Ads Top

KAKI LIMA YANG TIDAK LIMA KAKI



KAKI LIMA YANG TIDAK LIMA KAKI
Oleh
ZAKI FAHRIZAL

Akhir-akhir ini frasa kaki lima sering terdengar baik dari ucapan teman ataupun dari pewarta stasiun televisi. Frasa kaki lima menjadi fenomenal lantaran bergabung dengan kata pedagang sehingga menjadi pedagang kaki lima atau biasa disingkat PKL. Pemberitaan pedagang kaki lima (PKL) sedang hangat-hangatnya lantaran Pemerintah Provinsi DKI membuat kebijakan baru dalam penataan pedagang kaki lima (PKL), terutama penataan PKL di kawasan Tanah Abang. Ya benar, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengizinkan kembali PKL berjualan di jalan, lantas hal itu menjadi viral.
Fenomena pedagang kaki lima (PKL) sebenarnya tidak hanya terjadi di DKI Jakarta saja. Di kota tempat tinggal saya sendiri, pedagang kaki lima (PKL) sangat menjamur. Pedagang kaki lima (PKL) dapat saya temui dengan mudah, seperti: ketika saya ke luar rumah dan berjalan ke arah jalan raya, di sana banyak ditemui  pedagang kaki lima (PKL). Kemduian ketika saya pergi ke Alun-alun Kota, pastilah saya menemukan pedagang kaki lima (PKL). Bahkan  jika ketika saya ingin membeli obat di apotek, saya temui pedagang kaki lima (PKL) bertepatan sebelah apotek. Kasawasan Cagar Budaya Banten Lama juga banyak dijumpai pedagang kaki lima (PKL) yang berkumpul dan berjejer rapi. Pokoknya pedagang kaki lima dapat kita jumpai di mana pun.
Melihat pedagang kaki lima (PKL) lalu saya terpikir bagaimana bisa pedagang-pedagang tersebut disebut dan diberi nama menjadi pedagang kaki lima (PKL)? Bukankah dari namanya saja sudah jauh dari pemaknaan dan tidak sesuai dengan rujukan makna? Jika ingin diberi nama pedagang kaki lima maka harus ada lima kaki, sedangkan yang saya temui dari pedagang kaki lima itu ada banyak kaki. Bagaimana bisa? mengapa tidak menggunakan istilah pedagang emperan atau pedagang gerobakan atau pedagang bertenda? Mungkin istilah itu lebih tepat, bukan?
Ada pendapat yang menggunakan istilah pedagang kaki lima (PKL) untuk pedagang yang menggunakan gerobak. Istilah itu sering ditafsirkan demikian karena jumlah kaki pedagangnya ada lima. Lima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga "kaki" (yang sebenarnya adalah tiga roda, atau dua roda dan satu kaki kayu).
Menurut saya, pendapat itu tidak berdasar dan terlalu mengada-ada. Fenomena pedagang kaki lima harus dilihat dari hal yang belatarbelakanginya.  Dalam historia.id menjelaskan bahwa istilah ini merupakan implikasi dari sebuah kesalahan terjemahan yang dilakukan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Istilah trotoar selebar lima kaki yang dicanangkan oleh Raffles disebut Five Foot Way, dan para pedagang yang berjualan di trotoar tersebut pun disebut sebagai Five Foot Way Trader. Lantas, ketika diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu, istilah five foot rupanya disalahmaknakan sebagai kata majemuk. Dalam terjemahannya, hukum Menerangkan-Diterangkan dalam Bahasa Inggris diubah menjadi Diterangkan-Menerangkan sehingga, terjemahan tersebut bukan menjadi lima kaki, melainkan kaki lima.
Jika dalam bahasa Inggris menggunakan aturan M-D (menerangkan-diterangkan) maka dalam bahasa Indonesia ada aturan yang dapat digunakan yakni D-M (diterangkan-menerangkan). Alisjahbana, (1983:73) merinci Hukum D-M, singkatan dari "diterangkan-menerangkan", adalah aturan dalam tata bahasa bahasa Indonesia yang menyebutkan bahwa "baik dalam kata majemuk maupun dalam kalimat, segala sesuatu yang menerangkan selalu terletak di belakang yang diterangkan.  Sekian puluh tahun kesalahan pegistilahan itu terjadi. Padahal jika merunut sejarahnya, seharusnya namanya adalah pedagang lima kaki bukan pedagang kaki lima. Bahkan para pedagang yang tidak berjualan di trotoar sering disebut pedagang kaki lima. sifat bahasa yang manasuka (arbitrer) membuat bahasa menjadi unik. Setiap orang bebas menamakan asalkan ada kesepakatan. Tetapi jika kita mengacu pada bahasa yang baik dan benar tentu menyalahi.
Selain kesalahan penggunaan istilah kaki lima, kesalahan pedagang kaki lima (PKL) lainnya yakni tempat berjualannya. Di beberapa tempat, pedagang kaki lima dipermasalahkan karena merenggut hak pengguna jalan yang lima kaki (trotoar), menggagnggu para pengendara kendaraan bermotor yang melintas, menyalahi peraturan perundang-undangan.  Pedagang kaki lima (PKL) melanggar Undang-Undang. Sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyebutkan, jalan adalah seluruh bagian jalan termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan lalu lintas umum, yang berada pada permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan rel dan jalan kabel.
Tidak hanya itu, sesuai dengan UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel.
Terlepas dari sengkarut permasalahan dari pedagang kaki lima (lima kaki), baik dari segi bahasa ataupun tempat berjualannya. Pemerintah sebenarnya sudah mempunyai payung hukum untuk menidak tegas pedagang lima kaki. Jika ingin indah tata kotanya tindak tegas, tetapi tindakan tegas juga harus memberi solusi kepada pedagang lima kaki tersebut. Seperti menyediakan tempat khusus berupa pojok pedagang makanan, pojok pedagang busana, pojok pedagang alat rumah tangga, dan pojok-pojok lain yang sifatnya solutif.
Saya sendiri juga sering membeli barang dagangan pedagang kaki lima (PKL) karena harga yang jauh lebih murah dibanding di toko atau mall. Jadi tinggal bagaimana peran pemerintah dalam membuat kebijakan yang tepat dan prorakyat. Pedagang kaki lima juga manusia, warga negaranya sendiri. (*)

*Dimuat dalam Kolom Opini Harian Tangsel Pos, Senin 5 Maret 2018 dan Harian Banten Pos, Selasa 6 Maret 2018

Tidak ada komentar:

zakifahrizal. Diberdayakan oleh Blogger.