Ads Top

MASYARAKAT DAN BUDAYA LATAH



MASYARAKAT DAN BUDAYA LATAH
oleh
ZAKI FAHRIZAL


Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan berbagai latar belakang budaya dan pendidikan. Baru-baru ini, muncul trend postingan kutipan dialog rindu Dilan pada Milea yang berbunyi “Jangan  rindu, Berat. Kamu nggak akan kuat, biar aku saja”. Kutipan dialog tersebut sekilas biasa, namun begitu mengena bagi sebagian masyarakat indonesia terkhusus bagi remaja. Bukan hanya film Dilan yang laku ditonton bahkan kutipan dialog tersebut menjadi viral di media sosial.
Kecepatan dan sifat media sosial yang mudah untuk dibagikan, berperan dalam penyebaran kutipan dialog tersebut. Beberapa di antaranya bahkan membuat plesetan gombalan Dilan untuk Milea, seperti: “Bilangin sama Dilan, yang berat itu bayar uang semester, bukan rindu”, “Bilangin sama Dilan, yang berat itu pacaran, bukan rindu. Kau takkan kuat. Nikah saja!”, “Andai Dilan jadi dosenku, Jangan ngerjain skripsi, skripsi itu berat, kamu gak akan kuat, biar aku saja”, “Bilang sama Dilan, yang berat itu bukan rindu tapi berat badan aku”, dan lain sebagainya.
Melihat dari fenomena kutipan dialog Dilan tersebut, betapa cepatnya akses informasi yang didapat masyarakat Indonesia. Tanpa membutuhkan waktu lama pasca film rilis, gaung tren plesetan dari dialog Dilan banyak bermunculan di linimasa media sosial. sebenarnya, fenomena serupa juga pernah terjadi pada beberapa trend postingan yang booming dan viral di media sosial, sperti “Om Telolet Om”. Sejumlah anak muda berdiri di tepi jalan meminta sejumlah bus membunyikan kelaksonnya. Permintaan mereka sampaikan secara tertulis atau diteriakan dengan kalimat “Om Telolet Om”. Video “Om Telolet Om” menjadi viral di media sosial, bahkan sampai dibuat lagu dangdut dan diikuti oleh masyarakat lain di segala lapisan. Trend yang menarik, bukan? Apakah saya harus bangga dan senang melihat fenomena trend kekinian tersebut? Ataulah saya harus merasa khawatir melihat fenomena trend kekinian tersebut?
Fenomena semacam itu bagi sebagian masyarakat mungkin hal yang menarik dan menjadi hiburan dalam mengarungi kehidupan yang semakin resah ini. Fenomena saling meniru ini menjadi upaya seseorang atau kelompok untuk mengekspresikan dirinya dalam mengikuti wacana yang sedang berkembang. Selain itu, trend tiru-meniru atau saya menyebutnya dengan budaya latah merupakan salah satu pembuktian seseorang agar dirinya disebut ‘kekinian’, dianggap ‘Gaul’ dan sebagainya.
Tidak hanya di situ, banyak sekali fenomena tiru-meniru atau saya biasa menyebutnya dengan latah budaya di negara kita, seperti: masyarakat Indonesia yang meniru cara berpakaian masyarakat Eropa (Barat), meniru cara berpakaian masyarakat Korea Selatan, meniru gaya hidup masyarakat Eropa (Barat), dan meniru gaya hidup masyarakat negara tetangga lainnya. Dari cara meniru budaya-budaya negara asing tersebut maka akan membawa dampak negatif bagi masyarakat Indonesia umumnya dan bagi remaja Indonesia khusunya. Latah-latah budaya yang tanpa batas akan dicontoh anak-anak bahkan menjadi kebiasaan mereka sehari-hari.
Kebiasaan yang masih dianggap sebagai masalah sepele dan tidak memiliki dampak yang serius sepertinya. Masyarakat yang penting senang.  Jika seperti ini, bagaimana negara kita menjadi negara yang maju? Datang trend baru yang sedang viral, seseorang atau kelompok kemudian mengikuti trend baru tersebut. Budaya seperti ini bukan budaya masyarakat Indonesia. Budaya masyrakat Indonesia merupakan budaya yang lebih luhur dibanding cuma mengikuti trend-trend. Harusnya kita malu, mengapa malu? Karena kita meniru dan mengikuti budaya yang sedang menge-trend. Negara Indonesia memiliki budaya yang tidak kalah unik.
Seharusnya berpikir bagaimana caranya agar budaya Indonesia yang ditiru dan dicontoh oleh negara lain sehingga negara lain terus-terusan berkunjung ke Indonesia. Masyarakat Indonesia yang memiliki budaya ketimuran yang kental, jangan mau dijajah dan diperbudak oleh budaya negara lain. Mentang-mentang negara kita negara berkembang, mau-maunya negara kita dijajah oleh budaya negara lain.
Fenomena-fenomena baru datang silih berganti, fenomena baru menjadi fenomena lama kemudian ditinggal pergi dan tidak menge-trend lagi pada akhirnya mati. Kita yang pernah meniru kemudian malu sendiri karena pernah mengikuti. Dengan demikian, marilah kita sebagai generasi penerus bangsa harus berani tampil berbeda. Jangan malu dan jangan ragu untuk mengatakan tidak pada latah budaya. Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang kapan lagi? Ayo berubah Indonesiaku! (*)


*Dimuat dalam Harian Banten Pos, Selasa 6 Februari 2018

Tidak ada komentar:

zakifahrizal. Diberdayakan oleh Blogger.