SOSIOLOGI SASTRA
SOSIOLOGI SASTRA
Sosiologi sastra
merupakan pengetahuan tentang sifat dan perkembangan masyarakat dari atau
mengenai sastra karya para kritikus dan sejarawan yang terutama mengungkapkan
pengarang yang dipengaruhi oleh status lapisan masyarakat tempat ia berasal,
ideologi politik dan sosialnya, kondisi ekonimi serta khalayak yang ditujunya
(KBBI, 2010). Damono (1978:6) memberikan definisi sosiologi sastra sebagai
telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat. Sosiologi
sastra berhubungan dengan masyarakat dalam menciptakan karya sastra tentunya
tak lepas dari pengaruh budaya tempat karya sastra dilahirkan.
Menurut Wellek dan Warren
dalam Damono (1978:3) mengemukakan hubungan sastra yang erat kaitannnya dengan masyarakat.
Sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat. Sastra mencerminkan dan
mengekspresikan kehidupan pengarang, sastra tak bisa tidak mengekspresikan
pengalaman dan pandangan tentang hidup. Tetapi tidak benar bila dikatakan bahwa
pengarang secara konkret dan menyeluruh mengekspresikan perasaannya. Dengan
mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah perekonomian, keagamaan,
politik, yang semuanya itu merupakan struktur sosial merupakan gambaran tentang
cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungan tentang mekanisme
sosialisasi proses pembudayaan yang menempatkan anggota ditempatnya
masing-masing.
Untuk memahami karya
sastra secara lengkap, Grebstein ( Damono 1978:4) menyatakan bahwa karya sastra
tidak dapat dipahami selengkaplengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan,
kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Grebstein dalam Damono
(1978:4) sebagaimana sosiologi sastra berusaha dengan manusia dalam masyarakat
dalam usaha manusia menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat
itu. Maka karya sastra perlu dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya.
Karya sastra itu sendiri merupakan objek kultural yang rumit atau kompleks dan
bagaimanapun, karya sastra bukan suatu gejala yang tersendiri.
Menurut Damono (1978:8)
perbedaan yang ada antara sosiologi dan sastra adalah sosiologi melakukan
analisis ilmiah yang objektif, sedangkan karya sastra menyusup menembus
permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati
masyarakat dengan perasaannya. Sosiologi bersifat kognitif, sedang sastra
bersifat afektif.
Masalah pokok sosiologi
sastra adalah karya sastra itu sendiri, sebagai aktifitas kreatif dengan ciri
yang berbeda-beda ( Ratna 2003:8). Sebuah dunia miniatur, karya sastra
berfungsi untuk menginventarisasikan sejumlah besar kejadian-kejadian yang
telah dikerangkakan dalam pola-pola kreatifitas dan imaji. Karya sastra
memiliki tujuan akhir yang sama, yaitu sebagai motivator ke arah aksi sosial
yang lebih bermakna, sebagai pencari nilai-nilai kebenaran yang dapat
mengangkat dan memperbaiki situasi dan kondisi alam semesta (Ratna, 2003:35).
2.2
Konteks Sosial Pengarang
Konteks sosial sastrawan
ada hubungannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya
dengan masyarakat pembaca. Dalam bidang pokok ini termasuk juga faktor-faktor
sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya. Oleh karena itu, yang terutama
diteliti adalah (1) bagaimana sastrawan mendapatkan mata pencaharian, apakah ia
menerima bantuan dari pengayom atau dari masyarakat secara langsung atau
bekerja rangkap, (2) profesionalisme dalam kepengaranga, sejauh mana sastrawan
menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi, dan (3) masyarakat yang dituju
oleh sastrawan, dalam hal ini kaitannya antara sastrawan dan masyarakat sangat
penting sebab seringkali didapati bahwa macam masyarakat yang dituju itu
menentukan bentuk dan isi karya sastra mereka (Damono, 1979: 3-4).
2.3
Sastra dan Masyarakat
Karya sastra menerima
pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat.
Sastra dapat dikatakan sebagai cerminan masyarakat, tetapi tidak berarti
struktur masyarakat seluruhnya tergambarkan dalam sastra, yang didapat di
dalamnya adalah gambaran masalah masyarakat secara umum ditinjau dari sudut
lingkungan tertentu yang terbatas dan berperan sebagai mikrokosmos sosial,
seperti lingkungan bangsawan, penguasa, gelandangan, rakyat jelata, dan
sebagainya. Sastra sebagai gambaran masyarakat bukan berarti karya sastra
tersebut menggambarkan keseluruhan warna dan rupa masyarakat yang ada pada masa
tertentu dengan permasalahan tertentupula.Novel merupakan salah satu di antara
bentuk sastra yang paling peka terhadap cerminan masyarakat.
Menurut Johnson (dikutip
Faruk, 2005: 45-46) novel mempresentasikan suatu gambaran yang jauh lebih
realistik mengenai kehidupan sosial. Ruang lingkup novel sangat memungkinkan
untuk melukiskan situasi lewat kejadian atau peristiwa yang dijalin oleh
pengarang atau melalui tokoh-tokohnya. Kenyataan dunia seakan-akan terekam
dalam novel, berarti ia seperti kenyataan hidup yang sebenarnya. Dunia novel
adalah pengalaman pengarang yang sudah melewati perenungan kreasi dan imajinasi
sehingga dunia novel itu tidak harus terikat oleh dunia sebenarnya.
Sketsa kehidupan yang
tergambar dalam novel akan memberi pengalaman baru bagi pembacanya, karena apa
yang ada dalam masyarakat tidak sama persis dengan apa yang ada dalam karya
sastra. Hal ini dapat diartikan pula bahwa pengalaman yang diperoleh pembaca
akan membawa dampak sosial bagi pembacanya melalui penafsiran-penafsirannya.
Pembaca akan memperoleh hal-hal yang mungkin tidak diperolehnya dalam
kehidupan. Menurut Hauser (dikutip Ratna, 2003: 63), karya seni sastra
memberikan lebih banyak kemungkinan dipengaruhi oleh masyarakat, daripada
mempengaruhinya.
Dengan demikian, dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra adalah salah satu
pendekatan untuk mengurai karya sastra yang mengupas masalah hubungan antara
pengarang dengan masyarakat, hasil berupa karya sastra dengan masyarakat, dan
hubungan pengaruh karya sastra terhadap pembaca. Namun dalam kajian ini hanya
dibatasi dalam kajian mengenai gambaran pengarang melalui karya sastra mengenai
kondisi suatu masyarakat.
2.4
Fungsi Sosial Sastra
Pendekatan sosiologi
berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti “Sampai berapa jauh nilai
sastra berkait dengan nilai sosial?”, dan “Sampai berapa jauh nilai sastra
dipengaruhi nilai sosial?” (http://bocahsastra.wordpress.com/2012 diakses 10
Juni 2016). Ada tiga hal yang harus diperhatikan.
(1)Sudut
pandang yang menganggap bahwa sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau
nabi. Dalam pandangan ini, tercakup juga pandangan bahwa sastra harus berfungsi
sebagai pembaharu dan perombak
(2)Sudut
pandang lain yang menganggap bahwa sastra bertugas sebagai penghibur belaka.
Dalam hal ini gagasan-gagasan seni untuk seni misalnya, tidak ada bedanya
dengan usaha untuk melariskan dagangan agar menjadi best seller.
(3)Sudut
pandang kompromistis seperti tergambar sastra harus mengajarkan dengan cara
menghibur (Damono, 1979: 4).
Apabila dikaitkan dengan
sastra maka terdapat tiga pendekatan; Pertama, konteks sosial pengarang. Hal
ini berhubungan dengan sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaitannya dengan
masyarakat pembaca. Dalam pokok ini termasuk pula faktor-faktor sosial yang
bisa mempengaruhi pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi
karya sastranya. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat. Hal yang terutama di
teliti dalam pendekatan ini adalah (a) sejauh mana sifat pribadi pengarang
mempengaruhi gambaran masyarakat yang ingin disampaikan (c) sejauh mana genre
sastra yang digunakan pengarang dapat mewakili seluruh masyarakat. Ketiga,
fungsi sosial sastra. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang menjadi perhatian
(a) sejauh mana sastra dapat berfungsi sebagai perombak masyarakatnya (b)
sejauh mana pengarang hanya berfungsi sebagai penghibur saja dan (c) sejuah
mana terjadi sintesis antara kemungkinan point a dan b diatas (Damono, 1978).
Fungsi sosial sastra
dalam hal ini berkaitan dengan adanya nilai religuitas dan nilai moral. Nilai
religuisitas adalah inti kualitas hidup manusia yang dibedakan menjadi dua,
yakni religuisitas agamis dan religuisitas non agamis.
Religuisitas agamis
mengacu kepada sikap dan sifat religi para agamawan atau orang – orang yang
memeluk agama tertentu. Orang yang beragama memang banyak yang religious dan
seharusnya memang demikian. Religuisitas non agamis mengacu kepada orang yang
cita rasa, sikap dan tindakan sehari – hari lebih dekat dengan kesetiaan hati
nuraninya.
Nilai moral merupakan
sifat – sifat atau hal – hal penting yang berguna bagi kemanusiaan ( KBBI,
2010). Pengertian moral mengacu pada ajaran tentang baik buruk yang diterima
oleh umum mengenai perbuatan sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti dan
sebagainya ( KBBI, 2010). Jadi, dapat disimpulkan bahwa pengertian moral adalah
segala sesuatu yang penting dan bermanfaat bagi manusia dalam pembentukan
sikap, akhlak dan budi pekerti. Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan
pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai – nilai
kebenaran. Hal inilah yang ingin pengarang sampaikan kepada pembaca.
Nilai moral merupakan
aturan yang dijadikan patokan oleh manusia tentang baik buruknya yang
seharusnya dan sebaliknya dilakukan oleh manusia dalam pergaulannya di
masyarakat. Adapun bentuk penyampaian nilai moral menurut Nurgiantoro ( 2002 :
335 ) yaitu bentuk penyampaian langsung dan bentuk penyampaian tidak langsung.
Bentuk penyampaian nilai moral secara langsung dapat dilakukan dengan pelukisan
watak tokoh atau diwujudkan dalam aktivitas tokoh sebagai alat penyampaian
nilai moral oleh pengarang melalui uraian baik berupa protagonist ataupun
antagonis, sedangkan bentuk penyampaian nilai moral secara tidak langsung disampaikan
melalui percakapan (dialog), pikiran dan sikap atau perbuatan.
Tidak ada komentar: