PRIMADONA KONSONAN “h”
Oleh
ZAKI
FAHRIZAL
Bahasa adalah alat komunikasi
yang digunakan oleh setiap individu dalam kehidupan sehari-hari. Dengan bahasa,
manusia dapat berinteraksi. Bahasa merupakan satu wujud yang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan manusia, sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa itu
milik manusia, bahasa selalu muncul dalam segala aspek kegiatan manusia. Oleh
karena itu memahami bahasa akan memungkinkan untuk memahami bentuk-bentuk
pemahaman manusia.
Manusia dalam mengungkapkan
gagasan dan pikirannya dapat melakukan beberapa cara. Cara pertama yakni dengan
dituturkan atau bahasa lisan yang dihasilkan oleh alat ucap. Sedangkan cara
kedua, yaitu dengan dituliskan atau dengan bahasa tulis. Selain dua cara
tersebut, adakalanya seseorang dalam mengeluarkan gagasan dan pikirannya dengan
menggunakan isyarat-isyarat tertentu atau dengan anggota badan tertentu. Bahasa
yang dimilki manusia memiliki batasan-batasan sesuai dengan kodrat
kemanusiaannya. Jadi bahasa Indonesia itu memang unik, arbitrer (manasuka), dan
universal.
Beberapa waktu yang lalu, kita
dihebohkan oleh gaya bicara Syahrini yang berbunyi “Hempas sana hempas sini,
jadi cantik”. Mendengar kata hempas seketika itu saya teringat puisi Chairil
Anwar yang berjudul “Yang Terempas dan Yang Putus”. Tampak ada perbedaan dari dua tulisan
tersebut. Perbedaannya ada pada penggunaan konsonan “h”. Penggunaan konsonan
“h” pada kata hempas itu tidak tepat. Coba saja cari kata hempas di Kamus Besar
Bahasa Indonesia baik versi cetak maupun daring, pasti tidak akan ditemukan.
Desember tahun lalu ketika
Gunung Agung di Bali erupsi, reporter televisi swasta yang ditonton oleh saya
mengucap “Pemerintah daerah terus berupaya menghimbau warga agar tidak warga
mendekati zona yang sudah ditentukan..”. Selintas ucapan itu tidak ada yang anah. Secara
isi, tulisan itu dapat dimaknai bahwa pemerintah daerah mengingatkan agar warga
menjauhi zona yang sudah ditentukan. Tetapi secara bentuk, tulisan itu ada yang
keliru. Ya benar, kekeliruannya yaitu penggunaan konsonan “h”.
Sekelas wartawan yang notabene saksikan oleh publik dalam
penerapan ejaan masih terjadi kekeliruan penggunaan ejaan. Ejaan merupakan konvensi suatu bahasa. Oleh sebab itu,
ejaan hanya berlaku untuk bahasa yang bersangkutan. Ejaan yang berlaku di
Indonesia saat ini yaitu Ejaan Bahasa Indonesia (EBI). Hal-hal yang berkaitan
dengan bentuk huruf dapat dibaca dalam Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia dan Kamus
Besar Bahasa Indonesia.
Kesalahan penulisan dalam hal
ini penggunaan konsonan “h” juga banyak terjadi di instansi-instansi lain
selain instansi pendidikan. Berdasarkan Pedoman
Umum Ejaan Bahasa Indonesia dan Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “shalat
” seharusnya tanpa menggunakan huruf “h” sehingga menjadi “salat”. Kata shalat
dipengaruhi oleh bentuk ejaan bahasa Arab sebelum diadaptasi ke bahasa
Indonesia.
Ada pepatah mengatakan “Bahasa
Melambangkan Bangsa”. Bahwa bahasa yang dipakai seseorang penutur mencerminkan
sikap, ciri, dan darimana seorang penutur itu berasal. Setiap orang memiliki
sejarah, budaya, dan bahasa yang terkait dengan kelompok sosial tertentu maka
dapat dikatakan bahwa tiap orang punya identitas kelomopok. Identitas ini sering
kali digunakan untuk memberikan label pada diri seorang penutur itu berasal.
Hal yang unik dan menjadi
primadona yakni kata saya menjadi sayah. Penggunaan konsonan H pada kata sayah
sering dilakukan oleh etnis Sunda. Selain samar dalam penggunaan konsonan f,
masyarakat Sunda juga memiliki ciri khas dalam penggunaan konsonan “h”. Apabila
kita berkenalan dengan seseorang di suatu tempat, dari penggunaan konsonan saja
sudah dapat diidentifikasi bahwa lawan tutur kita berasal dari Sunda. Demikian juga, ketika identitas etnis dari
seseorang terus menerus ditandai, secara otomatis akan memfokuskan pada ciri
yang ditandai itu.
Dalam tulisan “Diberitaukan
bahwa rapat akan diadakan besok pukul 09.00” pembenaran tulisan yang tepat
berdasarkan pendapat ahli dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia dan Kamus
Besar Bahasa indonesia menjadi “Diberitahukan bahwa rapat akan diadakan besok
pukul 09.00”. Mengapa? Karena penggunaan konsonan “h” pada kata “diberitaukan” seharusnya tidak
lenyap sehingga menjadi “Diberitahukan”. Sekarang sudah tahu ya. Awas tahu
bukan tempe. Hehe
Kata rupiah masih dalam
perdebatan. Kata rupiah sendiri
merupakan pelafalan asli Indonesia karena adanya penambahan huruf “h” di akhir kata rupya. Pelafalan yang sangat khas dari Sunda dan Jawa. Menurut wikipedia.org
nama rupiah sering dikaitkan dengan rupee
mata uang India, yang berasal dari koin perak. Namun sebagian berpendapat bahwa nama rupiah
berasal langsung dari bahasa Sansekerta dan bukan turunan dari mata uang India.
Kekeliruan-kekeliruan
penggunaan konsonan “h” di atas hanya
sebagian kecil yang dapat saya bahas. Kesalahan penggunaan konsonan “h” masih sering dijumpai pada bahasa tulis yang dibuat oleh instansi-instansi
pemerintah, buku tes di sekolah, media masa dan sebaginya. Kesalahan penggunaan konsonan “h” pada bahasa lisan juga masih sering dijumpai
pada ujaran tokoh publik nasional, tokoh publik daerah, maupaun wartawan dalam
meliput berita.
Selain bentuk kata hempas dan himbau,
beberapa kata juga tidak mencantumkan konsonan “h” baik dari segi ujaran maupun
tulisan. Rapi bukan rapih, utang bukan hutang, sepeda bukan sepedah, isap bukan
hisap, embus bukan hembus, pembaruan bukan pembaharuan, dan silakan bukan silahkan.
Saya rasa tidak ada pekerjaan
yang sia-sia daripada menyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Pedoman Umum
Ejaan bahasa Indonesia. Alangkah lebih baik gunakan huruf yang tepat, meskipun
tidak mengubah makna kata tetapi merusak ejaan bahasa Indonesia. kasus seperti
ini perlu menjadi perhatian bagi Badan
Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan umumnya untuk memberikan bimbingan dan sosialisasi Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Baik dalam arti sesuai situasi penggunaan dan
benar dalam arti sesuai kaidah kebahasaan. Bahasa
yang baik dan benar itu tidak jauh berbeda dari apa yang dikatakan baku.
Kebakuan sebuah bahasa sudah menunjukkan masalah ‘benar’ kata itu. Sedangkan masalah ‘baik’ tentu tidak sampai
pada sifat kebakuan suatu kalimat, tetapi sifat efektifnya suatu kalimat.
Hal
ini jangan dibiarkan berlarut-larut apalagi pengaruh bahasa percakapan
sehari-hari baik melalui ujaran atau pesan singkat di kalangan kita dapat memberikan kontribusi negatif terhadap
perkembangan bahasa Indonesia. Merujuk
pada pemikiran di atas, tugas bersama bagi seluruh elemen bangsa Indonesia
untuk menjaga eksistensi bahasa Indonesia. Kesadaran ini harus ditanamkan,
ditumbuhkan, dan dilestarikan kepada generasi Indonesia sejak usia dini.
Konsonan “h” itu perlu tetapi harus tepat penggunaannya. (*)
*Dimuat dalam Kolom Academia Untirta Harian
Kabar Banten, Senin 12 Februari 2018
Tidak ada komentar: