilai-nilai budaya yang mereka hayati.
Nilai budaya sebagaimana dikemukan oleh Koentjaraningrat (2002) adalah konsep-konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Dan suatu sistem nilai budaya, yang sifatnya abstrak, biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia.

c.       Peralatan dan perlengkapan hidup manusia
Teknologi dan peralatan kesehatan adalah sarana prasarana yang diperlukan untuk tindakan pelayanan, meliputi: ketersedian, keterjangkauan dan kualitas alat. Keterjangkauan meliputi: 1) keterjangkauan fisik, keterjangkauan fisik dimaksudkan agar tempat pelayanan lebih mudah menjangkau dan dijangkau oleh masyarakat sasaran; 2) keterjangkauan ekonomi, keterjangkauan ekonomi ini dimaksudkan agar biaya pelayanan dapat dijangkau oleh klien. Biaya untuk memperoleh pelayanan menjadi bagian penting bagi klien; 3) keterjangkauan psikososial, keterjangkauan psikososial ini dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan partisipasi masyarakat secara sosial dan budaya oleh masyarakat, provider, pengambil kebijakan, tokoh agama, tokoh masyarakat; 4) keterjangkauan pengetahuan, keterjangkauan pengetahuan ini dimaksudkan agar masyarakat mengetahui tentang kebutuhannya. Dengan budaya yang berkembang, sehingga timbulnya peralatan-peralatan baru yang bisa digunakan sebagai pelengkap dan juga sebagai keindahan tersendiri.

d.      Mata pencaharian dan sistem-sistem ekonomi.
Sistem mata pencaharian hidup merupakan produk dari manusia sebagai homo economicus yang mejadikan kehidupan manusia terus meningkat. Dalam tingkat sebagai food gathering, kehidupan manusia sama dengan hewan. Tetapi dalam tingkat food producing terjadi kemajuan yang pesat. Setelah bercocok tanam, kemudian beternak yang terus meningkat (rising demand) yang kadang-kadang serakah. Sistem mata pencaharian hidup atau sistem ekonomi meliputi jenis pekerjaan dan penghasilan (Koentrajaningrat, 2002). Terlahir karena manusia memiliki hawa nafsu dan keinginan yang tidak terbatas dan selalu ingin lebih sehingga budaya dimanfaatkan untuk hal tersebut.

e.       Sistem kemasyarakatan
Sistem kemasyarakatan merupakan sistem yang muncul karena kesadaran manusia bahwa meskipun diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna namun tetap memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing antar individu sehingga timbul rasa utuk berorganisasi dan bersatu. Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial yang meliputi: kekerabatan, organisasi politik, norma atau hukum, perkawinan, kenegaraan, kesatuan hidup dan perkumpulan. Sistim organisasi adalah bagian kebudayaan yang berisikan semua yang telah dipelajari yang memungkinkan bagi manusia mengkoordinasikan perilakunya secara efektif dengan tindakan-tindakan-tindakan orang lain (Syani, 1995). Kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial. Kekerabatan suatu masyarakat dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota keluarga, sanak saudara, tetangga, dan teman sering kali memiliki pengaruh yang bermakna dalam pemakaian metode kontrasepsi oleh suatu pasangan. Pada sebuah studi di India dan Turki, lebih dari separuh wanita yang diwawancarai mengatakan bahwa pemilihan kontrasepsi mereka dibuat oleh atau dengan suami.

f.        Bahasa
Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat. Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum dan fungsi khusus.
Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskah-naskah kuno, dan untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi (Koentrajaningrat, 2002). Sesuatu yang berawal dari hanya sebuah kode, tulisan hingga berubah sebagai lisan untuk mempermudah komunikasi antar sesama manusia. Bahkan sudah ada bahasa yang dijadikan bahasa universal seperti bahasa Inggris.

g.      Kesenian
Setelah memenuhi kebutuhan fisik manusia juga memerlukan sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan psikis mereka sehingga lahirlah kesenian yang dapat memuaskan hati setiap orang. Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun telinga. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian yang kompleks. Kesenian yang meliputi: seni patung/pahat, seni rupa, seni gerak, lukis, gambar, rias, vocal, musik/seni suara, bangunan, kesusastraan, dan drama (Koentrajaningrat, 2002).
Dengan demikian diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu umat manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

.


C.   Hubungan Bahasa dengan Kebudayaan

Menurut Koentjaraningrat (1992) bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan subordinatif, suatu bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan. Di samping itu, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi. Masinambouw (dalam Crista, 2012: 1) malah menyebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan dua sistem yang melekat pada manusia. Kebudayaan itu adalah satu sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana.
Masinambouw (dalam Crista, 2012: 1) juga mempersoalkan bagaimana hubungan antara kebahasaan dan kebudayaan, apakah bersifat subordinatif, ataukah bersifat koordinatif. Kalau bersifat subordinatif mana yang menjadi main sistem (sistem atasan) dan mana pula yang menjadi subsystem (sistem bawahan). Kebanyakan ahli memang mengatakan bahwa kebudayaanlah yang menjadi main system, sedangkan bahasa hanya merupakan subsistem.
Mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan yang bersifat koordinatif ada dua hal yaitu hubungan kebahasaan dan kebudayaan itu seperti anak kembar siam, dua buah fenomena yang terikat erat seperti hubungan sisi satu dengan sisi yang lain pada sekeping uang logam (Silzer dalam Crista, 2012: 1). Jadi, pendapat ini mengatakan kebahasaan dan kebudayaan merupakan dua fenomena yang berbeda, tetapi hubungannya sangat erat sehingga tidak dapat dipisahkan, sejalan dengan konsep Masinambouw. Hal kedua yang menarik dalam hubungan koordinatif ini adalah adanya hipotesis yang sangat controversial, yaitu hipotesis dari dua pakar linguistik ternama, yakni Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf. Hipotesis ini dikenal dengan nama hipotesis Sapir dan Whorf.
Meskipun gagasan-gagasan yang dikemukakan kedua sarjana itu, Sapir dan Whorf, adalah hasil penelitian yang lama dan mendalam, serta dikemukakan dalam karangan yang bobot ilmiahnya sangat tinggi, tetapi nyatanya gagasan mereka disebutkan dalam hipotesisnya sangat kontroversial dengan pendapat sebagaian besar sarjana. Dalam hipotesis itu, dikemukakan bahwa bahasa bukan hanya menentukan corak budaya, tetapi juga menentukan cara dan jalan pikir manusia. Suatu bangsa yang berbeda bahasanya dari bangsa yang lain, akan memilki corak budaya dan jalan pikiran yang berbeda pula.
Perbedaan-perbedaan budaya dan jalan pikiran manusia tersebut bersumber dari perbedaan bahasa. Bahasa itu memengaruhi kebudayaan dan jalan pikiran manusia, maka ciri-ciri yang ada dalam suatu bahasa akan tercermin pada sikap dan budaya penuturnya. Contoh, katanya dalam bahasa Barat ada sistem kala yaitu penutur bahasa memerhatikan dan terikat waktu, misalnya pada musim panas pukul 21.00 matahari masih bersinar dengan terang, tetapi kanak-kanak karena sudah menjadi kebiasaan disuruhnya tidur karena katanya hari sudah malam. Sebaliknya, bagi orang Indonesia karena dalam bahasanya tidak ada sistem kala, menjadi tidak memperhatikan waktu, seperti acara yang sudah terjadwalkan waktunya bisa mundur satu jam. Itulah sababnya uangkapan jam karet hanya ada di Indonesia.
Hipotesis Sapir-Whorf yang menyatakan perbedaan berpikir disebabkan oleh adanya perbedaan bahasa ini, akan menyebabkan orang arab, akan terlihat kenyataan secara berbeda dengan orang Jepang, sebab bahasa Arab tidak sama dengan bahasa Jepang. Kalau hipotesis Sapir-Whorf ini diterima, maka implikasinya dalam ilmu pengetahuan amat sangat jauh, sebab bagi ilmu pengetahuan manusia mempunyai satu jalan pikiran. Dikemukakan oleh Masinsmbouw bahwa bahasa itu hanyalah alat untuk menyatakan atau menyampaikan pikiran dan bahasa itu bersifat unik. Dengan kata lain, bahasa tidak memengaruhi jalan pikiran, apalagi menentukan seperti yang dinyatakan oleh hipotesis Sapir-Whorf.
Sapir dan Whorf, dua sarjana linguistik yang begitu berbobot, sampai bisa membuat pernyataan yang begitu kontrovesional dengan mengatakan bahwa bahasa sangat berperan dalam menentukan jalan pikiran manusia, bahkan bersifat mutlak. Kajian antropologi yang dijadikan landasan, telah menunjukkan kepada kedua sarjana itu, bahwa pembentukan konsep-konsep tidaklah sama pada semua kultur. Para ahli yang menolak pendapat bahwa kita mempunyai konsep lebih dahulu kemudian baru mencarikan nama untuk konsep itu, tentunya bisa menerima pikiran Safir dan Whorf. Akan tetapi, penganut aliran mentalistik tidak dapat menerima sama sekali hipotesis tersebut.

Orang yang mengikuti hipotesis Sapir-Whorf tidak banyak. Pertama, karena sejak semula orang meragukan bahwa manusia mempunyai perbedaan yang sejauh itu. Kedua, diketahui kemudian bahwa Whorf telah melakukan beberapa kesalahan teknis dalam kajian. Silzer (1990) menyatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua buah fenomena yang terikat, bagai dua anak kembar siam, atau sekeping mata uang yang pada satu sisi berupa sistem bahasa dan pada sistem yang lain berupa sistem budaya, maka apa yang tampak dalam budaya akan tercermin dalam bahasa, atau juga sebaliknya. Misalnya bangsa Inggris dan bangsa Eropa lainnya, yang tidak mengenal kebiasaan makan nasi, maka dalam bahasanya hanya ada satu kata yaitu rice, untuk menyatakan konsep padi, gabah, beras, dan nasi. Begitu juga tidak ada kosakata untuk konsep lauk, teman pemakan nasi. Sebaliknya, dalam budaya Indonesia ada karena ada budaya makan nasi, maka bahasa Indonesia mempunyai kata yang berbeda untuk keempat konsep itu.
Menurut Koentjaraningrat (1990) buruknya kemampuan berbahasa Indonesia sebagian besar orang Indonesia, termasuk kaum intelektualnya, adalah karena adanya sifat-sifat negatif yang melekat pada mental pada sebagian besar orang Indonesia. Sifat-sifat negatif itu adalah suka meremehkan mutu, mental menerabas, tuna harga diri, menjauhi disiplin, enggan bertanggung jawab, dan suka latah atau ikut-ikutan.
Menurut Koentjaraningrat, sikap mental menerabas tercermin dalam perilaku berbahasa berupa adanya keinginan untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik, tetapi tanpa keinginan untuk belajar. Mereka menganggap bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa kita yang secara alami, yang dapat dikuasai tanpa harus dipelajari. Memang benar secara politis kita adalah orang Indonesia, karena lahir dan dibesarkan di Indonesia, dan bahasa Indonesia adalah milik kita. Akan tetapi, apakah benar itu dapat dikuasai dengan baik tanpa melalui proses belajar. Lebih-lebih kalau diingat bahwa bagi sebagian besar orang Indonesia, bahasa Indonesia adalah bahasa kedua, bukan bahasa pertama. Untuk menguasai bahasa pertama saja kita harus belajar dari lingkungan kita: apabila untuk menguasai bahasa kedua yang harus dipelajari dari orang lain.
Hubungan bahasa dengan kebudayaan yang telah dipaparkan oleh Koentjaraningrat (1990) di atas, ternyata yang memengaruhi perilaku berbahasa adalah budaya. Budaya di sini dalam arti luas, termasuk sifat dan sikap yang dimiliki oleh penutur. Untuk lebih memahami adanya hubungan budaya dan tindak tutur, serta melihat budaya-budaya yang tidak sama, sehingga melahirkan pola tindak tutur yang berbeda, camkan ilustrasi berikut.
Dalam masyarakat tutur Indonesia kalau ada orang memuji, misalnya dengan mengatakan Bajumu bagus sekali!, atau Wah rumah saudara besar sekali, maka yang dipuji akan menjawab pujian itu dengan nada menolak merendah, misalnya dengan mengatakan Ah, ini cuma baju murah kok dan Yah, beginilah namanya juga rumah di kampung!. Akan tetapi kalau itu terjadi dalam budaya Inggris, tentu akan dijawab dengan kata Terima kasih!. Contoh lain, dalam budaya Indonesia hanya laki-laki yang dapat mengawini atau menikahi wanita, sedangkan wanita tidak dapat mengawini atau menikahi laki-laki, sebab kalimat dalam budaya Inggris, baik laki-laki maupun wanita dapat menikahi lawan jenisnya. Dalam budaya Indonesia, informasi-informasi (dalam bentuk tindak tutur) lebih sering disampaikan secara tidak langsung dengan menggunakan bahasa kias atau bahasa isyarat, tetapi dalam budaya Inggris lebih umum disampaikan secara langsung dengan alat komunikasi verbal.


C.   Perencanaan Bahasa
Perencanaan bahasa merupakan kegiatan yaang harus dilakukaan sesudah melakukaan kebijaksanaan bahasa. Istilah perencanaaan bahasa pertama kali digunaakan oleh Haugen (Chaer, 2010:183). Pengertiannya yaitu usaha untuk membimbing perkembangan bahasa ke arah yang diinginkan oleh para perencana. Sebagai contoh usaha perencanaan itu meliputi pembuatan tata ejaan yang normatif, penyusunan tata bahasa dan kamus yang akan dapat dijadikan pedoman bagi para penutur dalam masyarakat yang heterogen.
Di Indonesia, kegiatan perencanaan bahasa sebenarnya sudah berlangsung, yakni sejak jaman Jepang ketika ada Komisi Bahasa Indonesia sampai ketika Alisjahbana menerbitkan majalah Pembina Bahasa Indonesia tahun 1948. Bahkan sudah dimulai sejak Van Ophuisjen menyusun ejaan bahasa Melayu pada tahun 1901. Disusul dengan berdirinya Commisie voor de Volkslectuur tahun 1908 yang pada 1917 berubah menjadi Balai Pustaka. Dengan mempertimbangkan historis tersebut, satu pengertian yang dapat disimpulkan dari perencanaan bahasa adalah usaha untuk membuat penggunaan bahasa atau bahasa-bahasa dalam satu negara di masa depan dengan lebih baik dan lebih terarah.
Siapakah yang melakukan perencanaan bahasa? Sesudah proklamasi, pemerintah membentuk Panitia Pekerja Bahasa Indonesia dengan tugas mengembangkan peristilahan, menyusun tata bahasa sekolah, dan menyiapkan kamus baru untuk keperluan pengajaran bahasa Indonesia di sekolah. Tahun 1948 dibentuklah Balai Bahasa yang memiliki tugas memperhatikan, meneliti dan mempelajari bahasa Indonesia dan semua bahasa Nusantara, lisan maupun tulisan, masa lalu maupun masa kini. Selain itu juga harus memberikan pertimbangan dan petunjuk pada masyarakat mengenai hal-hal yang berkenaan dengan bahasa Indonesia dan bahasa Nusantara. Hingga kini lembaga ini yang diberi tugas sebagai dan wewenang dalam perencanaan, pembinaan, dan pengembangan bahasa di Indonesia.
Apa sasaran perencanaan bahasa? Sasaran dari perencanaan bahasa yaitu
(1)   pembinaan dan pengembangan bahasa yang direncanakan, misalnya pengembangan peristilahan, penyusunan sistem ejaan baku, serta penyusunan kamus.
(2)   khalayak masyarakat, misalnya mengarahkan pemakaian bahasa kepada kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat.
Hambatan dalam perencanaan bahasa, meliputi:
(1)       Hambatan dari pemegang kekuasaan atau orang yang berpengaruh, misalnya orang yang berpengaruh tidak menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
(2)       Hambatan dari penutur, misalnya lebih suka berbahasa asing yang dianggap lebih keren.
(3)       Hambatan dana dan tenaga, misalnya rendahnya mutu penguasaan bahasa Indonesia di kalangan pelajar.



BAB 3
PENUTUP

Bahasa adalah sebuah sistem, artinya, bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Sebagai sebuah sistem, bahasa bersifat sistematis dan juga bersifat sistemis. Sistematis artinya bahasa itu tersusun menurut suatu pola tertentu. Sistemis artinya bahasa tersebut bukan merupakan sebuah sistem tunggal, melainkan terdiri dari sejumlah subsistem.
Sistem bahasa yang dimaksud di atas adalah berupa lambang-lambang dalam bentuk bunyi yang lazim disebut bunyi ujar atau bunyi bahasa. Setiap lambang bahasa mengandung sesuatu yang disebut makna atau konsep. Bahasa sebagai sebuah lambang bunyi yang bersifat mana suka (arbitrer), konvensional, produktif serta dinamis mempunyai banyak fungsi, antara lain menurut Dell Hymes (1964) ada lima fungsi bahasa, yaitu (1) menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial, (2) menyampaikan pengalaman tentang keindahan, kebaikan, keluhuran budi, (3) mengatur kontak sosial, (4) mengatur perilaku, dan (5) mengungkapkan perasaan.
Keanekaragaman bahasa tidak dapat dipisahkan dari keanekaragaman budaya. Ditinjau dari segi budaya, bahasa termasuk aspek budaya, kekayaan bahasa merupakan sesuatu yang menguntungkan. Berbagai bahasa itu akan merefleksikan kekayaan budaya yang ada pada masyarakat pemakainya (multikultural). Hubungan antara bahasa dan kebudayaan itu bersifat koordinaif atau subordinatif yang keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat dan saling memengaruhi. Hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi. Hubungan subordinatif berarti suatu bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan.
Di samping itu, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa bahasa dan kebudayaan dua sistem yang melekat pada manusia. Kebudayaan itu adalah satu sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, sehingga kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai saran. Sistem bahasa mempunyai fungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi manusia didalam masyarakat, artinya tindak laku berbahasa haruslah disertai norma-norma yang berlaku di dalam budaya itu. Sistem tindak laku berbahasa menurut norma-norma budaya disebut sebagai etika berbahasa atau tata cara berbahasa. Etika berbahasa erat berkaitan dengan pemilihan kode bahasa, norma-norma sosial, dan sitem budaya yang berlaku dalam satu masyarakat.
Salah satu pertanyaan yang barangkali sukar untuk dijawab adalah, sesungguhnya yang lebih dahulu muncul itu apakah bahasa lebih dahulu muncul kemudian disusul dengan adanya kebudayaan atau sebaliknya, budaya lebih dahulu muncul kemudian disusul kemunculan bahasa. Teori-teori yang dikemukakan para ahli tidaklah secara eksplisit menjelaskan hal tersebut. Meskipun demikian, tampaknya mereka sepakat bahwa bahasa muncul karena adanya kebudayaan. Lihat saja Teori Tekanan Sosial dari Adam Smith yang menyatakan bahwa bahasa muncul ketika manusia primitif dihadapkan dengan kebutuhan-kebutuhan untuk saling memahami antara satu manusia dengan manusia yang lainnya. Begitu pula Teori Interjeksi yang dikemukakan Ettienne Bonnet Condilac. Ia menyatakan bahwa bahasa dilahirkan dari ujaran-ujaran instingtif (bersifat naluriah) karena adanya tekanan batin, perasaan yang sangat mendalam yang dialami manusia tersebut.

.





DAFTAR PUSTAKA

Argyle, M (ed). 1973. Social Encounters. Penguin Book Ltd: Harmondsworth.
Bell. Roger T. 1990. Sosiolinguistics: Goal, Approach and Problem. London: BT. Batsford Ltd.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik, Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta
Chomsky, Noam. 1957. Syntactic Structures. The Hague: Mouton
Crista, Janny. 2012. Bahasa dan Kebudayaan Sosiolinguistik. http: //kedaiilmujani.blogspot.com.
Halliday, M.A.K. 1973. Explorations in the Functions of Language. London: Edward Arnold.
Halliday, Michael A.K. 1970. Fuctional Divesity in Language as Seen from a Consideration of Modality and Mood in English. Foundation of Language 6.
Hymes, Dell (ed.). 1964. Language in Culture And Society. New york: Haper and Row
Ibrahim, A. Syukur.1995. Sosiolinguistik: Sajian, Tujuan, Pendekatan, dan Problem (terjemahan dari buku Roger T. Bell). Surabaya: Usaha Nasional.
Jacobson, R.190. Closing Statement Linguistics and Politics. In Sebeok (Ed).
Koentjananingrat. 1992. Bunga Rampai: Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Kridalaksana, Harimurti.1982. Introduction to Word Formation and Word Classes. Jakarta. Universitas Indonesia.
Lyons, John, Cd. 1970. New Horizons in Linguistuics. Harmonsworth: Penguin.
Nababan, P.W.J.1991. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Nababan. P.W.J. 1984. Sosiolingustik. Jakarta: Gramedia.
Thomas, Linda dan Shan Wareing. 2007. Bahasa, masyarakat dan Kekuasaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar


Tidak ada komentar:

zakifahrizal. Diberdayakan oleh Blogger.