BAHASA IBU RIWAYATMU KINI
BAHASA
IBU RIWAYATMU KINI
OLEH
ZAKI FAHRIZAL
Tanggal 21 Februari
diperingati sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. UNESCO menetapkan tanggal 21
Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional untuk menjaga keberlangsungan
bahasa ibu kepada generasi penerus dan untuk menghormati hak etnolinguistik
semua penutur bahasa daerah setiap bangsa.
Bahasa Ibu merupakan bahasa yang pertama digunakan seseorang sejak ia
lahir. Bahasa ibu identik dengan bahasa daerah karena bagi sebagian orang
pemerolehan bahasa pertama (B1) berupa bahasa daerah. Menurut data, Indonesia
memiliki 742 bahasa daerah yang tersebar di beberapa daerah.
Akan tetapi, menjelang
peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional akhir-akhir ini sering terdengar
punahnya bahasa daerah. Mengapa bisa terjadi seperti itu? Ada apa dengan
penutur bahasa daerah? Saya membaca beberapa koran daerah banyak memberitakan
ancaman punahnya bahasa daerah, bahkan ada daerah yang sudah mengalami
kepunahan bahasa daerah. Berdasarkan data Kantor Bahasa Provinsi Maluku, dari
48 bahasa daerah di Maluku tujuh di antaranya telah punah seperti bahasa
Kayeli, Palumata, Moksela, Hukumina dari Kabupaten Buru, bahasa Piru Kabupaten
Seram Bagian Barat, bahasa Loun dari Seram Utara, serta bahasa di Kabupaten
Maluku Tengah dan Pulau Ambon. Selain
tujuh bahasa yang telah punah, ada 22 bahasa di Provinsi Maluku berstatus
terancam punah.
Selain di Provinsi
Maluku, berita ancaman punahnyabahasa daerah juga terjadi di Sumatera Barat.
Bahasa Minang yang dipakai oleh penutur masyarakat Sumatera Barat konon
terancam punah. ancaman kepunahan Bahasa Minang bukan karena jumlah penuturnya
tetapi disebabkan ketidakbanggaan generasi muda Minangkabau menggunakan Bahasa
Minang. Selain karena ketidak banggaan generasi muda Minagkabau, sikap berbahasa
orangtua di rumah juga menambah ancaman kepunahan Bahasa Minang. Orangtua di
Sumbar dalam berkomunikasi dengan anak lebih memilih menggunakan bahasa
Indonesia tinimbang menggunakan Bahasa Minang.
Hal tersebut juga yang
sedang saya alami. Saya bertempat tinggal di lingkungan mayoritas bahasa Jawa
Banten tetapi sekarang anak-anak (generasi muda) di tempat tinggal saya banyak
yang tidak bisa berbahasa Jawa Banten. Entah karena alasan gengsi, malu, atau
kasar, rata-rata generasi muda di tempat tinggal saya mulai meninggalkan bahasa
ibunya.
Punahnya bahasa daerah di
beberapa tempat terjadi karena beberapa faktor, pertama, sikap negatif pemakai
bahasa karena bahasa daerah dianggap kampungan. zaman sekarang, bagi kalangan
remaja jika menggunakan bahasa daerah ada kekhawatiran di-bully (rundung). Maka tidak heran banyak remaja merasa takut akan
penggunaan bahasa daerah di kelompoknya. Kedua, bencana alam yang menimpa
permukiman penduduk menyebabkan perpindahan penduduk. Perpindahan penduduk dari
tempat yang terkena bencana menuju tempat yang baru sehingga bahasa daerah yang
awalnya dipakai kemudian menyesuaikan dengan tempat baru. Ketiga, beberapa
tempat ada pelarangan menggunakan bahasa daerah. Pelarangan biasanya terjadi
ditempat-tempat tertentu dan biasanya mengharuskan penggunaan bahasa Indonesia
atau bahasa Inggris.
Kasus di atas contoh dari
sekian banyaknya kasus ancaman kepunahan bahasa daerah. Menurut data setengah
dari 7.105 jumlah bahasa daerah di dunia akan punah dalam beberapa dekade ke
depan. Itu artinya ada 14 bahasa daerah akan punah setiap harinya.
Upaya-upaya yang dapat
dilakukan guna melestarikan bahasa daerah yakni dengan 1) pemerintah diharapkan
membuat kegiatan-kegiatan yang sifatnyata menjaga dan merawat bahasa daerah; 2)
membuat Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, Peraturan Walikota dan sejenisnya
yang mengatur penggunaan bahasa daerah; 3) memasukkan bahasa daerah ke dalam
mata pelajaran muatan lokal (Mulok) di sekolah; 4) melakukan pemahaman dan
pendampingan kepada generasi muda untuk bangga terhadap penggunaan bahasa
daerah. 5) penggunaan bahasa daerah di rumah sebaiknya dilakukan tanpa
meninggalkan. Komunikasi anak dengan orangtua di rumah sebaiknya menggunakan
bahasa daerah agar si anak dapat terbiasa menggunakan bahasa daerahnya. 6)
tugas pelestarian bahasa daerah bukan soal tugas Kantor atau Badan Bahasa saja,
tetapi juga tugas semua pihak seperti media massa, budayawan, seniman, musisi,
dan pihak-pihak lain yang dianggap mampu berperan dalam merawat bahasa daerah.
Beberapa bahasa daerah di
Indonesia telah punah dan sebagian lagi terancam punah. Jangan sampai kita
sebagai generasi muda yang bangga dengan daerahnya tetapi tidak mengetahui
bahasa ibunya! (*)
*Dimuat dalam Kolom
Academia Untirta Harian Umum Kabar Banten edisi Selasa 13 Maret 2018
Tidak ada komentar: