POLEMIK KOMENTATOR JEBRET
oleh
ZAKI FAHRIZAL
Pertandingan piala presiden
antara Borneo FC vs Persija, Rabu 24 Januari 2018 yang berlangsung di Stadion
Kapten I Wayan Dipta dan disiarkan langsung oleh stasiun televisi swasta cukup
mengundang perhatian saya. Bukan soal kemenangan persija, melainkan bahasa
komentator yang membuat saya begitu khidmat menyaksikan. Sebenarnya, “Saya ini
sedang menyeksikan pertandingan sepak bola atau menyimak ujaran kometator
bola?”, pikir dalam hati.
Piala Presiden merupakan
turnamen sepak bola indonesia. Turnamen ini baru diadakan tiga kali yakni tahun
2015, 2017, dan 2018. Turnamen ini awalnya merupakan turnamen pengganti Liga Super
Indonesia setelah PSSI dibekukan oleh FIFA. Sekaitan dengan kekosongan turnamen
membuat beberapa pihak menggagas Piala Presiden pada Agustus tahun 2015. Tahun
2018, PSSI mengadakan kembali turnamen Piala Presiden sebagai ajang pemanasan
sebelum memasuki gelaran Liga 1 2018.
Piala presiden yang sedang
digelar saat ini dalam setiap pertandingannya dipandu oleh dua komentator utama
yakni: Valentino Simanjuntak dan Rendra Soedjono. Tetapi yang paling menyita
perhatian tentu Valentino Simanjuntak. Valentino Simanjuntak adalah seorang
presenter olahraga, pengacara, dan pengajar komunikasi. Pada gelaran Piala AFF
usia di bawah 19 tahun menjadi momentum dan ketenaran Valentino. Valentino
kerap mengatakan jebret. Kata jebret kian akrab di telinga masyarakat
penikmat sepak bola. Valentino semakin hari semakin menjadi, membuat kosakata
baru dengan metafor-metafor, dan menggunakannya di setiap ia memandu
pertandingan. Ia tidak henti-hentinya
menciptakan istilah-istilah baru untuk merujuk makna baru.
Bahasa merupakan sistem
lambang bunyi yang sifatnya arbitrer (manasuka), yang digunakan oleh
anggota suatu masyarakat
untuk bekerjasama dan
berinteraksi. Kata dan bahasa yang dipilih komentator bola memang melibatkan
emosi penonton. Makna kias dan majas turut melengkapi pemaknaan kometar
Valentino. Metafora adalah cara untuk mengutarakan pesan secara terselubung
dengan membandingkan topik abstrak dengan hal yang konkret. Seperti komentar
Valentino yang menyebut umpan jarak jauh dengan sebutan umpan antar benua.
Seiring waktu, aksi jebret valentino mengundang reaksi
positif dan negatif. Bagi sebagain pemirsa mungkin lontaran kata-kata valentino
menambah dramatisasi pertandingan. Selain menambah dramatisasi pertandingan,
lontaran kata-kata Valentino juga dapat membuat penonton tertawa
teripingkal-pingkal. Begitu juga respon saya terhadap Valentino. Selama
menyaksikan pertandingan antara Borneo fc vs Persija saya merasa ada sesuatu
yang merusak keindahan pertandingan sepak bola. Seandainya saja saya menyaksikan
pertandingan secara langsung di lapangan pasti saya tidak akan terganggu dengan
lontaran kata-kata Valentino yang memekikan telinga. Selain memekikan telinga,
lontaran kata-kata Valentino juga membuat para orangtua di rumah mesti berhati-hati.
Orangtua di rumah harus mendampingi anaknya jika ingin menonton pertandingan
sepak bola. Bagaimana tidak, lontaran kata Valentino sering menggunakan istilah
orang dewasa. Seperti: umpan membelai
(umpan indah untuk rekan), tendangan LDR
(tembakan jarak jauh), rumah tangga (pertahanan),
umpan tega (operan terlalu kencang),
dan lain sebagainya. Anak-anak menerima, memproses, menyimpan kata-kata,
kalimat, ucapan yang ia dengar dari orang lain yang terdapat di lingkungannya.
Kemudian pada saat anak berbicara, maka bahasa yang telah ia simpan tersebutlah
yang akan menjadi bahasanya.
Kemudian, komentator bola
merupakan bagian dari media penyampaian informasi di ruang terbuka. Seperti
halnya wartawan, komentator bola seharusnya menggunakan bahasa yang sesuai
dengan kaidah kebahasaan. Bukankah Pemerintah Indonesia sedang menggalakan
penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik (terbuka)? Jika komentator bola
menggunakan bahasa kias (metafor) yang kurang tepat apalagi sampai membuat
kamus baru, tentu ini bertentangan dengan program pemerintah tersebut. Peran
media menjadi penting dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Kata-kata memang mampu
melahirkan beragam makna. Kata-kata juga dapat mengubah nilai rasa dari
pertandngan sepak bola. Pertandingan bola yang menegangkan berubah menjadi
kendur dengan lontaran kata-kata Valentino. Tetapi juga harus memerhatikan
aspek-aspek lain. Dengan demikian, bahasa komentator sepak bola tidak
memberikan kontribusi negatif terhadap perkembangan bahasa Indoneisa.
Maju
terus persepakbolaan Indonesia. Indonesia Bisa! (*)
*Dimuat dalam Harian Kabar Banten, Rabu 31 Januari 2018
Tidak ada komentar: