MENGEMBALIKAN PENDIDIKAN KE RUMAH
MENGEMBALIKAN
PENDIDIKAN KE RUMAH
Oleh Zaki Fahrizal
Baru-baru ini terjadi
kasus meninggalnya guru akibat berkelahi dengan murid. Pak Budi dengan nama
lengkap Ahmad Budi Cahyono seorang guru di SMAN 1 Torjun, Kabupaten Sampang,
Jawa Timur. Dia meninggal dunia setelah dianiaya siswanya sendiri, berinisial
HI pada 1 Februari 2018. Kasus tersebut membuat geger jagat dunia pendidikan.
Inilah sebagian potret pendidikan Indonesia zaman kini.
Semua contoh kasus tersebut bermuara di satu masalah utama, yaitu pendidikan.
Lantas apa dan bagaimana model pendidikan yang tepat bagi Indonesia? bukankah
Pemerintah Indonesia sudah mengeluarkan kebijakan berupa Pendidikan Karakter di
sekolah? Namun mengapa masih terjadi kasus-kasus kekerasan dan pelecehan
terhadap siswa di sekolah? bukakah sekolah tempat mencetak generasi yang baik?
Ada sistem yang salahkah dengan pendidikan Indonesia?
Ketika menjadi mahasiswa
sering saya dengar slogan “Mahasiswa merupakan agen perubahan”. Slogan ini
sering teringang di teling dan terkadang menjadi beban bagi saya khususnya.
Mengapa menjadi beban? Saya berpikir betapa beratnya tugas seseorang ketika
menjadi mahasiswa. Ia dituntut menjadi seorang yang mampu membawa perubahan
bagi kelompok, masyarakat bahkan sampai negara. Betapa besar amanah dan
tanggung jawab yang dipikulnya? Nah, sekarang bagaimana dengan orangtua yang
memiliki anak? Berkaca dari slogan “Mahasiswa merupakan agen perubahan”, saya
terpikir dengan slogan “Orangtua merupakan agen pendidikan”. Semua percakapan
orangtua akan direkam dan dicontoh oleh anaknya, bukan? Bukankah orangtua
madrasah diniyah bagi anak?
Sepertinya konsep
pendidikan karakter dan konsep orangtua madrasah diniyah bagi anak hanya berupa
wacana saja. Dalam pelaksanaannya pendidikan karakter yang digaungkan oleh pemerintah
belum sepenuhnya berhasil dilaksananakan oleh satuan pendidikan. Banyak kendala
yang dihadapi dalam penerapan di lapanga. Kemdudian, konsep pendidikan orangtua
madrasah diniyah bagi anak juga belum sepenuhnya berhasil. Terlebih saat ini
orangtua siswa banyak yang menitipkan anaknya ke sekolah-sekolah. Banyak
orangtua menyekolahkan anaknya meski si anak masih usia balita. Orangtua lebih
memilih jalan praktis nan instan, memasukan anak ke sekolah yang dirasa tepat.
Akibatnya banyak anak yang lebih dekat dengan guru dibanding orangtuanya
sendiri.
Selain dua persoalan di
atas, ada juga yang tidak tepat ketika orangtua mendidik anak. Banyak orangtua
di Indonesia menjadikan kemampuan kognitif sebagai tolok ukur anak. Anak yang
sudah pandai menghitung dan membaca dianggap lebih pintar dibanding anak yang
suka bermain sepak bola. Kecerdasan intelektual bukanlah satu-satunya yang
dibutuhkan seorang anak. Finlandia tidak menjadikan kemampuan kognitif sebagai satu-satunya
tolok ukur kesuksesan seseorang. Padahal jika dilihat dari segi kemampuan lain,
ada kemampuan emosional dan kemampuan pemecahan masalah serta minat bakat yang
dapat menjadikan anak dikatakan cerdas.
Ada hal lain seperti kemampuan
emosional dan pemecahan masalah dibutuhkan sekolah dan bekerja. Rapor dan
ijazah dalam dunia kerja hanya dipakai sebagai formalitas penerimaan pekerjaan,
sumber daya manusia dihargai sebagai kompetensi psikomotorik dan afektifnya.
Sedangkan kemampuan kognitifnya diserahkan ke sebuah alat hitung dan analisis
bernama komputer.
Pendidikan yang baik seharusnya memiliki arah jelas bagi pengembangan
beragam kecerdasan majemuk (multiple
intelligence) yang dimiliki anak. Pendidikan di zaman
sekarang, pemerintah harus memberikan program keterampilan hidup (life skill) abad 21 siswa di sekolah
sesuai dengan bakatnya masing-masing. Selain itu, pola pembelajarannya juga
sedikit berbeda dan memang mengakomodisasi hak-hak siswa sebagai penuntut ilmu.
Selain itu, pendidikan di
zaman sekarang seharusnya mengajarkan anak untuk mengahargai perbedaan, mengatasi
diskriminasi, menciptakan masyarakat yang ramah, dan membangun masyarakat yang
cerdas sesuai amanat Pembukaan UUD 1945. Pendidikan harus merespon keberagaman
talenta individual dan memungkinkan setiap individu menemukan tempatnya di
masyarakat. Sekolah-sekolah harus mendorong keinginan individu untuk hidup
bersama dan mengembangkan bakat yang dimilikinya. Pemerintah harus memerhatikan kemampuan siswa yang begitu
unik dan beragam.
Bagi orangtua di rumah
banyak langkah yang dapat dilakukan, seperti membatasi penggunaan gawai anak,
tidak menuntut anak untuk terus belajar guna mendapat nilai tinggi, dan
menyisihkan waktu untuk berdiskusi dengan anak. Orangtua harus meninjau kembali
kebermanfaatan gawai bagi anak. Jika tidak terlalu penting lebih baik tidak
usah dibelikan. Jika gawai itu penting dan diperlukan bagi anak terutama anak
usia sekolah, hal itu dibolehkan tetapi tetap dengan pengawasan dan
pendampingan. Selain membatasi penggunaan gawai, peran orangtua di rumah juga
dapat dijadikan teman diskusi. Anak akan lebih terbuka jika orangtuanya juga
terbuka dan memberi waktu luang untuk berdiskusi seputar masalah anak.
Lingkungan keluarga dalam
hal ini orangtua memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan anaknya.
Anak-anak menerima, memproses, menyimpan kata-kata, kalimat, sikap yang ia lihat
dari orangtua yang ada di rumah. Peran orangtua menjadi penting dalam mendidik.
Orangtua menjadi agen pendidikan di rumah bagi anak-anaknya. Jadi, maju
mundurnya suatu bangsa bergantung pada pola pendidikan anak di rumah. Harta
yang paling berharga adalah keluarga, mutiara yang paling bernilai adalah anak
yang berguna. (*)
#sahabatkeluarga#sahabatdikbud#menulisuntukkebermanfaatan
https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/forum/showthread.php?tid=18371
Tidak ada komentar: