MAKALAH BAHASA, KEBUDAYAAN, DAN PERENCANAAN BAHASA
BAHASA, KEBUDAYAAN, DAN PERENCANAAN
BAHASA
BAB
1
PENDAHULUAN
Ada berbagai teori
mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan bahasa itu
merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi ada pulayang mengatakan bahwa bahasa
dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang
sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan. Ada yang mengatakan bahwa bahasa
sangat dipengaruhi kebudayaan, sehingga segala hal yang ada dalam kebudayaan
akan tercermin di dalam bahasa. Sebaliknya, ada juga yang mengatakan bahwa bahasa
sangat dipengaruhi kebudayaan dan cara berpikir manusia atau masyarakat
penuturnya.
Menurut Koentjaraningrat
sebagaimana dikutip Abdul Chaer dan Leonie Agustina dalam buku Sosiolinguistik
bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi, hubungan antara bahasa dan
kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, di mana bahasa berada di bawah
lingkup kebudayaan. Namun pendapat lain ada yang mengatakan bahwa bahasa dan
kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat,
yang kedudukannya sama tinggi.
Bahasa adalah sebuah
sistem, artinya, bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara
tetap dan dapat dikaidahkan. Sebagai sebuah sistem, bahasa bersifat sistematis
dan juga bersifat sistemis. Sistematis artinya bahasa itu tersusun menurut
suatu pola tertentu. Sistemis artinya bahasa tersebut bukan merupakan sebuah
sistem tunggal, melainkan terdiri dari sejumlah subsistem.
Sistem bahasa yang
dimaksud di atas adalah berupa lambang-lambang dalam bentuk bunyi yang lazim
disebut bunyi ujar atau bunyi bahasa. Setiap lambang bahasa mengandung sesuatu
yang disebut makna atau konsep. Bahasa sebagai sebuah lambang bunyi yang
bersifat manasuka (arbitrer), konvensional, produktif serta dinamis mempunyai
banyak fungsi. Menurut Dell Hymes (1964) ada lima fungsi bahasa, yaitu (1)
menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial, (2) menyampaikan pengalaman
tentang keindahan, kebaikan, keluhuran budi, (3) mengatur kontak sosial, (4)
mengatur perilaku, dan (5) mengungkapkan perasaan.
Secara khusus banyak ahli
yang mengembangkan fungsi-fungsi bahasa sesuai dengan sarana penggunaannya.
Namun, pada dasarnya, bahasa dapat berfungsi sesuai dengan keinginan sang
penggunanya bila bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi dapat menyampaikan
maksud atau memberikan informasi bagi orang lain yang diajak berkomunikasi.
Dalam kehidupan bermasyarakat, banyak model penggunaan bahasa yang dilakukan
oleh manusia, model bahasa yang digunakan tersebut tentunya akan memiliki
fungsi dan dampak yang berbeda-beda. Sejauh mana model bahasa tersebut akan
berpengaruh terhadap fungsi penggunaan bahasa dan hubungan bahasa dengan
kebudayaan akan coba kita bahas dalam
bagian ini.
Telah dikukuhkan oleh
para ahli bahasa bahwa bahasa sebagai alat komunikasi secara genetis hanya ada
pada manusia. Implementasinya manusia mampu membentuk lambang atau memberi nama
guna menandai setiap kenyataan, sedangkan binatang tidak mampu melakukan itu
semua. Bahasa hidup di dalam masyarakat dan dipakai oleh warganya untuk
berkomunikasi. Kelangsungan hidup sebuah bahasa sangat dipengaruhi oleh
dinamika yang terjadi dalam setiap penutur dan berkaitan dengan segala hal yang
dialami penuturnya. Dengan kata lain, budaya yang terdapat di sekeliling bahasa
tersebut akan ikut menentukan wajah dari bahasa itu sendiri.
Keanekaragaman bahasa
(multilingualisme) tidak dapat dipisahkan dari keanekaragaman budaya
(multikulturalisme). Ditinjau dari segi budaya, bahasa termasuk aspek budaya,
kekayaan bahasa merupakan sesuatu yang menguntungkan. Berbagai bahasa itu akan
merefleksikan kekayaan budaya yang ada pada masyarakat pemakainya
(multikultural). Akan tetapi, apabila ditinjau dari segi bahasa, multilingual
dapat menimbulkan permasalahan dalam berkomunikasi.
Sosiolinguistik bukanlah
sekadar pembahasan campuran antara ilmu bahasa dan sosiologi atau ilmu sosial
lainnya, tetapi di dalamnya juga tercakup prinsip-prinsip setiap aspek
kehidupan yang berkaitan dengan fungsi sosial dan kultural. Oleh karena itu,
agar pembahasan ini tidak meluas, penulis membatasinya pada “Bahasa dan Budaya”
sebagai aspek kultural kehidupan sehari-hari.
Banyak ahli dan peneliti
sepakat bahwa bahasa dan budaya adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.
Sebut saja di antaranya Suryadi (2009), dalam makalahnya Hubungan Antara Bahasa
dan Budaya, Ia menyebutkan bahwa bahasa adalah produk budaya pemakai bahasa.
Sebelumnya, pakar-pakar linguistik juga sudah sepakat antara bahasa dan budaya
memiliki kajian erat. Kajian yang sangat terkenal dalam hal ini adalah teori
Sapir-Whorf. Kedua ahli ini menyatakan, Jalan pikiran dan kebudayaan suatu
masyarakat ditentukan atau dipengaruhi oleh struktur bahasanya (Chaer, 2003:
61).
Sementara itu, Piaget
(dalam Herman, 2009: 1), seorang sarjana Perancis, menyebutkan bahwa budaya
(pikiran) akan membentuk bahasa seseorang. Dari sinilah lahir teori pertumbuhan
kognisi oleh Piaget. Sedikit berbeda dengan itu, Vigotsky (dalam Herman, 2009:
1), sarjana Rusia, berbendapat bahwa perkembangan bahasa lebih awal satu tahap
sebelum berkembangnya pemikiran (budaya) yang kemudian keduanya bertemu
sehingga melahirkan pikiran berbasa dan bahasa berpikir. Noam Chomsky juga
sepakat bahwa kajian bahasa memiliki erat kaitan dengan budaya. Demikian halnya
dengan Eric Lenneberg yang memiliki kesamaan pandangan dengan teori kebahasaan
yang dikemukakan oleh Chomsky dan Piaget dalam Chaer (2003: 52-58).
.
BAB
2
PEMBAHASAN
A.
Bahasa
1.
Pengertian Bahasa
Istilah bahasa dalam
bahasa Indonesia, sama dengan language, dalam bahasa Inggris, taal dalam bahasa
Belanda, sprache dalam bahasa Jerman, lughatun dalam bahasa Arab dan bahasa
dalam bahasa Sansekerta. Istilah-istilah tersebut, masing-masing mempunyai
aspek tersendiri, sesuai dengan pemakainya, untuk menyebutkan suatu unsur
kebudayaan yang mempunyai aspek yang sangat luas, sehingga merupakan konsep
yang tidak mudah didefinisikan, seperti yang diungkapkan oleh para ahli.
Secara sederhana, bahasa
dapat diartikan sebagai alat untuk menyampaikan sesuatu yang terlintas di dalam
hati. Namun, lebih jauh bahasa bahasa adalah alat untuk beriteraksi atau alat
untuk berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan,
konsep atau perasaan. Dalam studi sosiolinguistik, bahasa diartikan sebagai
sebuah sistem lambang, berupa bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis,
beragam dan manusiawi (Chaer dan Leonie Agustina, 2010: 11).
Bahasa adalah sebuah
sistem, artinya, bahasa dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara
tetap dan dapat dikaidahkan. Sistem bahasa berupa lambang-lambang bunyi, setiap
lambang bahasa melambangkan sesuatu yang disebut makna atau konsep. Karena
setiap lambang bunyi itu memiliki atau menyatakan suatu konsep atau makna, maka
dapat disimpulkan bahwa setiap suatu ujaran bahasa memiliki makna. Contoh
lambang bahasa yang berbunyi nasi melambangkan konsep atau makna sesuatu yang
biasa dimakan orang sebagai makanan pokok.
Pengertian Bahasa menurut
(Depdiknas, 2005: 3)Bahasa pada hakikatnya adalah ucapan pikiran dan perasan
manusia secara teratur, yang mempergunakan bunyi sebagai alatnya. Menurut Harun
Rasyid, Mansyur & Suratno (2009: 126) bahasa merupakan struktur dan makna
yang bebas dari penggunanya, sebagai tanda yang menyimpulkan suatu tujuan.
Sedangkan bahasa menurut kamus besar Bahasa Indonesia (Hasan Alwi, 2002: 88)
bahasa berarti sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh semua
orang atau anggota masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan
mengidentifikasi diri dalam bentuk percakapan yang baik, tingkah laku yang
baik, sopan santun yang baik.
Sturtevent berpendapat
bahwa bahasa adalah sistem lambang sewenang-wenang, berupa bunyi yang digunakan
oleh anggota-anggota suatu kelompok sosial untuk bekerja sama dan saling
berhubungan. Sedangkan menurut Chomsky (1957: 13), language is a set of
sentences, each finite length and contructed out of a finite set of elements.
Menegaskan pendapat tersebut, Keraf (1997: 1) mengatakan bahwa bahasa adalah
alat komunikasi antara anggota masyarakat, berupa lambang bunyi suara yang dihasilkan
oleh alat ucap manusia.
Masih banyak lagi
definisi tentang bahasa yang dikemukakan oleh para ahli bahasa. Setiap batasan
yang dikemukakan tersebut, pada umumnya memiliki konsep yang sama, meskipun
terdapat perbedaaan dan penekanannya. Terlepas dari kemungkinan perbedaan
tersebut, dapat disimpulkan sebagaimana dinyatakan Linda Thomas dan Shan
Wareing (2007) dalam buku Bahasa, Masyarakat, dan Kekuasaan bahwa salah satu
cara dalam menelaah bahasa adalah dengan memandangnya sebagai cara sistematis
untuk menggabungkan unit-unit kecil menjadi unit-unit yang lebih besar dengan tujuan
komunikasi. Sebagai contoh, kita menggabungkan bunyi-bunyi bahasa (fonem)
menjadi kata (butir leksikal) sesuai dengan aturan dari bahasa yang kita
gunakan. Butir-butir leksikal ini kemudian digabungkan lagi untuk membuat
struktur tata bahasa, sesuai dengan aturan-aturan sintaksis dalam bahasa.
Dengan demikian bahasa merupakan ujaran yang diucapkan secara lisan, verbal
secara arbitrer. Lambang, simbol, dan tanda-tanda yang digunakan dalam bahasa
mengandung makna yang berkaitan dengan situasi hidup dan pengalaman nyata
manusia.
2.
Fungsi-Fungsi Bahasa
Secara umum, fungsi
bahasa adalah alat untuk berkomunikasi baik secara lisan maupun komunikasi
tulis. Namun, lebih khusus fungsi bahasa dapat digolongkan dalam beberapa
bagian, antara lain, bahasa mempunyai fungsi kebudayaan, fungsi kemasyarakatan,
fungsi perorangan, dan fungsi pendidikan (Nababan, 1991: 38). Bahasa sebagai
alat komunikasi memiliki fungsi yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.
Fungsi informasi,
Fungsi ini untuk
menyampaikan informasi timbal-balik antaranggota keluarga ataupun
anggota-anggota masyarakat. Berita, pengumuman, petunjuk pernyataan lisan
ataupun tulisan melalui media massa ataupun elektronik merupakan wujud fungsi
bahasa sebagai fungsi informasi.
b.
Fungsi ekspresi diri,
Fungsi ini untuk
menyalurkan perasaan, sikap, gagasan, emosi atau tekanan-tekanan perasaan
pembicara. Bahasa sebagai alat mengekspresikan diri ini dapat menjadi media
untuk menyatakan eksistensi (keberadaan) diri, membebaskan diri dari tekanan
emosi dan untuk menarik perhatian orang.
c.
Fungsi adaptasi dan integrasi,
Fungsi ini untuk
menyesuaikan dan membaurkan diri dengan anggota masyarakat. Melalui bahasa
seorang anggota masyarakat sedikit demi sedikit belajar adat istiadat,
kebudayaan, pola hidup, perilaku dan etika masyarakatnya. Mereka menyesuaikan
diri dengan semua ketentuan yang berlaku dalam masyarakat melalui bahasa. Kalau
seorang mudah beradaptasi dengan masyarakat di sekelilingnya maka dengan mudah
pula ia akan membaurkan diri (integrasi) dengan kehidupan masyarakat tersebut.
Dengan bahasa manusia
dapat saling bertukar pengalaman dan menjadi bagian dari pengalaman itu. Mereka
memanfaatkan pengalaman itu untuk kehidupannya. Dengan demikian mereka saling
terikat dengan kelompok sosial yang dimasukinya. Bahasa menjadi alat integrasi
(pembauran) bagi tiap manusia dengan masyarakatnya.
d.
Fungsi kontrol sosial,
Fungsi ini bahasa
berfungsi untuk mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain. Bila fungsi ini
berlaku dengan baik, maka semua kegiatan sosial akan berlangsung dengan baik
pula. Sebagai contoh pendapat seorang tokoh masyarakat akan didengar dan
ditanggapi dengan tepat bila ia dapat menggunakan bahasa yang komunikatif dan
persuasif. Kegagalannya dalam menggunakan bahasa akan menghambat pula usahanya
dalam mempengaruhi sikap dan pendapat orang lain. Dengan bahasa seseorang dapat
mengembangkan kepribadian dan nilai-nilai sosial kepada tingkat yang lebih
berkualitas.
Setiap bahasa memiliki
fungsi khusus. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional mempunyai fungsi khusus
yang sesuai dengan kepentingan bangsa Indonesia. Fungsi itu adalah sebagai:
a. Alat
untuk menjalankan administrasi negara.
Fungsi bahasa Indonesia sebagai alat
untuk menjalankan administrasi negara terlihat dalam surat-surat resmi, surat keputusan,
peraturan dan perundang-undangan, pidato dan pertemuan resmi.
b. Alat
pemersatu berbagai suku
Fungsi bahasa Indonesia sebagai alat
pemersatu berbagai suku yang memiliki latar belakang budaya dan bahasa yang
berbeda-beda.
c. Wadah
penampung kebudayaan.
Semua ilmu pengetahuan dan kebudayaan
harus diajarkan dan diperdalam dengan mempergunakan bahasa Indonesia sebagai
medianya.
Ragam bahasa dapat
diklasifikasikan berdasarkan bidang wacana. Dengan dasar ini ragam bahasa dapat
dibedakan atas; a) ragam ilmiah yaitu bahasa yang digunakan dalam kegiatan
ilmiah, ceramah, tulisan-tulisan ilmiah; b) ragam populer yaitu bahasa yang
digunakan dalam pergaulan sehari-hari dan dalam tulisan populer.
Ragam bahasa dapat
digolongkan menurut sarana dibagi atas ragam lisan dan ragam tulisan. Makna
ragam lisan diperjelas dengan intonasi yaitu, tekanan, nada, tempo suara dan
perhentian. Sedangkan penggunaan ragam tulisan dipengaruhi oleh bentuk, pola
kalimat, dan tanda baca. Ragam bahasa dari sudut pendidikan dapat dibagi atas bahasa
baku dan bahasa tidak baku. Ragam baku menggunakan kaidah bahasa yang lebih
lengkap dibandingkan dengan ragam tidak baku. Ciri ragam bahasa baku adalah a)
memiliki sifat kemantapan dinamis artinya konsisten dengan kaidah dan aturan
yang tetap, b) memiliki sifat kecendekiaan, 3) bahasa baku dapat mengungkapkan
penalaran atau pemikiran yang teratur, logis dan masuk akal.
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa bahasa berperan penting dalam segala aspek kehidupan. la
dapat membantu manusia dalam menjalankan tugasnya. Era globalisasi yang telah
datang pada awal 2003 membawa berbagai pembaharuan dalam dunia budaya dan
teknologi. Masalahnya adalah dapatkah bahasa Indonesia tetap diakui
keberadaannya di tanah airnya sendiri. Agar tetap eksis tentu saja banyak
tantangannya karena bahasa Asing dalam aspek tertentu lebih diterima oleh
masyarakat daripada bahasa Indonesia. Perkembangan bahasa yang kalah cepat
dengan perkembangan teknologi industri dan ilmu pengetahuan telah memunculkan
masalah baru. Masalah ini adalah Bagaimana Bahasa Indonesia dapat berperan
maksimal sebagai sarana komunikasi dalam era globalisasi.
Secara tradisional ada
tiga fungsi bahasa yang seharusnya terpisah tapi pada kenyataannya agak tumpang
tindih, ada banyak kemiripan pada fungsi bahasa ini tetapi ada juga beberapa
perbedaannya, dan perbedaan itu terletak pada macam informasi yang disampaikan
oleh tiap fungsi bahasa itu.
a)
Fungsi kognitif yaitu fungsi bahasa
sebagai alat untuk mengungkapkan gagasan, konsep, dan pemikiran. Fungsi ini
sejalan dengan fungsi bahasa secara umum sebagai alat komunikasi untuk
mengungkapkan ide atau gagasan.
b)
Fungsi Evaluatif yaitu fungsi bahasa untuk
menyalurkan atau mengantarkan sikap serta nilai-nilai dalam komunikasi.
c)
Fungsi Afektif yaitu fungsi yang
mengalihkan emosi serta perasaan dalam komunikasi.
d)
Penggunaan bahasa pada lingkungan ilmu
pengetahuan membagi fungsi-fungsi kebahasaan sesuai dengan kegunaannya, pada
ilmu Linguistik dan ilmu Filsafat cenderung memfokuskan diri pada fungsi
kognitif, ilmu Sosiologi dan Psikologi Sosial lebih cenderung pada fungsi
evaluatif sedang pada ilmu Psikologi dan Kritik Sastra cenderung memfokuskan
diri pada fungsi afektif dari bahasa tersebut.
B.
Kebudayaan
1. Konsep Kebudayaan
Kebudayaan menurut
Clifford Geertz sebagaimana disebutkan oleh Fedyani Syaifuddin dalam bukunya
Antropologi Kontemporer yaitu sistem simbol yang terdiri dari simbol-simbol dan
makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat diindentifikasi, dan bersifat
publik. Senada dengan pendapat di atas Claud Levi-Strauss memandang kebudayaan
sebagai sistem struktur dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki
bersama, yang dapat diindentifikasi, dan bersifat publik. Adapun Gooddenough
sebagaimana disebutkan Mudjia Rahardjo dalam bukunya Relung-relung Bahasa mengatakan
bahwa budaya suatu masyarakat adalah apa saja yang harus diketahui dan
dipercayai seseorang sehngga dia bisa bertindak sesuai dengan norma dan nilai
yang berlaku di dalam masyarakat, bahwa pengetahuan itu merupakan sesuatu yang
harus dicari dan perilaku harus dipelajari dari orang lain bukan karena
keturunan. Karena itu budaya merupakan cara yang harus dimiliki seseorang untuk
melaksanakan kegiatan sehari-hari dalam hidupnya.
Dalam konsep ini
kebudayaan dapat dimaknai sebagai fenomena material, sehingga pemaknaan
kebudayaan lebih banyak dicermati sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan
dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat. Karenanya tingkah
laku manusia sebagai anggota masyarakat akan terikat oleh kebudayaan yang terlihat
wujudnya dalam berbagai pranata yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi
tingkah laku manusia.
Adapun Menurut Canadian
Commision for UNESCO seperti yang dikutip oleh Nur Syam mengatakan kebudayaan
adalah sebuah sistem nilai yang dinamik dari elemen-elemen pembelajaran yang
berisi asumsi, kesepakatan, keyakinan dan atauran-atauran yang memperbolehkan
anggota kelompok untuk berhubungan dengan yang lain serta mengadakan komunikasi
dan membangun potensi kreatif mereka.
Definisi-definisi di atas
dan pendapat para ahli lainnya dapat dikelompokkan menjadi 6 golongan menurut
Abdul Chaer yaitu:
a.
Definisi deskriptif adalah definisi yang
menerangkan pada unsur-unsur kebudayaan.
b.
Definisi historis adalah definisi yang
menekankan bahwa kebudayaan itu diwarisi secara kemasyarakatan.
c.
Definisi normatif adalah definisi yang
menekankan hakekat kebuadayaan sebagai aturan hidup dan tingkah laku.
d.
Definisi psikologis merupakan definisi
yang menekankan pada kegunaan kebudayaan dalam menyesuaikan diri kepada
lingkungan, pemecahan persoalan dan belajar hidup.
e.
Definisi sturktural definisi yang
menekankan sifat kebudayaan sebagai suatu sistem yang berpola teratur.
f.
Definisi genetik yang menekankan pada
terjadinya kebudayaan sebagai hasil karya manusia.
Dengan demikian kebudayaan adalah segala
sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial, oleh para anggota
suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan bukanlah hanya akumulasi dari
kebiasaan dan tata kelakuan tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi.
Dan kebudayaan melingkupi semua aspek dan segi kehidupan manusia, baik itu
berupa produk material atau non material.
Dalam konteks masyarakat
Indonesia yang majemuk, yang terdiri dari berbagai budaya, menjadikan perbedaan
antar-kebudayaan, justru bermanfaat dalam mempertahankan dasar identitas diri
dan integrasi sosial masyarakat tersebut. Pluralisme masyarakat dalam tatanan
sosial agama, dan suku bangsa telah ada sejak jaman nenek moyang, kebhinekaan
budaya yang dapat hidup berdampingan secara damai merupakan kekayaan yang tak
ternilai dalam khasanah budaya nasional.
Tanpa melihat bagaimana
rumusan definisi-definisi yang dikumpulkan itu satu per satu sudah dapat
diketahui dari pengelompokan itu bahwa kebudayaan itu melingkupi semua aspek
dan segi kehidupan manusia. Kemudian, kalau kita lihat definisi golongan enam,
maka bisa dikatakan apa saja perbuatan manusia dengan segala hasil dan
akibatnya adalah termasuk dalam konsep kebudayaan. Ini berbeda dengan konsep
kebudayaan yang tercakup dan diurus oleh Direktorat Jendral Kebudayaan yang ada
di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, sebab ternyata yang diurus oleh
Direktorat ini hanyalah hal-hal yang berkaitan dengan kesenian. Direktorat itu
tidak mengurus pekerjaan dan hasil pekerjaan lain, seperti bidang ekonomi, teknologi,
hukum, pertanian, dan perumahan.
Pengelompokan definisi
kebudayaan yang dibuat Nababan (1984) pun menunjukkan bahwa kebudayaan itu
dilingkupi segala aspek dan unsur-unsur kebudayaan manusia. Nababan
mengelompokkan definisi kebudayaan atas empat golongan, yaitu:
a.
Definisi yang melihat budaya sebagai
pengatur dan pengikat masyarakat.
b.
Definisi yang melihat kebudayaan sebagai
hal-hal yang diperoleh manusia melalui belajar atau pendidikan.
c.
Definisi yang melihat kebudayaan sebagai
kebiasaan dan perilaku manusia.
d.
Definisi yang melihat kebudayaan sebagai
sistem komunikasi yang dipakai masyarakat untuk memperoleh kerja sama,
kesatuan, dan kelangsungan hidup masyarakat manusia
Definisi-definisi golongan dari
pengelompokan yang dibuat Nababan secara eksplisit menyatakan bahwa semua
sistem komunikasi yang digunakan manusia, tentu termasuk juga bahasa, adalah
termasuk dalam kebudayaan. Itulah sebabnya Nababan (1984: 49) menyatakan bahwa
kebudayaan adalah sistem aturan-aturan komunikasi dan interaksi yang memungkinkan
suatu masyarakat terjadi, terpelihara, dan dilestarikan. Dengan kata lain,
kebudayaan adalah segala hal yang menyangkut kehidupan manusia, termasuk aturan
atau hukum yang berlaku dalam masyarakat, hasil-hasil yang dibuat manusia,
kebiasaan dan tradisi yang biasa dilakukan dan sebagai alat interaksi atau
komunikasi yang digunakan, yakni bahasa dan alat-alat komunikasi non-verbal
lainnya.
Koentjaraningrat (1992)
mengatakan bahwa kebudayaan itu hanya dimiliki manusia dan tumbuh bersama
dengan berkembangnya masyarakat manusia. Untuk memahaminya Koentjaraningrat
(1992) menggunakan sesuatu yang disebutkan kerangka kebudayaan, yang memiliki
dua aspek tolak, yaitu (1) wujud kebudayaan dan (2) isi kebudayaan. Yang
disebut wujud kebudayaan itu berupa (a) wujud gagasan, (b) perilaku, dan (c)
fisik atau benda. Ketiga wujud itu secara berurutan disebutnya juga (a) sistem
budaya, yang bersifat abstrak; (b) sistem sosial, yang bersifat agak konkret;
dan (c) kebudayaan fisik, yang bersifat sangat konkret.
Isi kebudayaan itu
terdiri atas tujuh unsur yang bersifat universal. Artinya ketujuh unsur itu
terdapat dalam setiap masyarakat manusia yang ada di dunia ini. Ketujuh unsur
tersebut yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian hidup atau
ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, sistem religi dan kesenian.
Menurut Koentjaraningrat (1992), bahasa merupakan bagian dari kebudayaan, atau
dengan kata lain bahasa itu di bawah lingkup kebudayaan. Akan tetapi, kata
Koentjaraningrat pula, pada zaman purba ketika manusia hanya terdiri atas
kelompok-kelompok kecil yang tersebar di beberapa tempat saja. Bahasa merupakan
unsur utama yang mengandung semua unsur kebudayaan manusia lainnya. Kini,
setelah unsur-unsur lain dari kebudayaan manusia itu telah berkembang, bahasa hanya
merupakan salah satu unsur saja, tetapi memiliki fungsi yang sangat penting
bagi kehidupan manusia.
2.
Unsur Unsur Kebudayaan
Kebudayaan berasal dari
kata sansekerta buddayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi, yang berarti
budi atau akal. Dengan demikian, kebudayaan berarti hal-hal yang bersangkutan
dengan akal. Adapun ahli antropologi yang merumuskan definisi tentang
kebudayaan secara sistematis dan ilmiah adalah Taylor, yang menulis dalam
bukunya: Primitive Culture, bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks,
yang di dalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,
hukum, adat-istiadat, dan kemampuan lain, serta kebiasaan yang di dapat oleh
manusia sebagai anggota masyarakat (Ranjabar, 2006).
Goodenough (dalam Kalangie,
1994) mengemukakan, bahwa kebudayaan adalah suatu sistem kognitif, yaitu suatu
sistem yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, dan nilai yang berada dalam
pikiran anggota-anggota individual masyarakat. Dengan kata lain, kebudayaan
berada dalam tatanan kenyataan yang ideasional. Atau, kebudayaan merupakan
perlengkapan mental yang oleh anggotaanggota masyarakat dipergunakan dalam
proses orientasi, transaksi, pertemuan, perumusan, gagasan, penggolongan, dan
penafsiran perilaku sosial nyata dalam masyarakat mereka. Menurut C. Kluckhohn,
kebudayaan memiliki 7 unsur sebagai berikut.
a.
Sistem kepercayaan
Sistem religi meliputi kepercayaan,
nilai, pandangan hidup, komunikasi keagamaan dan upacara keagamaan. Definisi
kepercayaan mengacu kepada pendapat Fishbein dan Azjen (dalam Soekanto, 2007),
yang menyebutkan pengertian kepercayaan atau keyakinan dengan kata “belief”,
yang memiliki pengertian sebagai inti dari setiap perilaku manusia. Aspek
kepercayaan tersebut merupakan acuan bagi seseorang untuk menentukan persepsi
terhadap sesuatu objek. Kepercayaan membentuk pengalaman, baik pengalaman
pribadi maupun pengalaman sosial. Sistem kepercayaan (sistem religi) merupakan
hal-hal yang bersifat keagamaan dan kepercayaan. Dalam hal ini bisa dibilang
budaya yang mistis, seperti animisme, dinamisme, dan sebagainya. Biasanya
terdapat bacaan-bacaan dan juga ritual-ritual dalam pelaksanaan sistem
kepercayaan ini. Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan
kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu
berharga atau berguna bagi kehidupan manusia. Sifat-sifat nilai menurut Daroeso
(dalam Kalangie, 1994) adalah sebagai berikut.
a. Nilai
itu suatu realitas abstrak dan ada dalam kehidupan manusia. Nilai yang bersifat
abstrak tidak dapat diindra. Hal yang dapat diamati hanyalah objek yang
bernilai.
b. Nilai
memiliki sifat normatif, artinya nilai mengandung harapan, cita-cita, dan suatu
keharusan sehingga nilai nemiliki sifat ideal. Nilai diwujudkan dalam bentuk
norma sebagai landasan manusia dalam bertindak.
c. Nilai
berfungsi sebagai daya dorong dan manusia adalah pendukung nilai. Manusia
bertindak berdasar dan didorong oleh nilai yang diyakininya.
Dalam filsafat, nilai
dibedakan dalam tiga macam, yaitu: 1) nilai logika adalah nilai benar salah; 2)
nilai estetika adalah nilai indah tidak indah; dan 3) nilai etika/moral adalah
nilai baik buruk. Nilai moral adalah suatu bagian dari nilai, yaitu nilai yang
menangani kelakuan baik atau buruk dari manusia. Moral selalu berhubungan
dengan nilai, tetapi tidak semua nilai adalah nilai moral. Moral berhubungan
dengan kelakuan atau tindakan manusia. Nilai moral inilah yang lebih terkait
dengan tingkah laku kehidupan kita sehari-hari. Nilai religius yang merupakan
nilai kerohanian tertinggi dan mutlak serta bersumber pada kepercayaan atau
keyakinan manusia.
b.
Sistem pengetahuan
Pengetahuan
merupakan hal yang mendasar dalam unsur kebudayaan. Pengetahuan dianggap
penting karena dengan pengetahuan, seseorang dapat mengetahui kebudayaannya
sendiri maupun orang lain. Adanya pengetahuan dalam seorang individu dapat
memicu timbulnya ide-ide yang baru dan kreatif sehingga budaya tersebut dapat
dipertahankan. Spradlye (dalam Kalangie, 1994) menyebutkan, bahwa pengetahuan
budaya itu bukanlah sesuatu yang bisa kelihatan secara nyata, melainkan
tersembunyi dari pandangan, namun memainkan peranan yang sangat penting bagi
manusia dalam menentukan perilakunya. Pengetahuan budaya yang diformulasikan
dengan beragam ungkapan tradisional itu sekaligus juga merupakan gambaran dari
nilai-nilai budaya yang mereka hayati.
Nilai budaya
sebagaimana dikemukan oleh Koentjaraningrat (2002) adalah konsep-konsep yang
hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat, mengenai
hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Dan suatu sistem
nilai budaya, yang sifatnya abstrak, biasanya berfungsi sebagai pedoman
tertinggi bagi kelakuan manusia.
c.
Peralatan dan perlengkapan hidup manusia
Teknologi dan
peralatan kesehatan adalah sarana prasarana yang diperlukan untuk tindakan
pelayanan, meliputi: ketersedian, keterjangkauan dan kualitas alat.
Keterjangkauan meliputi: 1) keterjangkauan fisik, keterjangkauan fisik
dimaksudkan agar tempat pelayanan lebih mudah menjangkau dan dijangkau oleh
masyarakat sasaran; 2) keterjangkauan ekonomi, keterjangkauan ekonomi ini
dimaksudkan agar biaya pelayanan dapat dijangkau oleh klien. Biaya untuk
memperoleh pelayanan menjadi bagian penting bagi klien; 3) keterjangkauan
psikososial, keterjangkauan psikososial ini dimaksudkan untuk meningkatkan
penerimaan partisipasi masyarakat secara sosial dan budaya oleh masyarakat,
provider, pengambil kebijakan, tokoh agama, tokoh masyarakat; 4) keterjangkauan
pengetahuan, keterjangkauan pengetahuan ini dimaksudkan agar masyarakat
mengetahui tentang kebutuhannya. Dengan budaya yang berkembang, sehingga
timbulnya peralatan-peralatan baru yang bisa digunakan sebagai pelengkap dan
juga sebagai keindahan tersendiri.
d.
Mata pencaharian dan sistem-sistem
ekonomi.
Sistem mata
pencaharian hidup merupakan produk dari manusia sebagai homo economicus yang
mejadikan kehidupan manusia terus meningkat. Dalam tingkat sebagai food
gathering, kehidupan manusia sama dengan hewan. Tetapi dalam tingkat food
producing terjadi kemajuan yang pesat. Setelah bercocok tanam, kemudian
beternak yang terus meningkat (rising demand) yang kadang-kadang serakah.
Sistem mata pencaharian hidup atau sistem ekonomi meliputi jenis pekerjaan dan
penghasilan (Koentrajaningrat, 2002). Terlahir karena manusia memiliki hawa
nafsu dan keinginan yang tidak terbatas dan selalu ingin lebih sehingga budaya
dimanfaatkan untuk hal tersebut.
e.
Sistem kemasyarakatan
Sistem
kemasyarakatan merupakan sistem yang muncul karena kesadaran manusia bahwa
meskipun diciptakan sebagai makhluk yang paling sempurna namun tetap memiliki
kelemahan dan kelebihan masing-masing antar individu sehingga timbul rasa utuk
berorganisasi dan bersatu. Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial yang
meliputi: kekerabatan, organisasi politik, norma atau hukum, perkawinan,
kenegaraan, kesatuan hidup dan perkumpulan. Sistim organisasi adalah bagian
kebudayaan yang berisikan semua yang telah dipelajari yang memungkinkan bagi
manusia mengkoordinasikan perilakunya secara efektif dengan tindakan-tindakan-tindakan
orang lain (Syani, 1995). Kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting
dalam struktur sosial. Kekerabatan suatu masyarakat dapat dipergunakan untuk
menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Kekerabatan
adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki
hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota keluarga, sanak saudara,
tetangga, dan teman sering kali memiliki pengaruh yang bermakna dalam pemakaian
metode kontrasepsi oleh suatu pasangan. Pada sebuah studi di India dan Turki,
lebih dari separuh wanita yang diwawancarai mengatakan bahwa pemilihan
kontrasepsi mereka dibuat oleh atau dengan suami.
f.
Bahasa
Bahasa
adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi
atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat),
dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau
orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat
istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan
dirinya dengan segala bentuk masyarakat. Bahasa memiliki beberapa fungsi yang
dapat dibagi menjadi fungsi umum dan fungsi khusus.
Fungsi bahasa
secara umum adalah sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat
untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara
khusus adalah untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan
seni (sastra), mempelajari naskah-naskah kuno, dan untuk mengeksploitasi ilmu
pengetahuan dan teknologi (Koentrajaningrat, 2002). Sesuatu yang berawal dari
hanya sebuah kode, tulisan hingga berubah sebagai lisan untuk mempermudah
komunikasi antar sesama manusia. Bahkan sudah ada bahasa yang dijadikan bahasa
universal seperti bahasa Inggris.
g.
Kesenian
Setelah
memenuhi kebutuhan fisik manusia juga memerlukan sesuatu yang dapat memenuhi
kebutuhan psikis mereka sehingga lahirlah kesenian yang dapat memuaskan hati
setiap orang. Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal
dari ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun
telinga. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan
berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian
yang kompleks. Kesenian yang meliputi: seni patung/pahat, seni rupa, seni
gerak, lukis, gambar, rias, vocal, musik/seni suara, bangunan, kesusastraan,
dan drama (Koentrajaningrat, 2002).
Dengan demikian
diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi
tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam
pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan bersifat
abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang bersifat
nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial,
religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu umat
manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
.
C. Hubungan Bahasa dengan Kebudayaan
Menurut Koentjaraningrat
(1992) bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Hubungan antara bahasa dan
kebudayaan merupakan hubungan subordinatif, suatu bahasa berada di bawah
lingkup kebudayaan. Di samping itu, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa
bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang
sederajat, yang kedudukannya sama tinggi. Masinambouw (dalam Crista, 2012: 1)
malah menyebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan dua sistem yang melekat pada
manusia. Kebudayaan itu adalah satu sistem yang mengatur interaksi manusia di
dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai
sarana.
Masinambouw (dalam
Crista, 2012: 1) juga mempersoalkan bagaimana hubungan antara kebahasaan dan
kebudayaan, apakah bersifat subordinatif, ataukah bersifat koordinatif. Kalau
bersifat subordinatif mana yang menjadi main sistem (sistem atasan) dan mana
pula yang menjadi subsystem (sistem bawahan). Kebanyakan ahli memang mengatakan
bahwa kebudayaanlah yang menjadi main system, sedangkan bahasa hanya merupakan
subsistem.
Mengenai hubungan bahasa
dan kebudayaan yang bersifat koordinatif ada dua hal yaitu hubungan kebahasaan
dan kebudayaan itu seperti anak kembar siam, dua buah fenomena yang terikat
erat seperti hubungan sisi satu dengan sisi yang lain pada sekeping uang logam
(Silzer dalam Crista, 2012: 1). Jadi, pendapat ini mengatakan kebahasaan dan
kebudayaan merupakan dua fenomena yang berbeda, tetapi hubungannya sangat erat
sehingga tidak dapat dipisahkan, sejalan dengan konsep Masinambouw. Hal kedua
yang menarik dalam hubungan koordinatif ini adalah adanya hipotesis yang sangat
controversial, yaitu hipotesis dari dua pakar linguistik ternama, yakni Edward
Sapir dan Benjamin Lee Whorf. Hipotesis ini dikenal dengan nama hipotesis Sapir
dan Whorf.
Meskipun gagasan-gagasan
yang dikemukakan kedua sarjana itu, Sapir dan Whorf, adalah hasil penelitian
yang lama dan mendalam, serta dikemukakan dalam karangan yang bobot ilmiahnya
sangat tinggi, tetapi nyatanya gagasan mereka disebutkan dalam hipotesisnya
sangat kontroversial dengan pendapat sebagaian besar sarjana. Dalam hipotesis
itu, dikemukakan bahwa bahasa bukan hanya menentukan corak budaya, tetapi juga
menentukan cara dan jalan pikir manusia. Suatu bangsa yang berbeda bahasanya
dari bangsa yang lain, akan memilki corak budaya dan jalan pikiran yang berbeda
pula.
Perbedaan-perbedaan
budaya dan jalan pikiran manusia tersebut bersumber dari perbedaan bahasa.
Bahasa itu memengaruhi kebudayaan dan jalan pikiran manusia, maka ciri-ciri
yang ada dalam suatu bahasa akan tercermin pada sikap dan budaya penuturnya.
Contoh, katanya dalam bahasa Barat ada sistem kala yaitu penutur bahasa
memerhatikan dan terikat waktu, misalnya pada musim panas pukul 21.00 matahari
masih bersinar dengan terang, tetapi kanak-kanak karena sudah menjadi kebiasaan
disuruhnya tidur karena katanya hari sudah malam. Sebaliknya, bagi orang
Indonesia karena dalam bahasanya tidak ada sistem kala, menjadi tidak
memperhatikan waktu, seperti acara yang sudah terjadwalkan waktunya bisa mundur
satu jam. Itulah sababnya uangkapan jam karet hanya ada di Indonesia.
Hipotesis Sapir-Whorf
yang menyatakan perbedaan berpikir disebabkan oleh adanya perbedaan bahasa ini,
akan menyebabkan orang arab, akan terlihat kenyataan secara berbeda dengan
orang Jepang, sebab bahasa Arab tidak sama dengan bahasa Jepang. Kalau
hipotesis Sapir-Whorf ini diterima, maka implikasinya dalam ilmu pengetahuan
amat sangat jauh, sebab bagi ilmu pengetahuan manusia mempunyai satu jalan
pikiran. Dikemukakan oleh Masinsmbouw bahwa bahasa itu hanyalah alat untuk
menyatakan atau menyampaikan pikiran dan bahasa itu bersifat unik. Dengan kata
lain, bahasa tidak memengaruhi jalan pikiran, apalagi menentukan seperti yang
dinyatakan oleh hipotesis Sapir-Whorf.
Sapir dan Whorf, dua
sarjana linguistik yang begitu berbobot, sampai bisa membuat pernyataan yang
begitu kontrovesional dengan mengatakan bahwa bahasa sangat berperan dalam
menentukan jalan pikiran manusia, bahkan bersifat mutlak. Kajian antropologi
yang dijadikan landasan, telah menunjukkan kepada kedua sarjana itu, bahwa
pembentukan konsep-konsep tidaklah sama pada semua kultur. Para ahli yang
menolak pendapat bahwa kita mempunyai konsep lebih dahulu kemudian baru
mencarikan nama untuk konsep itu, tentunya bisa menerima pikiran Safir dan Whorf.
Akan tetapi, penganut aliran mentalistik tidak dapat menerima sama sekali
hipotesis tersebut.
Orang yang mengikuti
hipotesis Sapir-Whorf tidak banyak. Pertama, karena sejak semula orang
meragukan bahwa manusia mempunyai perbedaan yang sejauh itu. Kedua, diketahui
kemudian bahwa Whorf telah melakukan beberapa kesalahan teknis dalam kajian.
Silzer (1990) menyatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua buah
fenomena yang terikat, bagai dua anak kembar siam, atau sekeping mata uang yang
pada satu sisi berupa sistem bahasa dan pada sistem yang lain berupa sistem
budaya, maka apa yang tampak dalam budaya akan tercermin dalam bahasa, atau
juga sebaliknya. Misalnya bangsa Inggris dan bangsa Eropa lainnya, yang tidak
mengenal kebiasaan makan nasi, maka dalam bahasanya hanya ada satu kata yaitu
rice, untuk menyatakan konsep padi, gabah, beras, dan nasi. Begitu juga tidak
ada kosakata untuk konsep lauk, teman pemakan nasi. Sebaliknya, dalam budaya
Indonesia ada karena ada budaya makan nasi, maka bahasa Indonesia mempunyai
kata yang berbeda untuk keempat konsep itu.
Menurut Koentjaraningrat
(1990) buruknya kemampuan berbahasa Indonesia sebagian besar orang Indonesia,
termasuk kaum intelektualnya, adalah karena adanya sifat-sifat negatif yang
melekat pada mental pada sebagian besar orang Indonesia. Sifat-sifat negatif
itu adalah suka meremehkan mutu, mental menerabas, tuna harga diri, menjauhi
disiplin, enggan bertanggung jawab, dan suka latah atau ikut-ikutan.
Menurut Koentjaraningrat,
sikap mental menerabas tercermin dalam perilaku berbahasa berupa adanya
keinginan untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik, tetapi tanpa
keinginan untuk belajar. Mereka menganggap bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa
kita yang secara alami, yang dapat dikuasai tanpa harus dipelajari. Memang
benar secara politis kita adalah orang Indonesia, karena lahir dan dibesarkan
di Indonesia, dan bahasa Indonesia adalah milik kita. Akan tetapi, apakah benar
itu dapat dikuasai dengan baik tanpa melalui proses belajar. Lebih-lebih kalau
diingat bahwa bagi sebagian besar orang Indonesia, bahasa Indonesia adalah
bahasa kedua, bukan bahasa pertama. Untuk menguasai bahasa pertama saja kita
harus belajar dari lingkungan kita: apabila untuk menguasai bahasa kedua yang
harus dipelajari dari orang lain.
Hubungan bahasa dengan
kebudayaan yang telah dipaparkan oleh Koentjaraningrat (1990) di atas, ternyata
yang memengaruhi perilaku berbahasa adalah budaya. Budaya di sini dalam arti
luas, termasuk sifat dan sikap yang dimiliki oleh penutur. Untuk lebih memahami
adanya hubungan budaya dan tindak tutur, serta melihat budaya-budaya yang tidak
sama, sehingga melahirkan pola tindak tutur yang berbeda, camkan ilustrasi
berikut.
Dalam masyarakat tutur
Indonesia kalau ada orang memuji, misalnya dengan mengatakan Bajumu bagus
sekali!, atau Wah rumah saudara besar sekali, maka yang dipuji akan menjawab
pujian itu dengan nada menolak merendah, misalnya dengan mengatakan Ah, ini
cuma baju murah kok dan Yah, beginilah namanya juga rumah di kampung!. Akan
tetapi kalau itu terjadi dalam budaya Inggris, tentu akan dijawab dengan kata
Terima kasih!. Contoh lain, dalam budaya Indonesia hanya laki-laki yang dapat
mengawini atau menikahi wanita, sedangkan wanita tidak dapat mengawini atau
menikahi laki-laki, sebab kalimat dalam budaya Inggris, baik laki-laki maupun
wanita dapat menikahi lawan jenisnya. Dalam budaya Indonesia,
informasi-informasi (dalam bentuk tindak tutur) lebih sering disampaikan secara
tidak langsung dengan menggunakan bahasa kias atau bahasa isyarat, tetapi dalam
budaya Inggris lebih umum disampaikan secara langsung dengan alat komunikasi
verbal.
C. Perencanaan Bahasa
Perencanaan bahasa
merupakan kegiatan yaang harus dilakukaan sesudah melakukaan kebijaksanaan
bahasa. Istilah perencanaaan bahasa pertama kali digunaakan oleh Haugen (Chaer,
2010:183). Pengertiannya yaitu usaha untuk membimbing perkembangan bahasa ke
arah yang diinginkan oleh para perencana. Sebagai contoh usaha perencanaan itu
meliputi pembuatan tata ejaan yang normatif, penyusunan tata bahasa dan kamus
yang akan dapat dijadikan pedoman bagi para penutur dalam masyarakat yang
heterogen.
Di Indonesia, kegiatan
perencanaan bahasa sebenarnya sudah berlangsung, yakni sejak jaman Jepang
ketika ada Komisi Bahasa Indonesia sampai ketika Alisjahbana menerbitkan
majalah Pembina Bahasa Indonesia tahun 1948. Bahkan sudah dimulai sejak Van
Ophuisjen menyusun ejaan bahasa Melayu pada tahun 1901. Disusul dengan
berdirinya Commisie voor de Volkslectuur tahun 1908 yang pada 1917 berubah
menjadi Balai Pustaka. Dengan mempertimbangkan historis tersebut, satu
pengertian yang dapat disimpulkan dari perencanaan bahasa adalah usaha untuk
membuat penggunaan bahasa atau bahasa-bahasa dalam satu negara di masa depan
dengan lebih baik dan lebih terarah.
Siapakah yang melakukan
perencanaan bahasa? Sesudah proklamasi, pemerintah membentuk Panitia Pekerja
Bahasa Indonesia dengan tugas mengembangkan peristilahan, menyusun tata bahasa
sekolah, dan menyiapkan kamus baru untuk keperluan pengajaran bahasa Indonesia
di sekolah. Tahun 1948 dibentuklah Balai Bahasa yang memiliki tugas
memperhatikan, meneliti dan mempelajari bahasa Indonesia dan semua bahasa
Nusantara, lisan maupun tulisan, masa lalu maupun masa kini. Selain itu juga
harus memberikan pertimbangan dan petunjuk pada masyarakat mengenai hal-hal
yang berkenaan dengan bahasa Indonesia dan bahasa Nusantara. Hingga kini
lembaga ini yang diberi tugas sebagai dan wewenang dalam perencanaan,
pembinaan, dan pengembangan bahasa di Indonesia.
Apa sasaran perencanaan bahasa? Sasaran dari
perencanaan bahasa yaitu
(1)
pembinaan dan pengembangan bahasa yang
direncanakan, misalnya pengembangan peristilahan, penyusunan sistem ejaan baku,
serta penyusunan kamus.
(2)
khalayak masyarakat, misalnya mengarahkan
pemakaian bahasa kepada kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat.
Hambatan dalam perencanaan bahasa,
meliputi:
(1) Hambatan
dari pemegang kekuasaan atau orang yang berpengaruh, misalnya orang yang
berpengaruh tidak menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
(2) Hambatan
dari penutur, misalnya lebih suka berbahasa asing yang dianggap lebih keren.
(3) Hambatan
dana dan tenaga, misalnya rendahnya mutu penguasaan bahasa Indonesia di
kalangan pelajar.
BAB
3
PENUTUP
Bahasa adalah sebuah
sistem, artinya, bahasa itu dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara
tetap dan dapat dikaidahkan. Sebagai sebuah sistem, bahasa bersifat sistematis
dan juga bersifat sistemis. Sistematis artinya bahasa itu tersusun menurut
suatu pola tertentu. Sistemis artinya bahasa tersebut bukan merupakan sebuah
sistem tunggal, melainkan terdiri dari sejumlah subsistem.
Sistem bahasa yang
dimaksud di atas adalah berupa lambang-lambang dalam bentuk bunyi yang lazim
disebut bunyi ujar atau bunyi bahasa. Setiap lambang bahasa mengandung sesuatu
yang disebut makna atau konsep. Bahasa sebagai sebuah lambang bunyi yang
bersifat mana suka (arbitrer), konvensional, produktif serta dinamis mempunyai
banyak fungsi, antara lain menurut Dell Hymes (1964) ada lima fungsi bahasa,
yaitu (1) menyesuaikan diri dengan norma-norma sosial, (2) menyampaikan
pengalaman tentang keindahan, kebaikan, keluhuran budi, (3) mengatur kontak
sosial, (4) mengatur perilaku, dan (5) mengungkapkan perasaan.
Keanekaragaman bahasa
tidak dapat dipisahkan dari keanekaragaman budaya. Ditinjau dari segi budaya,
bahasa termasuk aspek budaya, kekayaan bahasa merupakan sesuatu yang
menguntungkan. Berbagai bahasa itu akan merefleksikan kekayaan budaya yang ada
pada masyarakat pemakainya (multikultural). Hubungan antara bahasa dan
kebudayaan itu bersifat koordinaif atau subordinatif yang keduanya mempunyai
hubungan yang sangat erat dan saling memengaruhi. Hubungan yang koordinatif,
yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi. Hubungan
subordinatif berarti suatu bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan.
Di samping itu, ada
pendapat lain yang menyatakan bahwa bahasa dan kebudayaan dua sistem yang
melekat pada manusia. Kebudayaan itu adalah satu sistem yang mengatur interaksi
manusia di dalam masyarakat, sehingga kebahasaan adalah suatu sistem yang
berfungsi sebagai saran. Sistem bahasa mempunyai fungsi sebagai sarana
berlangsungnya interaksi manusia didalam masyarakat, artinya tindak laku
berbahasa haruslah disertai norma-norma yang berlaku di dalam budaya itu.
Sistem tindak laku berbahasa menurut norma-norma budaya disebut sebagai etika
berbahasa atau tata cara berbahasa. Etika berbahasa erat berkaitan dengan
pemilihan kode bahasa, norma-norma sosial, dan sitem budaya yang berlaku dalam
satu masyarakat.
Salah satu pertanyaan
yang barangkali sukar untuk dijawab adalah, sesungguhnya yang lebih dahulu
muncul itu apakah bahasa lebih dahulu muncul kemudian disusul dengan adanya
kebudayaan atau sebaliknya, budaya lebih dahulu muncul kemudian disusul
kemunculan bahasa. Teori-teori yang dikemukakan para ahli tidaklah secara
eksplisit menjelaskan hal tersebut. Meskipun demikian, tampaknya mereka sepakat
bahwa bahasa muncul karena adanya kebudayaan. Lihat saja Teori Tekanan Sosial
dari Adam Smith yang menyatakan bahwa bahasa muncul ketika manusia primitif
dihadapkan dengan kebutuhan-kebutuhan untuk saling memahami antara satu manusia
dengan manusia yang lainnya. Begitu pula Teori Interjeksi yang dikemukakan
Ettienne Bonnet Condilac. Ia menyatakan bahwa bahasa dilahirkan dari
ujaran-ujaran instingtif (bersifat naluriah) karena adanya tekanan batin,
perasaan yang sangat mendalam yang dialami manusia tersebut.
.
DAFTAR
PUSTAKA
Argyle, M (ed). 1973. Social Encounters. Penguin Book
Ltd: Harmondsworth.
Bell. Roger T. 1990. Sosiolinguistics: Goal, Approach
and Problem. London: BT. Batsford Ltd.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995.
Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Chaer,
Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik:
Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik, Kajian Teoretik.
Jakarta: Rineka Cipta
Chomsky, Noam. 1957. Syntactic Structures. The Hague:
Mouton
Crista, Janny. 2012. Bahasa dan Kebudayaan
Sosiolinguistik. http: //kedaiilmujani.blogspot.com.
Halliday, M.A.K. 1973. Explorations in the Functions
of Language. London: Edward Arnold.
Halliday, Michael A.K. 1970. Fuctional Divesity in
Language as Seen from a Consideration of Modality and Mood in English.
Foundation of Language 6.
Hymes, Dell (ed.). 1964. Language in Culture And
Society. New york: Haper and Row
Ibrahim, A. Syukur.1995. Sosiolinguistik: Sajian,
Tujuan, Pendekatan, dan Problem (terjemahan dari buku Roger T. Bell). Surabaya:
Usaha Nasional.
Jacobson, R.190. Closing Statement Linguistics and
Politics. In Sebeok (Ed).
Koentjananingrat. 1992. Bunga Rampai: Kebudayaan,
Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Kridalaksana, Harimurti.1982. Introduction to Word
Formation and Word Classes. Jakarta. Universitas Indonesia.
Lyons, John, Cd. 1970. New Horizons in Linguistuics.
Harmonsworth: Penguin.
Nababan, P.W.J.1991. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Nababan. P.W.J. 1984. Sosiolingustik. Jakarta:
Gramedia.
Thomas, Linda dan Shan Wareing. 2007. Bahasa,
masyarakat dan Kekuasaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Tidak ada komentar: