Guru dan Keka(r)yaan
Guru dan Keka(r)yaan
Oleh Zaki Fahrizal
Dua pekan yang lalu, saya mengikuti acara lomba guru berprestasi dan berdedikasi tingkat nasional di Jakarta. Sebuah lomba yang diperuntukkan bagi PTK dari instansi negeri dan swasta yang memiliki prestasi di kategori masing-masing. Bertemu bapak ibu guru berprestasi dari 33 provinsi begitu beruntung. Kesempatan langka dan pengalaman berharga sekali.
Bagi saya menjadi juara ditingkat provinsi saja sudah senang, apalagi sampai bisa menjadi duta untuk mewakili provinsi Banten pada acara pemilihan guru berprestasi tingkat nasional. Sungguh tidak diduga akhirnya menjadi nyata. Menjadi peserta termuda di kategori yang diikuti menambah antusias dan semangat untuk menimba ilmu serta pengalaman kepada bapak ibu guru senior yang berpengalaman. Ya, rata-rata para peserta memang lebih tua dari saya bahkan ada yang sudah berkepala 5. Namun semangat mereka untuk berkarya tetap membara dan terbina. Meski diusia senja dan kondisi kesehatan mulai menua, gagasan akan konsep memajukan pendidikan perlu diacungi empat jempol. Di saat guru-guru seusianya tinggal menikmati kekayaan dan penantian habis massa kerja, tetapi semangat peserta guru berpestasi yang menua tetap di dada. Sebenarnya ini sosok guru inspiratif. Sosok guru yang mau bekerja dan berkarya. Sosok guru yang membangun karsa untuk mencipta. Sosok guru memberi motivasi dan berbagi pengalaman pada yang muda.
Di berbagai forum diskusi baik dalam jaringan ataupun luar jaringan, saya sering menyimak topik diskusi beberapa guru hanya mempersoalkan tunjangan dan uang semata. "Kapan si serti cair", "Sudah ada sms si cinta belum?", "Cek ATM sekarang", dan lain sebagainya. Selain itu ada juga guru yang tugasnya meneruskan pesan berantai (broadcast) via media sosial yang hanya copy paste. Sudah copy paste informasinya pun hoaks. Lha ini bagaimana? Beda halnya jika ada beberapa guru yang mengajak diskusi karya. Jika ada guru yang mengajak diskusi karya baik itu karya siswa atau karya guru, grup kemudian sepi tidak ada yang merespon. Hanya dilihat tanpa ada komentar.
Bahkan ada di grup media sosial guru yang topik diskusinya hanya soal kelompok diskusinya saja. Selain yang menyangkut topik grup maka dilarang. Lalu bagaimana jika ada guru yang ingin mengajak membuat karya kemudian mengirim ajakan ke grup? jawabannya tetap, harus sesuai dengan peruntukan dibuatnya grup. Sekarang pertanyaannya, di mana guru yang memilki karya dan memerdekakan hasil karyanya?
Beruntunglah pemerintah melalui beberapa kementeriannya membuat ruang-ruang guru untuk berkarya. Seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah menyelenggarakan lomba guru berprestasi dan berdedikasi, lalu ada lomba guru menulis artikel opini, ada olimpiade guru nasional, dan lain-lain. Kementerian PANRB menggelar Anugerah ASN inspiratif dan bisa diikuti oleh para guru. Kementerian PANRB mencari sosok ASN panutan yang menunaikan tugasnya dengan baik. Selain Kemdikbud dan Kementerian PANRB yang menyelenggarakan lomba guru, masih banyak kementerian dan organisasi-organisasi lain yang membuat wadah bagi guru untuk berkarya.
Sejatinya, guru adalah mahluk yang harus terus belajar dan terus berkarya. Bukan hanya karya murid yang dipajang di dinding-dinding atau loker-loker almari di sudut sekolah, melainkanjuga karya guru yang mulia.
Harimau mati meninggalkan belang,
Manusia manti meninggalkan nama. Guru mati meninggalkan karya. Terus dan tetaplah berkarya. Mari para guru menua dengan meninggalkan karya. (*)
*Dimuat dalam kolom opini Kabar Banten Kamis 13 September 2018.
Tidak ada komentar: