SEJARAH FILSAFAT INDIA
SEJARAH
FILSAFAT INDIA
1. PENDAHULUAN
India terkenal dengan
filsafat spiritual yang sangat kaya dalam menunjukkan petunjuk ideal tentang
hidup. Filsafat India tidak hanya menyajikan intelektualitas tapi juga
menyentuh jantung eksistensi yang mengarah pada perbaikan diri. Umumnya orang
hanya mengenal India sebagai asal dari agama Hindu dan Buddha. Penyebutan Hindu
itu sendiri terlalu luas. Kenyataannya Hindu itu sendiri memuat beberapa sistem
filsafat. Secara populer, orang mengenal ajaran Hindu dalam epos Mahabharata
dan Ramayana yang mendunia. Penyebutan Hindu itu sendiri ada ketika orang Islam
menyebut orang yang beragama berbeda di lembah Indus. Hindu mengacu pada agama
orang-orang yang tinggal di sekitar lembah Indus. Sementara agama Buddha akhirnya
lenyap di India namun menyebar melampaui batas benua asalnya. Sejarah filsafat
India menunjukkan evolusi pemikiran dan spiritual yang mungkin menjadi
pemikiran yang sama dengan yang sedang kita alami. India adalah laboratorium
yang menampung banyak pelajaran karena telah menghasilkan banyak sistem
filsafat. Ada keunikan mendasar dalam sejarah filsafat India. Dunia Barat pada
akhirnya mengakui kecanggihan sistem pemikiran India. Sementara sekarang ini
banyak orang Timur justru tidak tahu menahu identitas dirinya. Cenderung
mengikuti gaya hidup Barat, suatu sikap dan gaya hidup yang sudah banyak
ditinggalkan oleh orang Barat itu sendiri.
1.
PRA-VEDA
Memahami sejarah filsafat
India, kita mesti tahu latar belakang sebelum masuknya bangsa Arya yang
nantinya membawa Veda dan menetapkan sistem kasta. Veda disebut sebagai
literatur India kuno paling awal. Max Muller menyebutkan Veda ada tahun 1200
SM. Hang tahun 2400 SM, dan Balgangadhara Tilak menyebutkannya lebih lama lagi
yaitu sekitar 4000 SM.
Sebelum masuknya bangsa
Arya, lembah Indus sudah memiliki peradabannya sendiri, kebudayaan Dravida,
dengan peninggalan Mahenjo Daro yang berawal sekitar 4000 SM. Dari reruntuhan
situs menunjukkan bahwa bangsa Dravida yang dicirikan bertubuh pendek, berkulit
gelap dan berhidung pesek, memiliki bentuk religi yang menghormati kultus
lingga dan praktik bertapa yang lebih mengarahkan diri kedalam. Ada juga
peninggalan bangsa Dravida dalam memuja dewi ibu. Bangsa Arya merupakan satu
rumpun dengan bangsa Mesir dan Indo Jerman, yang bercirikan bertubuh tinggi,
hidung mancung, mata lebar dan kulit putih. Bangsa Arya gemar berperang dan
lebih progresif dalam menaklukkan lawan-lawannya. Semangat seperti ini juga
nampak dalam himne-himne Veda. Agama yang ditampilkan bangsa Arya lebih berorientasi
ke luar seperti memuj dewa-dewa yang mewakili kekuatan alam. Masa berkuasanya
bangsa Arya juga membuat adanya pergeseran cara hidup nomaden menjadi bertani.
Dari situlah peradaban bangsa Arya dibangun.
Ketika bangsa Arya
menguasai bagian barat laut dan utara tengah, bangsa Dravida menjadi kasta
bawah. Namun kemuliaan bangsa Dravida tidak sepenuhnya lenyap di bagian timur
laut. Nantinya religi bangsa Dravida bangkit kembali dengan munculnya Jainisme.
Ada dugaan kuat bahwa tantra yang berkembang belakangan adalah bentuk religi
awal bangsa pribumi ini karena simbol lingga juga menjadi bagian dari simbol
tantra.
Seperti yang sudah saya
sebutkan, bentuk awal agama bangsa Arya lebih berorientasi keluar lalu mulai
mengalami pembalikan ke dalam dengan mengadopsi agama bangsa Dravida. Pada masa
munculnya Brhadaranyaka Upanisad –salah satu bagian dari Veda—sekitar 2000-900
SM, nampak adanya pergeseran penekanan pada orientasi ke dalam. Penemuan religi
ini adalah kalimat sayasca ayam puruse yasca ditye sa ekah (dia yang ada dalam
manusia dan dia yang ada di matahari adalah satu, dan Satyam Brahman (the true
brahman) adalah aham (cahaya) di dalam matahari dan aham (saya) di dalam
manusia. Konsep Ketuhanan Veda adalah Brahman, yang sering disimbolkan seperti
cahaya, sebagai sumber utama.
Kebudayaan pra-Arya
(Dravida) bukan hanya tradisi kontemplatif seperti meditasi. Ada juga pemujaan
populer pada dewa-dewa tertentu. Bangsa Arya tidak menghancurkan semuanya tapi
mengubah bentuk pemujaan pra-Arya dan juga dewa-dewa Arya sebagai simbol
tahapan proses spiritual. Bangsa Arya memuja kekuatan alam, itu nampak dari
dewa-dewa yang menunjukkan kekuatan alam yang mengontrol hidup manusia. Namun
kesibukan filosofis bangsa Arya akhirnya mengarah pada pemahaman bahwa keselamatan
bukan dari luar tapi dari dalam diri manusia sendiri. Walaupun demikian, kultus
dewa tetap dilakukan namun terarah pada jalan pengenalan diri, yang berpuncak
pada realisasi atmanatau nirvana, bukan berorientasi pada surga atau
tujuan-tujuan duniawi. Tujuan manusia bukan lagi pada kesenangan (kama),
kesuksesan (artha) saja, tapi juga pada kewajiban (dharma), dan juga kebebasan
atau keselamatan (moksha).
3. VEDA
Veda dikenal sebagai
literatur awal India kuno, paling tidak dalam bentuknya yang lebih tertata,
karena memang menjadi sumber rujukan bangsa Arya.
Dr. Radhakrishnan membagi
periode filsafat India dalam empat periode:
1. Periode Veda,
2. Periode Epik,
3. Periode Sutra, dan
4. Periode Sekolah (school).
Periode Veda terhitung
1500 -600 SM. Artinya, Veda tidak disusun dalam satu masa, tapi dalam kurun
waktu yang lama, hingga akhirnya menjadi empat bagian, yaitu: Rig Veda, Yajur
Veda, Sama Veda, dan Atharva Veda. Masing-masing bagian terbagi dalam empat
bagian, yaitu: samhitas (mantras), brahmana, aranyakas, dan upanisad.
Khrisna dan Arjuna dalam Maha Barata
Pada periode Epik,
filosof spiritual menyelamatkan kekayaan spiritual dalam bentuk Sutra. Sutra
adalah kalimat epikgramatis dalam bentuk syair. Periode ini terhitung 600 SM-
200 M. Pada periode ini Badarayana menulis Brahma-Sutra atau juga disebut
sebagai Vedanta-Sutra. Sutra inilah yang menjadi fondasi sekaligus perbedaan
interpretasi sistem filsafat di India.
Disebutkan ada enam
sistem filsafat India yang menjadikan Brahma-Sutra sebagai dasarnya:
1. Vaishesika,
2. Nyaya,
3. Samkhya,
4. Yoga,
5. Purva-mimamsa, sering disebut
karma-mimamsa atau mimamsa, dan
6. Uttar-mimamsa, sering disebut vedanta.
Enam sistem filsafat ini
disebut juga sad-dharshana, yang digolongkan sebagai sistem ortodoks (astika).
Pada periode Epik ini juga muncul sistem filsafat lain, yang digolongkan
sebagai sistem heterodoks (nastika). Disebut heterodoks, karena mereka menolak
otoritas Veda, seperti Carvakisme, Jainisme, dan Buddhisme.
Beriringan periode Sutra
Periode adalah periode Sekolah (school) yang terhitung 200–1700 M. Pada periode
ini, para filosof membuat komentar Sutra untuk memudahkan pemahaman siswa
bahkan tiap filosof membuat versi pemahamannya sendiri. Filosof yang terkenal
adalah Shamkaracharya, Ramanujacharya, dan Madhavacharya. Akhirnya Vedanta
memiliki tiga sekolah: Advaita Vedanta versi Shamkaracharya, Vishishtadvaida
Vedanta versi Ramanujacharya, dan Dvaita Vedanta versi Madhavacharya.
5. SISTEM ORTODOKS
5.1. NYAYA DAN VAISHESIKA
Nyaya didirikan oleh
Gautama Aksapada (150 M). Nyaya berisi ajaran tentang logika seperti aturan
debat dan beberapa subyek dasar seperti dunia materi, jiwa, Tuhan dan
kebebasan.
Vaishesika didirikan oleh
Kanada atau juga disebut Uluka yang hidup antara 200 M-400 M. Vaishesika memuat teori unsur / atom dengan menggunakan
logika yang ada pada Nyaya untuk analisa eksistensi material.
Vaishesika menjelaskan
materi tersusun dalam empat unsur, yaitu: tanah, api, air dan udara. Ether
(akasha) tidak termasuk. Penciptaan tergantung kehendak Sang kuasa yang
mengatur alam semesta. Proses penciptaan dan penghancuran itu tanpa awal.
Istilah penciptaan itu sendiri sebenarnya salah. Karena setiap penciptaan mesti
melalui kehancuran lebih dulu, dan kehancuran mesti diawali penciptaan. Apa
yang disebut penciptaan pada dasarnya hanya kehancuran bentuk lama dan menjadi
sesuatu yang lebih baru.
Nyaya dan Vaishesika,
keduanya, oleh penganut Vedanta dianggap sebagai batu loncatan filsafat
Vedanta, yang bercirikan monisme.
Sedangkan Samkhya dan Yoga sebagai jembatan menuju Vedanta. Dengan kata
lain, Nyaya dan Vaishesika menduduki filsafat yang paling dasar. Samkhya dan
Yoga diatas mereka, dan yang paling puncaknya adalah Vedanta.
5.2. SAMKHYA
Samkhya secara harafiah
berarti pengetahuan benar seperti angka. Didirikan oleh Kapila. Ada dugaan
Kapila hidup sebelum Buddhisme lahir, karena itu untuk menghormatinya ada kota
bernama Kapilavastu, yang juga merupakan kota kelahiran Sidharta Gautama (yang
nantinya dikenal sebagai Buddha). Namun demikian para ahli berpendapat bahwa
karya Samkhya-Sutra yang menurut tradisi adalah milik Kapila sendiri, tidak
lebih awal dari 1380-1450 M.
Samkhya memuat analisis
materi dan jiwa. Selanjutnya berkembang dalam dua bagian, yaitu theis (seswara)
dan atheis (niriswara).
Pokok ajaran Samkhya
adalah pembagian realitas menjadi dua, yaitu: materi (prakrti) dan jiwa
(purusa). Prakrti selalu berubah dan purusa selalu tetap dan bukan subyek yang
berubah. Purusa disebut bebas dan berkesadaran murni. Bila purusa dan prakti
ini terpisah, maka purusa terbebaskan. Maka arti pembebasan dalam Samkhya
berarti pencapaian pada tingkat mengatasi alam.
Samkhya yang berkembang
belakangan juga dipengaruhi Buddhisme. Vijnanabhiksu, seorang penulis Samkhya
pada abad ke-16 M mencoba mengkaji ulang kebutuhan akan konsep Tuhan. Jika
Tuhan memiliki keinginan, maka Tuhan tidak bebas. Jika Tuhan bebas, maka Tuhan
tidak akan menciptakan dunia yang penuh penderitaan. Lalu dibawa pada dua
alternatif pandangan. Tuhan itu tidak adil dan kejam, atau Tuhan itu tidak
bebas dan tidak berkuasa. Jika ditentukan oleh hukum karma, maka Tuhan tidak
bebas, sebaliknya Tuhan adalah tirani (seperti raja yang lalim karena
sewenang-wenang). Jika Tuhan adalah pengetahuan murni, maka dunia materi tidak
mencemarinya. Konsep purusa tidak konsisten dengan konsep Tuhan. Jika manusia
adalah bagian dari Tuhan, maka manusia pasti punya kekuatan dan bisa melakukan
apapun. Atheisme Samkhya kurang lebih memahami dari sudut pandang seperti ini.
Samkhya sering disebut
sebagai dualis, realis dan pluralis. Disebut dualis karena memperkenalkan
prakrti dan purusa. Disebut realis karena menganggap materi dan spirit sama.
Pluralis karena purusa ada banyak, bukan cuma satu.
5.3. YOGA
Didirikan oleh Patanjali
sekitar abad ke-2 SM. Patanjali mensistematisasi ulang filsafat yoga yang
sebenarnya sudah ada pada zaman sebelumnya. Filsafat yoga dekat dengan Samkhya
dan menggunakannya sebagai dasar praktik displin dan latihan yang mengarah pada
pembebasan. Karena itu sering disebutkan bahwa Samkhya adalah teorinya dan Yoga
adalah praktiknya. Yang berbeda dari Samkhya bahwa Yoga tidak menolak
eksistensi Tuhan dan bersifat theis. Sedangkan Samkhya, seperti yang sudah saya
jelaskan, terbagi dua, yaitu: theis dan atheis. Pembagian theis dan atheis itu
sebenarnya kurang tepat juga, nanti akan saya jelaskan pada bagian Buddhisme.
Patanjali memahami Tuhan
sebagai Purusa khusus yang selalu bebas dari penderitaan. Tuhan diluar dari hukum
karma. Karenanya Tuhan tidak mengabulkan kebebasan. Devosi atau bentuk pemujaan
pada Tuhan lebih sebagai sarana untuk meningkatkan konsentrasi. Tuhan hanya
membantu menghilangkan halangan dan tidak melakukan apa-apa dalam hal kebebasan
Purusa. Kebodohan batin (avidya) menyebabkan diskriminasi purusa danprakrti.
Akhir dari kehidupan manusia adalah bukan bersatunya dengan Tuhan tapi hanya
terlepasnya purusa dari prakrti.
5.4. KARMA-MIMAMSA
Karma-Mimamsa sering
disebut mimamsa saja. Didirikan oleh Jaimini (200 M / 450 M). Mimamsa lebih banyak memaknai ritual Veda.
Pada tahun 500 SM, ritual veda dipahami secara keliru oleh brahmana pada zaman
itu, salah satunya adalah pengorbanan hewan.
Karena itu muncul Buddhisme yang berhadapan dengan Mimamsa. Penekanan
pada tanpa kekerasan (ahimsa), bukan hanya dari Buddhisme tapi juga Jainisme.
Karma-mimamsa yang didirikan Jaimini berbenah diri dengan memahami ritual veda
yang mampu menghapus karma negatif dan mengarah pada kebebasan setelah
kematian.
5.5. VEDANTA
Vedanta berarti akhir
dari veda, karena merupakan perkembangan filsafat veda yang paling akhir dan
puncak. Sistem Vedanta hadir ketika bagian akhir dari Veda muncul, yaitu
Upanisad. Vedanta juga disebut uttara mimamsa yang berarti penyelidikan kedua,
karena ajaran ini mengkaji Upanisad.
Vedanta memiliki beberapa
sistem filsafat yang masing-masing memiliki tokohnya. Tiga yang paling terkenal
adalah Sankhara (788M-820/850M),
Ramanuja (1175M-1250M) dan Madhva (1238-1278 M). Sesuai dengan Upanisad, semuanya
menganggap Tuhan (Brahman) sebagai realitas tertinggi. Semua mengakuinya secara
absolut, sesuai dengan monisme dalam Upanisad.
Dalam Nyaya dan
Vaishesika, hakikat diri adalah ada dan tanpa kesadaran. Samkhya dan Yoga,
hakikat diri adalah ada dan kesadaran. Pada Vedanta, hakikat diri adalah ada,
kesadaran dan bahagia (sat, cit, ananda).
Gaudapada yang diduga
guru Govinda, yang adalah guru dari Sankhara pernah menyebutkan, “Tidak ada
keteruraian, tidak ada perbudakan dan tidak ada calon Brahman; juga tidak ada
orang yang sangat menginginkan kebebasan atau jiwa yang terbebas. Inilah puncak
kebenaran.” Inilah yang menjadi ajaran paradoksal yang meniadakan diri dari
Advaita (Vedanta versi Sankhara), yang selaras dengan teks-teks Buddhisme
terutama ajaran tanpa diri (anatman/anatta).
Vedanta versi Sankhara
menyatakan diri sebagai non dualisme (advaita), maksudnya tidak ada perbedaan
antara Tuhan (Brahman) dan Diri (Atman). Tuhan adalah dasar dari seluruh
pengalaman. Tuhan tidak sama dengan dunia, juga tidak berbeda, dan ada. Diri
individual adalah sama dengan Atman yang
dibatasi. Moksa atau realisasi diri bisa dicapai dengan praktik devosi dan
latihan dan bisa dicapai selama orang masih
hidup (tidak menunggu setelah kematian). Moksa bukan hancurnya dunia, dunianya
tetap ada, hanya saja cara pandang terhadap dunia yang sudah berubah dan telah
menyingkirkan kebodohan (avidya).
Guru Vedanta
Ungkapan terkenal dalam
Vedanta: tat tvam asi (dia adalah dirimu). Menurut ringkasan pendahuluan ajaran
ini yang dijabarkan dalam Vedantasara karya Sadananda abad ke-15. Diri ditutupi
lima pelepah (lima pelais psikosomatis):
1. Pelepah yang terbuat dari makanan, yang
tidak lain adalah tubuh kasar atau dunia materi.
2. Pelepah yang terbuat dari energi (prana).
3. Pelepah yang terbuat dari pikiran (manas).
4. Pelepah yang terbuat dari pemahaman
(vijnana), atau tubuh halus.
5. Pelepah yang terbuat dari kebahagiaan
(ananda), atau tubuh kausal.
Tubuh kausal ibarat tutup
kebodohan (avidya), pelepah paling bawah dari seluruh ciptaan dunia. Hanya
pengetahuan (vidya) yang membebaskan diri dari pelepah ini.
Bentuk praktis dari
Vedanta, seperti pada ringkasan “Spiritual teaching” karya Swami Brahmananda.
Tahap-tahap jalan advaita Vedanta menuju pada kesadaran Tuhan (Brahman):
1. Puja.
Puja artinya melakukan
penyembahan eksternal dan mental. Mengabdikan diri pada dewa (ista-devata)
pilihan.
2. Meditasi dan japa mantra.
Menyebutkan nama suci
secara berulang-ulang. Menyertakan visualisasi dewa. Merasakan kehadiran dewa,
namun pada tahap lanjut tidak terbatas pada dewa. Jika sudah tidak terbatas
pada dewa, maka pikiran memasuki savikalpa samadhi, lalu ke nirvikalpa samadhi,
segalanya hilang dan masuk pada ketakterhinggaan. Inilah yang dimaksud dengan
kesadaran Tuhan.
Setelah Sankhara, ada
Ramanuja dan Madhava. Ramanuja hidup pada abad ke-11, ketika pengaruh agama
Kristen di India dan lenyapnya Buddhisme di India. Ramanuja menyebutkan
penyebab keberadaan bukanlah kebodohan tapi ketidakpercayaan dan pembebasan
diraih dengan mengabdi pada Tuhan. Karena itu ajaran Ramanuja lebih populer
dalam bentuk pemujaan. Bentuk pemujaan Ramanuja didasari bahwa Brahmansecara
abadi bebas dari ketidakmurnian, dan materi atau dunia dan diri, hanyalah
bagian dari tubuh Brahman. Satu Brahman memiliki dua bentuk, yaitu: Diri dan
materi. Ramanuja menolak ajaran fenomenalitas dunia dan menyatakan Brahman
sebagai personal. Keselamatan bukanlah pelarutan pada Brahman, melainkan
membebasan dari halangan-halangan yang membatasi. Setinggi-tingginya manusia
merealisasikan diri, Brahman tetap yang paling tinggi, karena itu mesti
menghormatinya, berbakti dan melayaninya. Inilah yang menjadi dasar pemujaan
dalam ajaran Ramanuja.
Vishishtadvaida versi
Ramanuja mengakui adanya dua realitas, yaitu: realitas yang berdiri sendiri
(sawatantra) yaitu Tuhan, dan realitas yang tergantung dengan yang lain
(paratantra). Berbeda dengan Advaita yang hanya mengakui Brahman yang nyata,
yang lain tidak. Vishishtadvaida juga disebut sebagai Advaita dengan atribut.
Maksudnya: Hanya Brahman yang ada, sedangkan yang lain hanya atribut (visesa).
Atribut itu nyata tapi tetap tergantung pada Brahman.
Madhava adalah pendiri
ajaran Dvaita yang hidup tahun 1238-1278 M. Madhava pada mulanya belajar pada
Ashutyapreksa namun akhirnya tidak puas dengan interpretasi non dualis
(advaita) gurunya itu. Ajaran
Madhava termasuk personal theism. Tuhan adalah Hari, Vishnu, Narayana dan
Vasudeva. Madhava memuja Tuhan dalam
bentuk dewa Visnu. Madhava juga membagi realitas seperti Ramanuja, yaitu: realitas yang berdiri sendiri dan realitas
yang tergantung. Diri (jiva) adalah kekal (eternal), tapi tergantung dengan
Tuhan. Ungkapan Vedanta: tat tvam asi (dia adalah dirimu), tidak sepenuhnya
Diri dan Tuhan adalah sama. Yang sama hanyalah ezensinya. Penekan bhakti dalam
Madhava adalah devosi sepenuhnya dan sepenuhnya pasrah pada Tuhan, yang menjadi
jalan keselamatan.
6. SISTEM NON ORTODOKS
6.1. CARVAKISME
Carvakisme atau Carvaka
merupakan salah satu sistem non ortodoks yang kuno dan kini tidak berkembang
lagi. Cara pandang paham ini adalah
materialis, dimana hanya materi sebagai satu-satunya kebenaran. Carvakisme
memahami adanya empat unsur, yaitu: tanah, air, api dan udara. Tapi tidak
menerima konsep akasha, jiwa, dan Tuhan.
Referensi tentang
Carvakisme juga ditemukan dalam epik dan naskah Buddhisme awal. Brhaspati,
dikenal sebagai pendiri Carvaka. Dalam majjima Nikaya, dikenal seorang bernama
Ajita Kesakambali, yang seorang materialis. Ajita memiliki pemikiran fatalistik,
yang menyebutkan perbuatan baik tidak memiliki akibat, tidak ada kehidupan
setelah kematian. Materialisme menganjurkan pengejaran nafsu keinginan (kama)
dan kesuksesan (artha). Sedangkan kewajiban (dharma) dan kebebasan (moksa)
ditolak olehnya.
6.2. JAINISME
Jainism berasal dari kata
“jina”, yang berarti penaklukm penakluk ketamakan dan keinginan. Jainisme
menolak otoritas Veda dan mengaku tidak berasal dari Brahman-Arya tapi
merepresentasikan kosmologi dan
antropologi pra-Arya (bangsa Dravida). Pertapa jain mengejutkan kelompok raja
Alexander ketika menaklukkan India. Mereka menyebut para Jain sebagai
gypnosof, filosof telanjang, karena
sebagian dari pertapa jain berpenampilan telanjang. Jainisme terbagi dua, yaitu
mereka yang memakai jubah putih (svetambaras), dan yang telanjang (digambaras).
Pertapa / Rahib Jain
Pendiri Jainisme tidak
diketahui dengan pasti tapi konon mengacu pada guru-guru peradaban pra-Arya.
Dikenal Parscva sebagai pemimpin Jain ke-23 (872-772SM). Dan Mahavira adalah
pemimpin ke-24, yang hidup sezaman dengan Buddha. Dalam naskah Buddhisme awal, Mahavira
juga dikenal dengan nama Nigantha Nataputta. Pemimpin Jain yang lain adalah
Mikkhali Gosala, yang mengajarkan ajaran deterministik. Gosala sebelumnya
adalah murid Mahavira, namun berselisih pandangan dan mempimpin kelompoknya
tersendiri.
Jainisme menganggap jiwa
sebagai mahkluk kecil seukuran ibu jari yang bersemanyam di dalam hati. Tubuh
adalah pakaian dan sel kehidupanlah yang menggerakkan tubuh. Kebebasan jiwa bisa ditempuh dengan
menaklukkan ketamakan dan keinginan dan karma. Jain menjunjung tinggi prinsip
tanpa kekerasan (ahimsa). Perjalanan individu menuju kesempurnaan hanya
manakala sel kehidupan tidak terkontaminasi oleh karma. Sel kehidupan terkotori
oleh karma, karena itu untuk memiliki sel kehidupan yang murni pintu indria
sebagai jalannya karma harus ditutup dan dijaga ketat. Proses pembersihan
terjadi dengan disiplin yang keras, menyiksa diri, hingga tidak membedakan
antara kesenangan, kesakitan, menjijikkan bahkan membahagiakan. Pertapaan yang
keras membakar benih-benih karma yang membuat sel kehidupan menjadi semakin
murni.
Kelompok Digambaras dalam
Jain adalah Tirthankaras, yang hidup sebelum Buddha, yang konon hidup tanpa
makan. Ciri unik Digambaras lainnya bahwa pertapa yang memiliki properti tidak
akan bisa moksa, dan juga wanita tidak bisa moksa.
Mikkhali Gosala yang
pernah bersama Mahavira memiliki pandangannya sendiri tentang proses
pembersihan atau keselamatan. Menurutnya keselamatan tidak bisa dipercepat.
Kesempurnaan akan terjadi dengan sendirinya jika saatnya sudah tepat. Ajaran
deterministik Gosala menyebutkan bahwa usaha untuk moksa adalah sia-sia.
Evolusi spiritual tidak bisa dipaksakan. Tidak ada juga manfaat devosi pada
dewa yang mencampuri proses penyempurnaan. Analogi yang digunakan adalah
seperti bola benang yang dilempar akan mengurai benang dan berhenti ketika
gulungan benang sudah habis.
6.3. BUDDHISME
Sistem non ortodoks lain
adalah Buddhisme, yang didirikan oleh Sidharta Gautama atau lebih dikenal
sebagai Buddha (563-483SM). Buddhisme
berkembang melampau batas benua India.
Kerangka dasar Buddhisme
didasari ajaran tentang empat kebenaran mulia (cattari arya sacca), yang
terdiri dari kebenaran tentang penderitaan, sebab penderitaan, lenyap
penderitaan dan jalan menuju lenyapnya penderitaan. Pendekatan Buddhisme tidak
menjadikan dewa ataupun otoritas ilahi sebagai pusat perhatian, tapi lebih pada
aspek psikologi dasar manusia bahwa masalah utama adalah penderitaan, karena
itu tujuan hidup adalah kebahagiaan, yang puncaknya adalah nirvana atau
terbebasnya dari penderitaan secara total. Proses pembebasan melibatkan latihan
kemoralan (sila), meditasi (samadhi), dan kebijaksanaan (panna), yang
memperhatikan jalan tengah (majjima patipada).
Jalan tengah artinya
menghindari perilaku ekstrim, yaitu ekstrim pemanjaan hidup pada kesenangan
indria, atau juga bertapa ekstrim dengan menyiksa diri. Jalan tengah adalah
sikap Buddhisme terhadap Carvakisme dan Jainisme.
Moksa bisa dicapai pada
kehidupan ini, bukan setelah kematian. Karena Buddhisme tidak melibatkan hal-hal ilahi, moksa adalah mencapai nirvana,
yang juga berarti bebasnya nafsu keinginan (tanha), atau juga terputusnya
siklus kelahiran kembali (samsara). Nirvana bisa dicapai dalam kehidupan ini.
Jika sudah mencapai nirvana, maka setelah mati tidak akan terlahirkan kembali.
Nirvana juga berarti hilangnya kebodohan (avidya) dan tercapainya pengetahuan
(vidya) sempurna.
Ada perbedaan konsep
karma antara Jainisme dengan Buddhisme. Dalam Jainisme, semua tindakan akan
memberikan akibat karma. Karena pertapa Jain sangat disiplin untuk tidak
berbuat tindakan yang dianggap merugikan mahkluk lain termasuk yang tidak
disengaja. Sementara dalam Buddhisme hanya perbuatan yang disertai niat
(cetana) sajalah yang memberikan akibat karma.
Buddha
Buddhisme juga memiliki
kesamaan dengan Jainisme mengenai usaha pembebasan. Berbeda dengan paham
deterministik dari Mikkhali Gosala yang menyebutkan bahwa usaha itu tidak
perlu. Usaha (viriya) itu perlu dan proses penyempurnaan bisa dipercepat dengan
disiplin dan latihan.
Sebuah ciri khas lain
dari Buddhisme adalah ajaran tentang tanpa aku (anatta/anatman). Diri sejati
itu tidak ada, karena itu disebut anatman, sebuah ajaran yang berlawanan dengan
paham atman. Apa yang disebut Aku (Atman) itu hanya kumpulan agregat seperti
kesadaran, persepsi, sensasi dan bentuk-bentuk pikiran. Agregat itu disebut
panca kandha, suatu arus perubahan terus menerus yang tidak ada ezensinya yang
permanen. Justru karena kemelakatan terhadap sang Aku inilah yang membuat
penderitaan terjadi. Merealisasikan anatta adalah salah satu tahapan latihan
dalam teknik meditasi yang diajarkan Buddha.
Buddha pernah memberikan
perumpamaan bahwa ajarannya hanya sebanyak segenggam daun di tangan. Masih
banyak daun-daun lain di hutan, namun daun digenggaman tangan ini mampu
membebaskan diri dari penderitaan. Bentuk praktis Buddhisme adalah penghindaran
spekulasi filosofis yang terlalu rumit, yang sering tidak bisa mengatasi
penderitaan dan mencapai kebahagiaan. Karena itu Buddhisme juga sering disebut
psikologi tanpa psike (sinonim dengan Atman).
Beberapa sarjana
menggolongkan ciri non ortodoks dalam Buddhisme sebagai atheisme. Namun jika
kita mencermati lebih mendalam, atheisme adalah rival dari theisme. Dalam theis
ada yang mutlak, yang disebut Brahman. Sementara atheisme menolak yang mutlak.
Brahman diterjemahkan Tuhan. Berbeda dengan penekanan arti nirvana sebagai
tujuan Buddhisme. Nirvana juga mutlak, namun bukan personal, dan pencapaian
nirvana bukanlah realisasi yang obyektif. Karena nirvana bebas dari kondisi
(sankhata). Buddha menyebutkan nirvana sebagai hal yang tidak terkondisi
(asankhata). Sarjana belakangan menggolongkan Buddhisme sebagai paham non
theis, untuk membedakan dua kutub, yaitutheis dan atheis.
Beberapa sarjana juga
menggolongkan Buddhisme sebagai nihilis. Ini juga kurang tepat. Sang Buddha
memahami hal ini, seperti yang dapat kita lihat dalam cerita tentang
Vacchagotta, yang takut dan bingung terhadap doktrin anatman. Vacchagotta, yang
juga seorang pertapa menanyakan beberapa hal penting pada Buddha, seperti:
Apakah atman itu ada? Apakah atman itu tidak ada? Buddha hanya diam dan tidak
menjawab. Lalu Vacchagotta pergi. Salah satu murid Buddha bernama Ananda
bertanya mengapa Buddha hanya diam dan tidak menjawab. Buddha menjelaskan bahwa
Vacchagotta sedang mengalami kebingungan tentang atman, dan jika dijawab bahwa
atman itu ada, berarti Buddha mengajarkan paham eternalistik, teori jiwa yang
kekal, yang tidak disetujuinya. Namun, bila Buddha menjawab bahwa atman itu
tidak ada, Vacchagotta akan berpikir Buddha mengajarkan paham nihilistik, paham
yang mengajarkan bahwa makhluk hidup hanyalah suatu organisme batin-jasmani
yang akan musnah total setelah kematian.
Setelah raja Asoka
(274-237 SM) memerintah, Buddhisme berkembang sangat pesat di India. Misionaris
yang dikirim Asoka dan menuai hasil adalah di Srilangka, yang termasuk aliran
Theravada, ketika waktu itu belum muncul aliran Hinayana dan Mahayana. Hinayana
dan Mahayana muncul setelahnya dan itu menandai masuknya periode sekolah
Buddhis (Buddhist School). Pada periode ini, muncul sistem filsafat Madhyamika
yang disistematisasi oleh Nagarjuna (200 M). Lalu, Yogacara (vijnanavada) yang
didirikan oleh Asanga (350 M) dan Vasubhandu. Dua sistem filsafat Buddhis
inilah yang menjadi fondasi Mahayana berikutnya, termasuk tantra Buddhis atau
yang lebih dikenal sebagai Vajrayana. Aliran Mahayana berkembang di Cina,
Vietnam, Korea dan Jepang. Sementara Aliran Vajrayana berkembang di Tibet,
Butan, dan Mongolia. Theravada sendiri setelah Srilangka, menyebar ke Myanmar,
Laos, dan Thailand. Sedangkan Hinayana tidak berkembang ke luar dari India.
7. PENUTUP
Sejarah filsafat India
adalah evolusi pemikiran manusia yang mengarah pada spiritualitas. Saya memilih
menulis filsafat India karena budaya Jawa dan mungkin budaya lokal lainnya juga
memiliki akar yang sama dengan filsafat India. Jika kita cermati, setiap sistem
filsafat berkembang dengan caranya sendiri dan merupakan reaksi dari keadaan
yang diramaikan dengan perbedaan interpretasi akan nilai hidup. Bentuk primitif
agama, pada mulanya adalah pemujaan keluar, yang lebih sebagai sandaran
psikologis dalam diri manusia, lalu menjadi mengarah kedalam, mengarah pada
pemahaman diri, yang membawa transformasi diri yang lebih baik. Memanglah tepat
istilah Jawa “ageman”. Agama memang hanya pakaian (baca: ageman), hanya bentuk
luar, yang didalamnya mesti ada refleksi diri dan pencarian ke dalam. Walaupun
demikian, pencarian spiritual tidak bisa dipaksa, diatur secar mekanis, atau
juga dijadikan standar moral tertentu. Seperti yang dikatakan Mudji Sutrisno,
“...filsafat Timur lebih berupa suatu penawaran yang praktis mengenai
kebahagiaan manusia. Orang tetap bebas menghadapi penawaran ini.”
FILSAFAT
INDONESIA
Dari Wikipedia bahasa
Indonesia, ensiklopedia bebas
Filsafat Indonesia adalah
sebutan umum untuk tradisi kefilsafatan yang dilakukan oleh penduduk yang
mendiami wilayah yang belakangan disebut Indonesia. Filsafat Indonesia diungkap
dalam pelbagai bahasa yang hidup dan masih dituturkan di Indonesia (sekitar 587
bahasa) dan 'bahasa persatuan' Bahasa Indonesia, meliputi aneka mazhab
pemikiran yang menerima pengaruh Timur dan Barat, disamping tema-tema
filosofisnya yang asli.
Istilah Filsafat
Indonesia berasal dari judul sebuah buku yang ditulis oleh M. Nasroen, seorang
Guru Besar Luar-biasa bidang Filsafat di Universitas Indonesia, yang di
dalamnya ia menelusuri unsur-unsur filosofis dalam kebudayaan Indonesia.
Semenjak itu, istilah tersebut kian populer dan mengilhami banyak penulis
sesudahnya seperti Sunoto, R. Parmono, Jakob Sumardjo, dan Ferry Hidayat.
Sunoto, salah seorang Dekan Fakultas Filsafat di Universitas Gajah Mada (UGM)
Yogyakarta, menggunakan istilah itu pula untuk menyebut suatu jurusan baru di
UGM yang bernama Jurusan Filsafat Indonesia. Sampai saat ini, Universitas Gajah
Mada telah meluluskan banyak alumni dari jurusan itu.
Para pengkaji Filsafat
Indonesia mendefinisikan kata 'Filsafat Indonesia' secara berbeda, dan itu
menyebabkan perbedaan dalam lingkup kajian Filsafat Indonesia. M. Nasroen tidak
pernah menjelaskan definisi kata itu. Ia hanya menyatakan bahwa 'Filsafat
Indonesia' adalah bukan Barat dan bukan Timur, sebagaimana terlihat dalam
konsep-konsep dan praktik-praktik asli dari mupakat, pantun-pantun, Pancasila,
hukum adat, gotong-royong, dan kekeluargaan (Nasroen 1967:14, 24, 25, 33, dan
38). Sunoto mendefinisikan 'Filsafat Indonesia' sebagai ...kekayaan budaya
bangsa kita sendiri...yang terkandung di dalam kebudayaan sendiri (Sunoto
1987:ii), sementara Parmono mendefinisikannya sebagai
...pemikiran-pemikiran...yang tersimpul di dalam adat istiadat serta kebudayaan
daerah (Parmono 1985:iii). Sumardjo mendefinisikan kata 'Filsafat Indonesia'
sebagai...pemikiran primordial... atau pola pikir dasar yang menstruktur
seluruh bangunan karya budaya... (Jakob Sumardjo 2003:116). Keempat penulis
tersebut memahami filsafat sebagai bagian dari kebudayaan dan tidak
membedakannya dengan kajian-kajian budaya dan antropologi. Secara kebetulan,
Bahasa Indonesia sejak awal memang tidak memiliki kata 'filsafat' sebagai
entitas yang terpisah dari teologi, seni, dan sains. Sebaliknya, orang
Indonesia memiliki kata generik, yakni, budaya atau kebudayaan, yang meliputi
seluruh manifestasi kehidupan dari suatu masyarakat. Filsafat, sains, teologi,
agama, seni, dan teknologi semuanya merupakan wujud kehidupan suatu masyarakat,
yang tercakup dalam makna kata budaya tadi. Biasanya orang Indonesia memanggil
filsuf-filsuf mereka dengan sebutan budayawan (Alisjahbana 1977:6-7). Karena
itu, menurut para penulis tersebut, lingkup Filsafat Indonesia terbatas pada
pandangan-pandangan asli dari kekayaan budaya Indonesia saja. Hal ini dipahami
oleh pengkaji lain, Ferry Hidayat, seorang lektur pada Universitas Pembangunan
Nasional (UPN) 'Veteran' Jakarta, sebagai 'kemiskinan filsafat'. Jika Filsafat
Indonesia hanya meliputi filsafat-filsafat etnik asli, maka tradisi
kefilsafatan itu sangatlah miskin. Ia memperluas cakupan Filsafat Indonesia
sehingga meliputi filsafat yang telah diadaptasi dan yang telah 'dipribumikan',
yang menerima pengaruh dari tradisi filosofis asing. Artikel ini menggunakan
definisi penulis yang terakhir.
Halaman
artikel ini diterjemahkan, sebagian atau seluruhnya, dari halaman di
en.wikipedia yang berjudul (Tolong cantumkan nama artikel sumber terjemahan).
Lihat pula sejarah suntingan halaman aslinya untuk melihat daftar penulisnya.
== Mazhab Pemikiran ==
Ada 6 (enam) mazhab
pemikiran yang berkembang di Indonesia. Kategorisasi mazhab didasarkan pada
tiga hal: pertama, didasarkan pada segi keaslian yang dikandung suatu mazhab
filsafat tertentu (seperti pada 'mazhab etnik'); kedua, pada segi pengaruh yang
diterima oleh suatu mazhab filsafat tertentu (seperti 'mazhab Tiongkok',
'mazhab India', 'mazhab Islam', 'mazhab Kristiani', dan 'mazhab Barat'), dan
ketiga, didasarkan pada kronologi historis (seperti 'mazhab paska-Soeharto').
Berikut ini adalah sketsa mazhab-mazhab pemikiran dalam Filsafat Indonesia dan
filsuf-filsuf mereka yang utama.
Daftar isi
[sembunyikan]
• 1Mazhab Etnik
• 2Mazhab Tiongkok
• 3Mazhab India
• 4Mazhab Islam
• 5Mazhab Barat
• 6Mazhab Kristiani
• 7Mazhab Paska-Soeharto
• 8Referensi
o 8.1Referensi Bahasa Indonesia
o 8.2Referensi dalam Bahasa Inggris
• 9Pranala luar
• 10Lihat pula
Mazhab Etnik[sunting |
sunting sumber]
Mazhab ini mengambil
filsafat etnis Indonesia sebagai sumber inspirasinya. Asumsi utamanya ialah
mitologi, legenda, cerita rakyat, cara suatu kelompok etnis membangun rumahnya
dan menyelenggarakan upacara-upacaranya, sastra yang mereka hasilkan, epik-epik
yang mereka tulis, semuanya melandasi bangunan filsafat etnis tersebut.
‘Filsafat’ ini tidak dapat berubah; ia senantiasa sama, dari awal-mula hingga
akhir dunia, dan ia senantiasa merupakan ‘Yang Baik’. ‘Filsafat’ ini mengajarkan
setiap anggota kelompok etnis tersebut tentang asal-mula lahirnya kelompok
etnis itu ke dunia (bahasa Jawa, sangkan) dan tentang tujuan (telos) hidup yang
akan dicapai kelompok etnis itu (bahasa Jawa, paran), sehingga anggotanya tidak
akan sesat dalam hidup.
Mazhab ini melestarikan
filsafat-filsafat etnis Indonesia yang asli, karena filsafat-filsafat itu telah
dianut erat oleh anggota etnis sebelum mereka berhubungan dengan
tradisi-tradisi filosofis asing yang datang kemudian.
Kebanyakan tokoh mazhab
ini berasumsi bahwa orang Indonesia kontemporer berada pada posisi ‘buta’
terhadap nilai-nilai asli mereka. Jakob Sumardjo, misalnya, berpandangan bahwa
banyak orang Indonesia sekarang yang …lupa melestarikan nilai-nilai asli
mereka… dan …lupa masa-lalu, lupa asal-mula, mereka seperti orang
hilang-ingatan… yang …mengabaikan sejarah nasional mereka sendiri… (Sumardjo
2003:23, 25). Akibatnya, mereka ‘terasingkan’; teralienasi dari ‘budaya-budaya
ibu mereka’ (Sumardjo 2003:53). Gagalnya kebijakan pendidikan Indonesia, bagi
Jakob, disebabkan oleh ‘kebutaan’ terhadap budaya asli Indonesia ini (Sumardjo
2003:58). Karena itu, misi penting dari mazhab filsafat ini ialah menggali,
mengingat, dan menghidupkan-kembali nilai-nilai etnis yang asli, karena
nilai-nilai merupakan ‘ibu’ (lokalitas adalah ibu manusia), sedangkan manusia
ialah ‘bapak’ keberadaan (balita ialah bapak manusia) (Sumardjo 2003:22).
Berikut ini adalah
beberapa pandangan filsosofis yang dianut mazhab ini:
• Adat
• Mitos asal-mula
• Pantun
• Pepatah
• Struktur sosial adat
Mazhab Tiongkok[sunting |
sunting sumber]
Para filsuf etnik masih
menganut filsafat-filsafat mereka yang asli hingga kedatangan migrant-migran
Tiongkok antara tahun 1122-222 SM. yang membawa-serta dan memperkenalkan
Taoisme dan Konfusianisme kepada mereka (Larope 1986:4). Dua filsafat asing itu
bersama filsafat-filsafat lokal saling bercampur dan berbaur; begitu
tercampurnya, sehingga filsafat-filsafat itu tak dapat lagi dicerai-beraikan
(SarDesai 1989:9-13). Salah satu dari sisa baurnya filsafat-filsafat tadi, yang
hingga kini masih dipraktikkan oleh semua orang Indonesia, adalah ajaran hsiao
dari Konghucu (bahasa Indonesia, menghormati orangtua). Ajaran itu menegaskan
bahwa seseorang harus menghormati orangtuanya melebihi apapun. Ia harus
mengutamakan orangtuanya sebelum ia mengutamakan orang lain.
Mazhab Tiongkok kelihatan
eklusif, karena semata banyak dikembangkan oleh sedikit anggota etnis Tiongkok
di Indonesia. Meskipun demikian, filsafat yang disumbangkan oleh mazhab ini
bagi tradisi kefilsafatan di Indonesia, sangat penting. Sun Yat-senisme,
Maoisme, dan Neo-maoisme merupakan filsafat-filsafat penting yang menyebar-luas
seantero Indonesia pada awal 1900-an, bersamaan dengan pertumbuhan Partai
Komunis Indonesia (PKI) (Suryadinata 1990:15).
Filsuf-filsuf utama dari
mazhab ini, di antara yang lainnya, adalah: Tjoe Bou San, Kwee Hing Tjiat, Liem
Koen Hian, Kwee Kek Beng, dan Tan Ling Djie.
Mazhab India[sunting |
sunting sumber]
Pembauran atau difusi
filsafat-filsafat terus berlanjut bersamaan dengan kedatangan kaum Brahmana
Hindu dan penganut Buddhisme dari India antara tahun 322 SM-700 M. Mereka
memperkenalkan kultur Hindu dan kultur Buddhis kepada penduduk asli, sementara
penduduk asli meresponinya dengan menyintesa dua filsafat India itu menjadi
satu versi baru, yang terkenal dengan sebutan Tantrayana. Ini jelas tercermin
pada bangunan Candi Borobudur oleh Dinasti Sailendra pada tahun 800-850 M.
(SarDesai, 1989:44-47). Rabindranath Tagore, seorang filsuf India yang
mengunjungi Borobudur pertama kalinya, mengakui candi itu sebagai candi yang
tidak-India, karena relik-relik yang dipahatkan padanya merepresentasikan
pekerja-pekerja lokal yang berbusana gaya Jawa asli. Ia juga mengakui bahwa
tarian-tarian asli Jawa yang terilhami dari epik-epik India tidak menyerupai
tarian-tarian India, meskipun tarian-tarian dua negeri tersebut bersumber dari
sumber yang sama.
konghucu dan
Buddhisme—dua filsafat yang saling berlawanan di India—bersama-sama dengan
filsafat Jawa asli dapat didamaikan di Indonesia oleh kejeniusan Sambhara
Suryawarana, Mpu Prapanca, dan Mpu Tantular.
Mazhab Islam[sunting |
sunting sumber]
10-abad proses
Indianisasi ditantang oleh kedatangan Sufisme Persia, dan Sufisme mulai
mengakar dalam perbincangan kefilsafatan sejak awal tahun 1400-an hingga
seterusnya. Perkembangan Sufisme itu dipicu oleh berdirinya kerajaan-kerajaan
dan kesultanan-kesultanan Islam yang masif di Indonesia (Nasr 1991:262).
Raja-raja dan sultan-sultan seperti Sunan Giri, Sunan Gunungjati, Sunan Kudus,
Sultan Trenggono, Pakubuwana II, Pakubuwana IV, Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan
‘Alauddin Ri’ayat Syah, Engku Haji Muda Raja Abdullah Riau hingga Raja Muhammad
Yusuf adalah raja-sufi; mereka mempelajari Sufisme dari guru-guru Sufi
terkemuka (Perpustakaan Nasional 2001:12-39).
Sufisme di Indonesia
dapat dibagi ke dalam dua kelompok: Ghazalisme dan Ibn Arabisme. Ghazalisme
utamanya terinspirasi oleh ajaran-ajaran Al-Ghazali, sedangkan Ibn Arabisme
dari doktrin-doktrin Ibn Arabi. Sufi-sufi dari jalur Al-Ghazali adalah seperti
Nuruddin Al-Raniri, Abdurrauf Al-Singkeli, Abd al-Shamad Al-Palimbangi, dan
Syekh Yusuf Makassar, sementara yang dari jalur Ibn Arabi adalah Hamzah
Al-Fansuri, Al-Sumatrani, Syekh Siti Jenar, dan lain-lain (Nasr 1991:282-287).
Wahhabisme-Arab juga
pernah diadopsi oleh Raja Pakubuwana IV dan Tuanku Imam Bonjol, yang misi
utamanya ialah menghapus Sufisme dan menggantikannya dengan ajaran-ajaran
Quranik (Hamka 1971:62-64).
Di saat Modernisme
Islamik, yang memiliki program yaitu menyintesis ajaran-ajaran Islam dengan
filsafat Pencerahan Barat, dimulai oleh Muhammad Abduh dan Jamaluddin
Al-Afghani di Mesir tahun 1800-an, maka muslim-muslim di Indonesia juga
mengadopsi dan mengadaptasinya. Ini nampak jelas dalam karya-karya yang
dihasilkan oleh Syaikh Ahmad Khatib, Syaikh Thaher Djalaluddin, Haji Abdul
Karim Amrullah, Kyai Ahmad Dahlan, Mohammad Natsir, Oemar Said Tjokroaminoto,
Haji Agus Salim, Haji Misbach, dan lain-lain (Noer 1996:37).
Mazhab Barat[sunting |
sunting sumber]
Sejak pemerintah kolonial
Belanda di Indonesia menerapkan ‘Politik Hati Nurani’ (Politik Etis) pada awal
tahun 1900-an, lembaga-lembaga pendidikan bergaya Belanda menjamur dimana-mana
dan terbuka untuk anak-anak pribumi dari kelas-kelas feudal, yang hendak
bekerja di lembaga-lembaga kolonial. Sekolah-sekolah berbahasa Belanda itu
mengajarkan Filsafat Barat sebagai mata-pelajarannya. Misalnya, Filsafat
Pencerahan—filsafat yang diajarkan secara amat terlambat di Indonesia, setelah
5 abad kemunculannya di Eropa (Larope 1986:236-238). Banyak alumni sekolah
tersebut yang melanjutkan studi mereka di universitas-universitas Eropa. Mereka
lantas muncul sebagai kelompok elit baru di Indonesia yang merupakan generasi
pertama intelligentsia bergaya Eropa, yang kelak menganut Filsafat Barat untuk
menggantikan filsafat etnik mereka yang asli.
Filsafat Barat mengilhami
banyak lembaga sosio-politis Indonesia modern. Pemerintahan republik Indonesia,
konstitusinya serta distribusi kekuasaan (distribution of power),partai politik
dan perencanaan ekonomi nasional jangka-panjang, semuanya dilakukan atas model
Barat. Bahkan ideologinya ``Pancasila’’ (Yang telah diciptakan oleh
Soekarnoatau yang kemudian disalahgunakan oleh Soeharto), terinspirasi dari
ideal-ideal Barat tentang humanisme, demokrasi-sosial, dan sosialisme nasional
Nazi Jerman, seperti yang nampak dalam pidato-pidato anggota Badan Pemeriksa
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tahun 1945 (Risalah Sidang
1995:10-79). Fakta ini menggiring pada kesimpulan, bahwa ‘Indonesia Modern’ dibangun
di atas cetak-biru Barat.
Sangat menarik untuk
diamati, bahwa meskipun elit itu menganut Filsafat Barat sepenuh hati, mereka
masih merasa perlu mengadaptasikan filsafat itu kepada kegunaan dan situasi
Indonesia yang kontemporer dan kongkrit. Misalnya, Soekarno, yang mengadaptasi
demokrasi Barat dengan situasi rakyat Indonesia yang masih berjiwa feudalistik,
sehingga ia menciptakan apa yang kemudian disebut Demokrasi Terpimpin (Soekarno
1963:376). D.N. Aidit dan Tan Malaka mengadaptasikan Marxisme-Leninisme dengan
situasi Indonesia (Aidit 1964:i-iv; Tan Malaka 2000:45-56) dan Sutan Syahrir
yang mengadaptasikan Demokrasi-Sosial dengan konteks Indonesia (Rae 1993:46).
Mazhab Kristiani[sunting
| sunting sumber]
Bersama-sama dengan
pencarian kapitalis Barat akan koloni-koloni di Timur, ajaran Kristen
mendatangi pedagang-pedagang Indonesia pada pertengahan abad 15 (Lubis
1990:78). Pertama-tama yang datang ialah pedagang-pedagang Portugis, lalu
kapitalis-kapitalis Belanda yang berturut-turut menyebarkan ajaran Katolik dan
ajaran Calvin.Fransiskus Xaverius, pewarta Katolik pertama dari Spanyol yang
menumpang kapal Portugis, menerjemahkan Credo, Confession Generalis, Pater
Noster, Ave Maria, Salve Regina, dan Sepuluh Perintah Tuhan ke bahasa Melayu
antara tahun 1546-1547, yang melaluinya ajaran Katolik dapat disebar-luaskan
kepada penduduk Hindia Belanda (Lubis 1990:85). Gereja-gereja Katolik pun
didirikan dan penganut Katolik Indonesia berjejalan, namun tak lama kemudian
para pastor Katolik diusir dan umatnya dipaksa untuk pindah ke Kalvinisme oleh
penganut-penganut Kalvin Belanda yang datang ke Indonesia pada sekitar tahun
1596. Gereja Reformasi Belanda (Nederlandse Hervormde Kerk) didirikan sebagai
gantinya. Jan Pieterszoon Coen, salah seorang Gubernur-Jenderal VOC tahun 1618,
adalah contoh dari penganut Kalvinis yang saleh. Ia mendudukkan semua pewarta
Kalvinis (yang dalam bahasa Belanda disebut Ziekentroosters) di bawah
kendalinya (Lubis 1990:99).
Sekolah-sekolah Katolik
bergaya Portugis-Hispanik dan lembaga-lembaga pendidikan Kalvinis bergaya
Belanda terbuka untuk penduduk Hindia Belanda. Tidak hanya diajarkanteologi di
dalamnya, tapi juga Filsafat Kristen (Christian Philosophy). Satu sekolah lalu
menjadi beribu-ribu jumlahnya. Hingga kini masih ada (dan terus ada)
universitas-universitas swasta Katolik dan Protestan yang mengajarkan Filsafat
Kristen di dalamnya. Misioner-misioner dan pewarta-pewarta Injil dari Barat
yang telah bertitel Master dalam bidang filsafat dari universitas Eropa,
berdatangan untuk memberikan kuliah pada universitas Kristen Indonesia (Hiorth
1987:4). Dari universitas-universitas tersebut keluarlah banyak lulusan yang
menguasai Filsafat Kristen, seperti Leo Kleden, Nico Syukur Dister, J.B.
Banawiratma, Franz Magnis-Suseno, Paulus Budi Kleden, Ignaz Kleden, Kondrat
Kebung, Robert J. Hardawiryana, Y.B. Mangunwijaya, TH. Sumartana, Martin
Sinaga, dan lain-lain. Di Sumatera Utara, Sekolah Katolik yang berpengaruh
terhadap perkembangan filsafat adalah Sekolah Tinggi Filsafat Teologi St.
Yohanes Sinaksak Pematangsiantar. Adelbert Snijder adalah guru besar di sekolah
tersebut, dan dikenal sebagai filsuf metafisika. Ungkapan yang terkenal dari
dia adalah: "Seluas Segala Kenyataan'.
Di Indonesia timur,
khususnya di Nusa Tenggara Timur, Filsafat sangat mempengaruhi perkembangan
pendidikan di wilayah tersebut. Di wilayah ini filsafat berkembang setelah
masuknya misionaris eropa SVD di wilayah itu dan mendirikan salah satu sekolah
Tinggi filsafat di Maumere flores, NTT. Sekolah Tinggi itu adalah Sekolah Tinggi
Filsafat Katolik / STFK Ledalero. Di sekolah ini keilmuan dalam bidang filsafat
dikembangkan dengan berbagai pendekatan sosial. Dari sekolah ini banyak
terlahir pemikir dan pengajar serta relawan kemanusiaan yang tersebar di hampir
300 negara di dunia. Di sekolah ini terdapat berbagai grup diskusi filsafat
yang kemudian memberikan warna tersendiri bagi khasanah filsafat sebagai ilmu.
Beberapa nama yang menjadi pelopor perkembangan filsafat di Ledalero adalah
Fritz Braun, Joseph Pianezek, Leo Kleden, Paulus Budi Kleden, Kondrad Kebung
dan Lain sebagainya.
Mazhab
Paska-Soeharto[sunting | sunting sumber]
Mazhab ini terutama
mengedepan untuk mengritik kebijakan sosio-politik Soeharto selama masa
kepresidenannya dari tahun 1966 hingga (akhirnya tumbang) pada 1998. Perhatian
utama mereka ialah Filsafat Politik, yang misi utamanya ialah mencari
alternatif-alternatif bagi rezim yang korup itu. Mazhab inilah yang berani
menantang Soeharto, setelah ia berhasil membisukan semua filsuf lewat cara
kekerasan. Sebelum kemunculan mazhab ini, telah ada beberapa orang yang mencoba
melawan Soeharto di era 1970-an, namun mereka dipukul keras dalam
insiden-insiden yang disebut sejarah sebagai Peristiwa ITB Bandung 1973 dan
Peristiwa Malari 1974. Sejak praktik kekerasan itu, filsafat hanya dapat
dipraktikkan dalam utopia; praksis dan inteleksi dipisahkan dari filsafat.
Praksis dilarang, dan hanya penalaran yang mungkin bisa bertahan. Era Soeharto,
dalam kacamata filsafat, dapat disebut sebagai ‘era candu filsafat’, dimana segala
jenis dan segala mazhab filsafat dapat hidup tapi tak dapat dipraktikkan dalam
kenyataan. Filsafat hanya menjadi ‘latihan akademis’ dan ditundukkan. Pancasila
menjadi satu-satunya ideologi dan filsafat di era itu (tentunya, Pancasila yang
ditafsirkan menurut kepentingan Soeharto, bukan Pancasila BPUPKI 1945) (Hidayat
2004:49-55).
Dalam ‘lingkaran setan’
rezim Soeharto muncullah pemberani-pemberani yang kelak memutuskan mata-rantai
lingkaran itu, dan mereka disebut disini sebagai ‘filsuf paska-Soeharto’, di
antaranya seperti: Sri-Bintang Pamungkas, Budiman Sudjatmiko, Muchtar Pakpahan,
Sri-Edi Swasono, dan Pius Lustrilanang.
Periodisasi Filsafat Cina
Pokok pemikiran dari
filsafat dan kebudayaan Cina adalah perikemanusiaan. Filsafat Cina lebih
pragmatis dengan mengajarkan bagaimana harus bertindak supaya keseimbangan
antara dunia dan surga tercapai. Ketika kebudayaan Yunani masih berpendapat
bahwa semua makhluk dikuasai oleh suatu nasib buta (Moira), dan ketika
kebudayaan India masih mengajarkan bahwa kita di dunia ini tertahan dalam roda
reinkarnasi yang terus-menerus, maka di Cina sudah diajarkan bahwa manusia
sendiri dapat menentukan nasib dan tujuannya.
Pada perkembangan
melewati rentan waktu panjang yang dilalui Filsafat di Cina, disini Filsafat
Cina dapat dikategorikan ke dalam empat periode besar, yaitu: Zaman Klasik (600
– 200 SM), zaman Neo-taoisme dan Buddhisme (200 SM – 1000 M), zaman
Neo-konfusianisme (1000 – 1900 M) dan zaman Modern (setelah 1900)
1. Zaman Klasik (600 –
200 SM)
Menurut tradisi, periode
ini ditandai oleh seratus sekolah filsafat, seratus aliran yang semuanya
mempunyai ajaran yang berbeda. Namun, kelihatan juga sejumlah konsep yang
dipentingkan secara umum, misalnya “tao” (jalan), “te” (keutamaan atau seni
hidup), “yen” (perikemanusiaan), “i” (keadilan), “t’ien” (surga) dan “yin-yang”
(harmoni kedua prinsip induk, prinsip aktif-laki-laki dan prinsip
pasif-perempuan). Sekolah-sekolah terpenting dalam jaman klasik adalah:
Konfusianisme
a. Konfusianisme
Kong Hu Cu merupakan
seorang filosof besar Cina. Dialah orang pertama pengembang sistem yang
memadukan alam fikiran dan kepercayaan orang Cina yang paling besar filosofinya
menyangkut moralitas orang perorang dan konsepsi suatu pemerintahan tentang
cara-cara melayani rakyat dan memerintahnya lewat tingkah laku teladan yang
sekarang telah menyerap dalam kehidupan dan kebudayaan orang Cina selama lebih
dari dua ribu tahun. Dari pengaruh pemikiran inilah Confusianisme banyak
menghasilkan para intelektual di Cina, dan pengaruh intelektualnya ini
berpengaruh terhadap sebagian penduduk di dunia.
Confusius (bentuk Latin
dari nama Kong-Fu-Tse, “guru dari suku Kung”) hidup antara 551 dan 497 SM di
daerah Lu,di Shantung. Ia mengajarkan bahwa Tao (“jalan” sebagai prinsip utama
dari kenyataan) adalah “jalan manusia”. Artinya: manusia sendirilah yang dapat
menjadikan Tao luhur dan mulia, kalau ia hidup dengan baik. Keutamaan merupakan
jalan yang dibutuhkan. Kebaikan hidup dapat dicapai melalui perikemanusiaan
(“yen”), yang merupakan model untuk semua orang. Secara hakiki semua orang sama
walaupun tindakan mereka berbeda.. Dalam bahasa Mandarin aliran ini disebut 儒家 Rujia. Rujia memang
sering diartikan sebagai filsafat Khonghucu. Sebenarnya Rujia berarti filsafat
cendikiawan, 儒
Ru sendiri berarti cendikiawan atau sarjana.
Pada usia muda, yakni 17
tahun, Confusius diangkat menjadi pengawas kerajaan, sebagai pemilik ladang
gandum umum dan lumbung pangeran, kemudian menjadi Kepala Peternakan. Ia
seorang yang suka belajar. Pada usia 22 tahun ia mulai mengajar. Setahun
kemudian ia ditinggalkan ibunya. Menurut adat, ia harus mengundurkan diri dari
keramaian untuk berduka cita selama tiga tahun. Keadaan kacau pada masa itu
menyebabkan ia tidak taat pada adat. Sikap Confusius sangat dihormati, terutama
oleh murid-muridnya yang setia. Selama berduka cita, yaitu selama tiga tahun
itulah ia mendalami kesusastraan, sejarah, dan adat istiadat dari zaman Wen
sampai Mu yang tersimpan dalam perpustakaan kerajaan.
Confusius yakin bahwa
untuk mengamankan keadaan, maka harus kembali pada jalan yang telah ditempuh
oleh yao dan Shun,yaitu dengan jalan berbakti dan setia. Ia belajar lagi dari
semua buku-buku yang ada tentang agama, adat, sastra, sejarah, musik, dan
lain-lain. Kemudian semuanya itu digubah dan disadur sehingga berbentuk pedoman
hidup bangsa Cina. Setelah habis masa duka citanya ia mengunjungi loyang yang
dibangun oleh Pangeran Chou. Ia mulai lagi mengajarkan pada murid-muridnya
tentang sejarah, kesusastraan, perihal upacara, musik syair, dan terus mencatat
segala hal yang berarti dan diketahuinya dalam tulisan yang berjudul “The Books
of History (Shang Shu), The pring and Autum Annals, The Books of Rites, dan The
Book of Song.
Filsafat Confusianisme
dan Pengaruhnya
Pemikiran Confusianisme
yang didasarkan atas prinsip keseimbangan yin dan yang. Prinsip keseimbangan
menjadi hal utama yang dibahas sehingga keseimbangan yang mengatur hidup kita
juga seimbang. Dengan aturan keseimbangan ini memberikan dampak yang begitu
besar khususnya bagi masyarakat Cina.
Confusius menganjurkan
agar orang belajar dan mempraktekan apa yang dipelajari sehingga menjadi
seorang intelektual yang lengkap, orang seperti ini beliau sebut sebagai Qun Zi
atau seorang intelektual-bijaksana,selain itu dia harus tatap tenag dalam
segala situasi agar dapat menyelesaikan persoalan-persoalan penghidupan dengan
rasional. Ajaran Confusianisme mengajarkan bahwa kita harus bisa mengatur harta
yang baik terutama pendidikan anak-anak. Unsur pendidikan ini dalam
Confusianisme karena para cendikiawan dihormati jauh lebih tinggi dibandingkan
kekayaan.
Itulah sebabnya di
Amerika saat ini kebanyakan mahasiswa peringkat atas diduduki oleh orang-orang
dari Hong Kong, Cina, Taiwan, Singapore, Korea, dan Jepang yang ternyata
negara-negara tersebut dipengaruhi ajaran Confusianisme.
Kemudian ajaran
Confusianisme berdampak pula pada ekonomi Cina itu sendiri. Dengan adanya
konsep kerja keras dan kekerabatan yanmg dijunjung tinggi, merupakan jaminan
link keberhasilan ekonomi masyarakat Cina secara keseluruhan. Selain itu faktor
kecintaan terhadap negara induk (RRC), menjadi sebuah motivasi besar bagi
mereka, untuk berusaha seoptimal mungkin agar mampu memberikan kontribusi bagi
negaranya tersebut, sekalipun mereka hidup di negara orang lain.
Secara ekonomi Cina
memang mempunyai kompeten yang besar, bahkan Amerika sekalipun segai sebuah
negara super power merasa riskan dengan keberadaan Cina tersebut. Selain faktor
kerja keras, kekerabatan, faktor jumlah penduduk yang besar dan tersebar
dimana-mana mempunya andil besar dalam roda perekonomian Cina. Kemudian
daripada itu, tradisi kultural yang lekat dengan kehidupan orang Cina,
merupakan faktor penetralisir, serta pendorong upaya pencerahan bagi kehidupan
yang jauh lebih baik.
Bagi orang Cina sendiri
keberadaan faktor ekonomi secara otomatis merupakan faktor pendukung majunya
pendidikan (kemajuan intelektual). Filsafat Timur dianggap lebih magis dan
bersifat irasional. Namun, ajaran Confusianisme yang termasuk filsafat Cina ini
yang sebenarnya bukan aliran agama, tetapi aliran falsafah hidup yang tidak
mengesampingkan dasar-dasar kepercayaan lama, sehingga mampu memelihara
kerukunan dan kesejahteraan dalam negeri Cina dalam waktu tak kurang dari dua
ribu tahun.
Orang Barat mengangap
filsafat pemikiran Timur terutama Cina tidak selalu bersifat rasio (irasional),
namun dari uraian pengaruh confusianisme di atas terlihat jelas bahwa pemikiran
confusianisme ini bersifat nalar rasional karena pemikiran ini sesuai dengan
kehidupan sehari-hari orang Cina.
Namun, pendapat tersebut
bisa dibantah ternyata pada masa kejayaan Eropa 300 tahun yang lalu, banyak
sarjana dan kaum intelektual terinspirasi oleh ajaran Khonghucu. salah satu
diantara mereka adalah Gottfried Wilhelm Von Leibniz, bahkan mengusulkan pada
tahun1689 suatu program pertukaran budaya Timur-Barat, mungkin usul pertukaran
budaya ini merupakan pertukaran pertama internasional. dari pertukaran budaya
diatas terlihat bahwa sekarang ini filsafat cina tidak lagi magis dan
Irrasional, malahan filsafat Confusianisme ini bisa mempengaruhi perkembangan
pemikiran di dunia.
b. Taoisme
Taoisme diajarkan oleh
Lao Tse (“guru tua”) yang hidup sekitar 550 S.M. Lao Tse melawan Konfusius.
Menurut Lao Tse, bukan “jalan manusia” melainkan “jalan alam”lah yang merupakan
Tao. Tao menurut Lao Tse adalah prinsip kenyataan objektif, substansi abadi
yang bersifat tunggal, mutlak dan tak ternamai. Ajaran Lao Tse lebih-lebih
metafisika, sedangkan ajaran Konfusius lebih-lebih etika. Puncak metafisika
Taoisme adalah kesadaran bahwa kita tidak tahu apa-apa tentang Tao. Kesadaran
ini juga dipentingkan di India (ajaran “neti”, “na-itu”: “tidak begitu”) dan
dalam filsafat Barat (di mana kesadaran ini disebut “docta ignorantia”,
“ketidaktahuan yang berilmu”).
Taoisme di sini adalah 道家 Daojia (=filsafat
Jalan/Tao). Mula-mula oleh Sima Tan aliran ini disebut 道德家 Daodejia (filsafat jalan dan kebajikan),
belakangan disebut Daojia. Harap dibedakan pengertiannya dengan 道教 Daojiao (agama Tao).
Umumnya keduanya sama2 ditulis dalam bahasa Inggris sebagai Taoism. Daojia juga
harus dibedakan dengan 道學
Daoxue, yang merupakan aliran kebangkitan Rujia baru yang muncul ketika Dinasti
Song. Oleh orang Barat Daoxue disebut Neo-Confucianism.
Sebagai suatu ajaran
filosofis, Taoisme terus berkembang sampai abad kedua sebelum Masehi. Filsafat Taoisme
juga terdiri dari aliran Chuang Tzu dan Huang Lao. Di dalam ajaran-ajaran awal
tentang Taoisme ini, Tao dipandang sebagai “sumber yang unik dari alam semesta
dan menentukan semua hal; bahwa semua hal di dunia terdiri dari bagian yang
positif dan bagian yang negatif; dan bahwa semua yang berlawanan selalu
mengubah satu sama lain; dan bahwa orang tidak boleh melakukan tindakan yang
tidak alami tetapi mengikuti hukum kodratnya.” Sikap pasrah terhadap hukum
kodrat dan hukum alam ini disebut juga sebagai wu-wei.
Di dalam masyarakat Cina
kuno, filsafat dan agama belumlah dibedakan secara tegas. Sejak Taoisme mulai
dikenal di dalam dunia berbahasa Inggris, pembedaan antara Taoisme sebagai
filsafat dan Taoisme sebagai agama belumlah ada. Pada pertengahan 1950, para
ahli sejarah dan Filsafat Cina berpendapat bahwa ada perbedaan tegas di antara
keduanya, walaupun memang keduanya berdiri di atas tradisi yang sama. Marcel
dan Granet dan Henri Maspero adalah orang-orang yang melakukan penelitian
mendalam di bidang ini.
Memang, ada keterkaitan
erat antara filsafat Taoisme dan agama Taoisme. Para filsuf Tao sendiri
dianggap sebagai pendiri Taoisme, baik sebagai filsafat maupun sebagai agama.
Buku paling awal yang memuat ajaran Tao ini berjudul Classic of Great Peace (T’ai-p’ing
Ching) yang dianggap merupakan tulisan tangan langsung dari Lao Tzu. Dalam arti
tertentu, Lao Tzu sendiri seringkali dianggap sebagai „dewa“. Ia punya beberapa
julukan, seperti „Saint Ancestor Great Tao Mysterious Primary Emperor“, dan
„Yang memiliki status sebagai Dewa“ (The Divine) itu sendiri.
Perbedaan dasar antara
filsafat Taoisme dan agama Taoisme juga terletak pemahaman tentang tujuan dari
keberadaan manusia itu sendiri. Para filsuf Taois berpendapat bahwa tujuan
setiap orang adalah mencapai transendensi spiritual. Oleh sebab itu, mereka
perlu menekuni ajaran Tao secara konsisten. Sementara, para pemuka agama
Taoisme berpendapat bahwa tujuan setiap manusia adalah untuk mencapai
keabadian, terutama keabadian tubuh fisik (physical immortality) yang dapat
dicapai dengan hidup sehat, sehingga bisa berusia panjang. Pada titik ini,
kedua ajaran Taoisme ini berbeda secara tajam. Para filsuf Taoisme berpendapat
bahwa usia panjang itu tidaklah penting. “Hanya orang-orang yang tidak mencari
kehidupan setelah mati”, demikian tulis Lao Tzu di dalam Tao Te Ching pada
bagian ke-13, “yang lebih bijaksana di dalam memaknai hidup.” Di dalam beberapa
tulisannya, Chuang Tzu menyatakan, “Orang-orang Benar pada masa kuno tidak
mengetahui apapun tentang mencintai kehidupan, dan mereka juga tidak mengetahui
apapun tentang membenci kematian.” Lao Tzu juga menambahkan, “Hidup dan mati
sudah ditakdirkan – sama konstannya dengan terjadinya malam dan subuh… manusia
tidak dapat berbuat apapun tentangnya.”
Jelaslah bahwa para
filsuf besar Taoisme menyatakan bahwa orang tidaklah perlu untuk memilih antara
kehidupan atau kematian. Alih-alih hidup di dalam keresahan di antara keduanya,
orang harus melampaui perbedaan di antara keduanya. “Sikap transenden dari
filsafat Taoisme terhadap hidup dan kematian”, demikian tulis Xiaogan,
“…..adalah mengikuti alam dan tidak melakukan tindakan-tindakan yang tidak
alamiah”. Sikap mengikuti alam disebut juga sebagai tzu-jan, dan sikap pasif
dengan tidak melakukan tindakan-tindakan yang tidak alami disebut juga sebagai
wu-wei. Kontras dengan itu, Taoisme sebagai agama justru menekankan pentingnya
keabadian jiwa sebagai prinsip utama.
Filsafat Taoisme dan
agama Taoisme juga berbeda pendapat tentang bagaimana seharusnya orang bersikap
di hadapan penguasa politik. Filsafat Taoisme menolak tradisi (antitraditional)
dan berupaya melampaui nilai-nilai yang diakui bersama. Lao Tzu dan Chuang Tzu
bersikap kritis terhadap penguasa pada jamannya, dan juga terhadap nilai-nilai
Konfusianisme tradisional. Mereka berdua berpendapat bahwa masyarakat akan jauh
lebih baik, jika semua bentuk aturan, moralitas, hukum, dan penguasa
dihapuskan. Di sisi lain, para pemuka agama Taoisme sangat menghormati penguasa
dan aturan-aturan Konfusianisme. “Orang-orang yang hendak memiliki keabadian”,
demikian tulis Ko Hung (284-343), seorang pemuka agama Taoisme, “haruslah
menempatkan kesetiaan kepada penguasa dan kesalehan yang tulus kepada orang tua
mereka… sebagai prinsip dasar.” K’ou Ch’ien Chih, seorang pemuka agama Toaisme
lainnya, juga berpendapat bahwa setiap orang haruslah mempelajari
Konfusianisme, serta secara aktif membantu kaisar di dalam mengatur dunia.
Agama Taoisme memang
memberikan perhatian besar pada kepentingan-kepentingan praktis yang bersifat
temporal. Jika filsafat Taoisme lebih bersifat individualistik dan kritis, maka
agama Taoisme dapat dipandang sebagai ajaran yang lebih bersifat sosial dan
praktis. Dalam arti ini, para filsuf Taoisme memiliki pengertian-pengertian
yang agak berbeda tentang konsep-konsep dasar Taoisme, seperti wu-wei, Tao, dan
te, jika dibandingkan dengan pengertian para pemuka agama Taoisme.
c. Yin-Yang
“Yin” dan “Yang” adalah
dua prinsip induk dari seluruh kenyataan. “Yin” itu bersifat pasif, prinsip
ketenangan, surga, bulan, air dan perempuan, simbol untuk kematian dan untuk
yang dingin. “Yang” itu prinsip aktif, prinsip gerak, bumi, matahari, api, dan
laki-laki, simbol untuk hidup dan untuk yang panas. Segala sesuatu dalam
kenyataan kita merupakan sintesis harmonis dari derajat Yin tertentu dan
derajat Yang tertentu.
d. Moisme
Aliran Moisme didirikan
oleh Mo Tse, antara 500-400 S.M. Mo Tse mengajarkan bahwa yang terpenting
adalah “cinta universal”, kemakmuran untuk semua orang, dan perjuangan
bersama-sama untuk memusnahkan kejahatan. Filsafat Moisme sangat pragmatis,
langsung terarah kepada yang berguna. Segala sesuatu yang tidak berguna
dianggap jahat. Bahwa perang itu jahat serta menghambat kemakmuran umum tidak
sukar untuk dimengerti. Tetapi Mo Tse juga melawan musik sebagai sesuatu yang
tidak berguna, dan oleh karenanya dianggap jelek. Etika Mo Tse mengenal prinsip
yang antara lain dalam agama kristen disebut kaidah emas: setiap orang harus
memperlakukan negara-negara asing seperti tanah air sendiri, keluaga lain
seperti keluarga sendiri, orang lain seperti dirinya sendiri. Perintah ini
cukup untuk mencapai kebahagiaan dan kemakmuran umum.
Sekolah Mo berakar dari
para pendekar yang kehilangan posisi/jabatannya di kerajaan dan kemudian
menjadi pengembara (游侠/
yóuxiá). Adapun perbedaan pendapat anatara konfusianis dan mohis adalah sebagai
berikut: Para Konfusianis mementingkan relasi yang tepat (Lǐ, tanpa memikirkan
keberuntungan. Dari segi moral atau pendirian, para Konfusianis mengutamakan
kebenaran dan kemurnian, tanpa menghitung keberhasilannya. Penganut Mo Tzŭ
lebih pragmatis. Mereka mengutamakan secara khusus keberuntungan (Lì) dan
pencapaian (Kung). Dari bab ke-35 Mo Tzŭ mengatakan:
“penilaian standar harus
dilakukan… Tanpa standar ini, pembedaan antara betul salah, keberuntungan (li)
dan keburukan, tidak bisa dilakukan. Maka setiap penilaian harus diverifikasi…
tentang dasarnya (adakah ia berdasarkan pola tindakan raja-raja kuno yang
bijaksana), pembuktiannya (adakah ia terbukti penting lewat keberuntungan bagi
rakyat jelata), dan aplikasinya (apakah memberi keberuntungan pada negara dan
rakyat…”
Dengan demikian, tolok
ukur kebenaran sebuah prinsip menurut Mo Tzŭ adalah seberapa besar
keberuntungan yang diberikan kepada negara dan rakyat jelata. Segala sesuatu
harus berguna, dan semua prinsip harus bisa diaplikasikan supaya menyumbang
sesuatu nilai secara mandiri. Maka sesuatu prinsip yang tidak bisa
diejawantahkan nilainya, ataupun tidak bisa diajarkan secara efektif kepada
manusia lain untuk mengejawantahkan nilainya, hanya rasio belaka. Tetapi
pendirian Mo Tzŭ ini bertabrakan dengan idealisme Konfusianis, yang
mengutamakan pembentukan moralitas yang mendukung tindakan seseorang, supaya
bertindak mengikut apa yang benar, dan bukan mengikut apa yang lebih
bermanfaat.
e. Ming Chia
Ming Chia atau “sekolah
nama-nama”, menyibukkan diri dengan analisis istilah-istilah dan
perkataan-perkataan. Ming Chia, yang juga disebut “sekolah dialektik”, dapat
dibandingkan dengan aliran sofisme dalam filsafat Yunani. Ajaran mereka penting
sebagai analisis dan kritik yang mempertajam perhatian untuk pemakaian bahasa
yang tepat, dan yang memperkembangkan logika dan tatabahasa. Selain itu dalam
Ming Chia juga terdapat khayalan tentang hal-hal seperti “eksistensi”,
“relativitas”, “kausalitas”, “ruang” dan “waktu”.
f. Fa Chia
Fa Chia atau “sekolah
hukum”, cukup berbeda dari semua aliran klasik lain. Sekolah hukum tidak
berpikir tentang manusia, surga atau dunia, melainkan tentang soal-soal praktis
dan politik. Fa Chia mengajarkan bahwa kekuasaan politik tidak harus mulai dari
contoh baik yang diberikan oleh kaisar atau pembesar-pembesar lain, melainkan
dari suatu sistem undang-undang yang keras sekali.
g. Mencius dan Xunzi
Konfusianisme bermula
dari ajaran Konfusius, tetapi kemudian dibangun dan dikembangkan oleh Mencius
dan Xunzi. Seperti Konfusius, Mencius mendasarkan ajarannya pada Ren, tapi ia
menyatakan bahwa untuk membina Ren harus dikembangkan yi atau kebaikan. “Yang
disimpan dalam hati adalah ren, yang dipakai dalam tindakan adalah yi.” Jadi,
ren adalah prinsip tepat untuk mengawasi gerak internal, sedangkan yi adalah
cara tepat untuk membimbing tindak eksternal.
Mencius mengritik Mohisme
mengenai tata hubungan relasi. Mo Tzu mengabaikan hierarki ini dengan
menekankan kesamaan kedudukan dalam relasi. Yang Tzu lebih menekankan diri
sendiri. Ia menunjukkan bahwa karna tidak adanya hierarki ini dan menekankan
diri sendiri, Yang Tzu telah menentang rasa kemanusiaan dan keadilan yang arah
nyatanya peduli pada orang lain. Pada Mo Tzu tidak ada gradasi cinta (no
gradations of greater or lesser love). Lebih lanjut lagi, Ia menekankan Sistem
Keluarga yang diungkap Confusius; yaitu sistim masyarakat Tionghoa, ada 5 jenis
hubungan yaitu Raja-Menteri, Ayah-Anak, Suami-Istri, Kakak-Adik, teman-teman.
Penggalang Konfusianis
lainnya adalah Xunzi. Dia adalah eksponen prinsip prinsip Konfusius, tapi
pengkritik Mencius. Bila Mencius dapat dikatakan sebagai wakil dari sayap
idealistic, maka Xunzi merupakan wakil dari sayap realistic, karena ia
menekankan control social dan kodrat manusia itu buruk.
h. Daoisme
Lao Zi dan pengikutnya
menduga bahwa ada yang salah dalam hakekat masyarakat dan peradabannya. Mereka
menganjurkan rakyat Cina untuk membuang semua pranata dan konvensi yang ada.
Mereka percaya bahwa manusia yang dulu mempunyai suatu sorga kemudian hilang
karena kekeliruannya sendiri, yaitu karna ia mengembangkan peradaban. Menurut
Lao Zi dan pengikut pengikutnya, cara terbaik untuk hidup adalah menarik diri
dari peradaban dan kembali kepada alam, dari keadaan beradab ke keadaan alami.
Inilah jalur pemikiran naturalistic yang dikenal sebagai Daoisme yang
menjunjung tinggi Dao dan alam.
Para penganut Daois
memandang alam sebagai tempat mereka menarik diri, mencita citakan hidup
sederhana, dengan wu wei sebagai inti ajaran mereka. Tetapi karena diantara
mereka ada perbedaan dalam hal menafsirkan konsep Dao, muncullah dua anak
aliran. Yang satu dipelopori oleh Zhuang Zi, yang lainnya dipelopori oleh Yang
Zhu.
Sementara itu, Chuang Tzu
memandang Dao sebagai totalitas dari spontanitas segala sesuatu di alam semesta
ini. Semua hal harus dibiarkan berkembang sendiri, secara alami dan spontan,
Akan tetapi Yang Tzu berpendapat bahwa Dao adalah suatu kekuatan fisis yang
buta. Dao menghasilkan dunia tidak atas dasar perencanaan atau kehendak, tetapi
atas dasar keniscayaan atau kebetulan. Pendapat ini merupakan pendapat yang
mewakili kaum materialistic Daoisme. Apapun perbedaannya, ajaran ajaran mereka
menekankan bahwa manusia harus cocok dan serasi dengan kodratnya dan puas
dengan apa adanya.
i. Han Fei Zi
Dalam Kitab han Fei Zi
kita temukan suatu sintesa bulat dari gagasan kaum Legalis berasal dari ajaran
shi menurut Shen Dao, ajaran shu menurut Shen Buhai, dan fa menurut Shang Yang.
Han Fei memakai teori Xunzi tentang kodrat manusia dalam upayanya
mempertahankan bahwa hukum dan peraturan itu esensial dalam menjaga tatanan
social dan perdamaian .Han Fei juga memakai doktrin wu wei dari Laozi bagi
prinsip politiknya bahwa roda pemerintahan yang memakai hukum yang terperinci
harus berfungsi sendiri, tidak perlu ada campur tangan penguasa. Dengan
demikian menandakan bahwa mereka bertentangan langsung dengan kaum konfusianis,
yang menekankan nilai nilai etis dan pengaruh manusia.
Menurut Sima Tan
(meninggal tahun 110 SM), keenam sekolah klasik tersebut kadang dikatakan
mereka berasal dari keenam golongan dalam masyarakat Cina, yang terdiri dari:
a. Rujia: kaum ilmuwan
b. Daojia: kaum pertapa
c. Yinyangjia: para ahli
ilmu gaib
d. Mojia: kaum ksatria
e. Mingjia: para pendebat
f. Fajia: ahli-ahli
politik
2. Zaman Neo-Taoisme dan
Buddhisme (200 S.M.-1000 M.)
Bersama dengan
perkembangan Buddhisme di Cina, konsep Tao mendapat arti baru. Tao sekarang
dibandingkan dengan “Nirwana” dari ajaran Buddha, yaitu “transendensi di
seberang segala nama dan konsep”, “di seberang adanya”. Transendensi merupakan
dasar dari dua unsurnya yang lain. Transendensi hendak menjadikan nilai-nilai
transendental (keimanan) sebagai bagian penting dari proses membangun
peradaban. Transendensi menempatkan agama pada kedudukan yang sangat sentral.
3. Zaman
Neo-Konfusianisme (1000-1900)
Dari tahun 1000 M.
Konfusianisme klasik kembali menjadi ajaran filsafat terpenting. Buddhisme
ternyata memuat unsur-unsur yang bertentangan dengan corak berpikir Cina.
Kepentingan dunia ini, kepentingan hidup berkeluarga dan kemakmuran material,
yang merupakan nilai-nilai tradisional di Cina, sema sekali dilalaikan, bahkan
disangkal dalam Buddhisme, sehingga ajaran ini oleh orang dianggap sebagai
sesuatu yang sama sekali asing.
Neo-Konfusianisme adalah
bentuk Konfusianisme yang terutama dikembangkan selama Dinasti Song, tetapi
aliran ini mulai nampak ke permukaan sudah sejak zaman dinasti Tang lewat Han
Yu dan Li ao. Mereka membuka cakrawala baru Neo-Konfusianisme, yaitu dimensi
kosmologis dalam refleksi mereka. Zhou Dunyi merupakan tokoh yang tak boleh
dilupakan. Kosmologi Zhou Dunyi merupakan pengembangan butir-butir ajaran
Apendiks dari Kitab Yi Jing dan dia memakai diagram daois untuk ilustrasi dan
membentuk ‘Tai Ji Tu dan Tai JI Shuo-nya. Selain Zhou Dunyi masih ada Shao Yong
(kosmologis lain yang mengembangkan ajarannya berdasar juga Apendiks dari Kitab
Yi Jing. Bedanya dengan Zhuo dia memakai 64 hexagram Yi Jing). Sementara Zhang
Zhai (kosmologis lain yang juga mengembangkan ajarannya berdasar juga Apendiks
dari Kitab Yi Jing. Namun dia menekankankan dan mengolah lebih jaug gagasan
Qi). Mewarisi ‘ke-satu-an’ dari segala dari Zhang Cai, itu yang dikembangkan
Cheng Hao menjadi filsafatnya. Ren = rangkuman dari: Yi, Li, Zhi dan Xin,
pahami itu dan tempa-tumbuhkan dengan ketulusan dan kecermatan, itulah
segalanya. Secara metafisis ada kesatuan antara semua yang ada. Gagasan
tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Lu Jiuyuan dan Wang Yangming
yang pada akhirnya membentuk sekolah Lu wang.
4. Zaman Modern (setelah
1900)
Sejarah modern mulai di
Cina sekitar tahun 1900. Pada permulaaan abad kedua puluh pengaruh filsafat
Barat cukup besar. Banyak tulisan pemikir-pemikir Barat diterjemahkan ke dalam
bahasa Cina. Aliran filsafat yang terpopuler adalah pragmatisme, jenis filsafat
yang lahir di Amerika Serikat. Setelah pengaruh Barat ini mulailah suatu
reaksi, kecenderungan kembali ke tradisi pribumi. Terutama sejak 1950, filsafat
Cina dikuasai pemikiran Marx, Lenin dan Mao Tse Tung.
Inilah sejarah perkembangan
filsafat China, yang merupakan filsafat Timur. Yang termasuk kepada filsafat
Barat misalnya filsafat Yunani, filsafat Helenisme, “filsafat Kristiani”,
filsafat Islam, filsafat jaman renaissance, jaman modern dan masa kini.
E. Pemikir-Pemikir Aksial
dan Formasi Sekolah-Sekolah Filsafat
Perkembangan filsafat
Cina pada periode dari tahun 475-221 SM merupakan sebuah proses kreatif dimana
dua tradisi kebudayaan muncul sebagai respons atas perubahan sosial dan politik
saat itu. Humanisme politis dan naturalisme organik adalah dua posisi tipikal
sebagaimana lebih lanjut dikembangkan dalam konfusianisme dan Daoisme.
Mencius
mengindentifikasikan persoalan sentral waktu sebagai stabilitas politis dan
sosial (ding). Persepsinya dan wawasannya dalam persoalan ini adalah bahwa
dunia ini akan “distabilisasikan oleh being unified” (ding-yu-yi). Persoalannya
adalah bagaimana dunia ini disatukan dan ditata menurut sebuah sistem
prinsip-prinsip, contohnya: tatanan Zhou atau Li.
Selain itu, dikatakan
pula bahwa legalisme berkembang dari penyatuan dan perbandingan berbagai
sekolah filsafat pada awal-awalnya, seperti konfusianisme, Mohisme, Daoisme.
Dari konfusianisme berupa pengontrolan massa dengan otoritas dan doktrin
tentang alam jahat manusia (Hsun Tzu), dari Mohisme berupa prinsip kesamaan dan
utilirianisme, dari Daoisme berupa prinsip-prinsip non-aksi (wu-mei). Faktor
terpenting dari pemikiran legalis adalah pertimbangan dari kebutuhan mendesak
untuk pemerintahan yang tersentralisasi dan tersatukan. Selain empat sekolah
tersebut, dalam periode Cina klasik juga muncul nama-nama sekolah, seperti
sekolah Yin-Yang Wu-Xing, sekolah strategi Militer (Bing Jia), sekolah agronomi
(Nung Jia) dan sekolah Diplomatik (Zong Heng Jia).
Sekolah-sekolah filsafat
ini mengetengahkan sebuah transformasi nilai-nilai dan sebuah rekonstruksi
tradisional, penciptaan standard baru ataupun paradigma baru. Karl Jaspers
menyebutnya sebagai abad aksial. Para filsuf yang dikenal berpengaruh pada
periode klasik sejarah cina ini adalah para pemikir aksial. Mereka menanggapi
secara kritis abad mereka dan terhadap dunia waktu mereka, dan yang
mengembangkan arah-arah dan visi-visi pada sebuah transformasi nilai untuk
seluruh kemanusiaan. Ini adalah sebuah integrasi kreatif dari li dan tradisi
zhi. Apa yang disebut kreatif dalam wawasan mereka itu ditarik dari
keterlibatan eksistensial mereka dalam dunia dan kemnausiaan.
Beberapa ciri dari
“pemikir aksial”:
1. Mereka disebut pemikir
aksial apabila mereka memikirkan bagi dunia, sebuah keseluruhan masyarakat,
kelas sosial, sebuah lokalitas khusus dan dirinya.
2. Mereka mampu untuk
menancapkan pengaruhnya pada generasinya dan generasi sesudahnya dalam sebuah
cara yang alami dan spontan. Tidak ada manuver politik dalam mempengaruhi
masyarakat. Pengaruh tersebut muncul melalui jalur sosial dan kultural seperti:
mengajar, lecturing dan percakapan atau dialog dalam sebuah lingkungan
intelektual ataupun yang berbasiskan akademis.
Ada beberapa macam
tanggapan kritis di antara para filosof, yang mana masing-masing mempresentasikan
sebuah tindakan kritik dan evaluasi atas realitas sosial dan politik.
1. Tipe pertama tanggapan
kritis adalah melepaskan realitas sosial dan politik dan dalam pengertian untuk
mengatasi realitas sosial politik untuk sesuatu yang sungguh memang bersifat
utopia
2. Tipe kedua adalah
tanggapan konfusian atas rekonstruksi. Dalam basis pengalaman kulturalnya dan
refleksi historisnya, konfusius melihat adanya nilai yang menekankan kembali
tradisi li. Konfusius juga menekankan soal eksistensi dan kekuatan ren,
kekuatan dari transformasi moral atas individu manusia dalam relasinya dan
transaksi dengan yang lainnya. Ren dalam filsafat konfusius berarti kualitas
yang menegaskan kemanusiaan yang mempunyai kekuatan untuk mengembangkan
kemanusiaan dari pusat seorang individu ke sebuah komunitas melalui hubungan
manusia yang tertata dengan baik dan atas pertemanan yang harmonis.
Konfusius mengubah
political ren ke dalam suatu moral and human ren. Ada 3 point yang ditunjukkan.
Yang pertama, belas kasih dan kebajikan terhadap orang-orang secara umum
diperluas dengan melibatkan unsur perasaan dan tindakan pribadi individu dalam
masyarakat. Yang kedua, bukanlah penguasa itu sendiri yang mampu untuk
mempraktekan ren atau yang harus mempraktikannya. Semua manusia mampu
mempraktekkannya dan harus mempraktekannya supaya lebih manusiawi dan
dimanusiakan. Yang ketiga, ren harus dipandang sebagai kekuatan batin dari
seorang pribadi manusia, yang dapat dilatihkan dan yang membutuhkan adanya
perhatian yang konstan supaya dapat tumbuh ke dalam sebuah kesempurnaan.
Terkait dengan li
(praktek), yi adalah esensi dari tindakan li. Dalam relasinya dengan yi, li
adalah realisasi dari pemikiran akan yi. Dalam relasinya dengan ren, yi adalah
objektivikasi dari ren. Dalam relasinya dengan yi, ren adalah kekuatan yi yang
memotivasi. Dengan demikian, ren adalah bentuk yang paling konkret dan sempurna
dari semua nilai keutamaan dan merupakan integrasi dari semua keutamaan
Tidak ada komentar: