![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgz16AD4QGEelL0O9K_GyNiJLV5-kqhNH8cuyPHtZOuGGE1dlnELK_I_8Lw0pz6I_-zO1xlRwDl5u0viDvQ-ZrfP-4ZHjnmKzD373oZeOapMKJUi0CgB8UT2yncN5eopCs1lFZY2Y14QFVG/s1600/ppk+melalui+pem.+sastra.jpg)
PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI PEMBELAJARAN SASTRA
Oleh
ZAKI
FAHRIZAL
Indonesia memiliki banyak
jenis budaya. Setiap tempat di daerah memiliki ciri khas budayanya
masing-masing. Salah satu keanekaragaman budaya yang dimiliki indonesia berupa
karya sastra. Karya sastra merupakan media untuk mengungkapkan pikiran-pikiran
pengarang yang bersifat imajinatif, estetik dan menyenangkan pembaca. Sebuah
karya sastra tercipta dari pengalaman batin dan spiritual penulisnya.
Penciptaan ini akibat respon atas keadaan sekitarnya. Lewat karya sastra,
realita dituangkan sedemikian estetis agar dapat dinikmati masyarakat. Belajar
sastra berarti belajar memanusiakan manusia.
Dengan bersastra kita dapat
memahami karakter seseorang. Manusia tidak bisa lepas dari bahan bacaan. Setiap
hari manusia disuguhkan bacaan-bacaan. Bahan bacaan sastra memiliki beberapa
ragam, meliputi: puisi, prosa (cerpen, novel), dan naskah drama.dari ketiga
jenis bacaan tersebut, jenis prosa yang paling banyak diminati pembaca.
Pradopo (2002:85) menjelaskan
bahwa sastra terbagi atas dua aspek yaitu aspek estetik dan aspek ekstra
estetik. Pertama, aspek estetik berkaitan dengan struktur estetik karya sastra.
Struktur estetik merupakan struktur atau susunan yang didasarkan pada
pemerolehan nilai seni. Karya sastra disusun sedemikian rupa guna mendapatkan
keindahan bagi pendengar atau pembacanya. Struktur ini meliputi rima
(persajakan), irama, diksi (pemilihan kata yang tepat), gaya bahasa (majas),
tipologi (bentuk tulisan) dan sebagainya yang kesemuanya untuk mendapatkan efek
estetik. Kedua, aspek ekstra estetik berkaitan dengan bahan-bahan karya sastra.
Bahan-bahan karya sastra berupa kata-kata, tingkah laku manusia,
gagasan-gagasan, dan sikap-sikap manusia.
Pradopo melanjutkan, bahwa
karya sastra dikatakan besar apabila bahan-bahannya bernilai tinggi. Dalam hal
ini dapat diartikan bahwa, karya sastra disebut besar bila dapat
mengekspresikan nilai kehidupan yang besar. Nilai kehidupan yang besar itu
meliputi: pikiran-pikiran yang tinggi dan menambah wawasan pembaca, perwatakan
tokoh yang kompleks, alur cerita yang hebat, dan gambaran-gambaran kehidupan
yang menimbulkan renungan (kontemplasi). Jadi kedua aspek karya sastra ini
saling berhubungan. Seperti jiwa dan hidup manusia yang kesemuanya tidak dapat
dipisahkan. Aspek estetik melahirkan keindahan, sedangkan aspek ekstra estetik
memunculkan kegunaan sehingga karya sastra bernilai tinggi bagi pembacanya.
Seperti Ali Akbar Navis atau yang biasa di sapa A. A. Navis. Dalam novel Robohnya Surau Kami, iya mengingaktkan
kita bahwa ibadah saja tidak cukup. Mengingaktkan kita agar pentingnya
berhubungan dengan sesama manusia, tidak egois, selalu memperhatikan lingkungan
keluarga serta masyarakat.
Berbicara sastra tidak dapat
dilepaskan dari potret di zamannya. Endraswara (2003: 89) menyatakan bahwa karya sastra yang
cenderung memantulkan keadaan masyarakat mau tidak mau akan menjadi saksi
zaman. Sesuai apa yang dikemukakan Endraswara bahawa sastra dapat
mendokumentasikan sebuah peristiwa pada masa karya itu diciptakan. Seorang
penyair atau penulis karya sastra menghasilkan kata-kata untuk memotret sebuah
fakta aktual dan imajinatif untuk dijelaskan kepada pembaca.
Sekedar menyebutkan beberapa contoh, Novel Idrus yang
berjudul Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke
Roma merekam sebuah periode singkat sejarah Indonesia. Salah satu kumpulan
cerita berjudul “Jaman Jepang” yang berkisah tentang penderitaan dan semangat
revolusi memberi inspirasi kepada kita tentang pentingnya nasionalisme. Selain
“Jaman Jepang” beberapa karya Idrus yakni “Ave Maria” berkisah tentang kisah
cinta segitiga antara Zulbahri, Wartini, dan Syamsu. Di akhir cerita, Zulbahri
memilih mengabdikan diri pada tanah air kemudian bergabung dengan tentara heiho (tentara Jepang di Indonesia).
Di zaman seperti sekarang,
sastra hendaknya tidak melulu mengkritisi kelemahan-kelemahan yang terdapat di
masyarakat, melainkan harus ikut bertanggung jawab untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Mengkritisi kelemahan memang
diperlukan tetapi mengkritisi dengan memberikan saran jauh lebih baik.
Di sekolah-sekolah, sastra
juga seharusnya dapat dioptimalkan keberadaannya. Sekolah-sekolah
beerlomba-lomba dalam menerapkan kegiatan literasi (membaca-menulis). Dari
kegiatan literasi itu, siswa dikenalkan dengan bacaan-bacaan yang bermutu yaitu
bacaan sastra. Kesusastraan itu bersifat didaktik, jadi sangat cocok untuk
diterapakan di sekolah. Bacaan sastra mengandung nilai-nilai karakter yang
dapat diambil manfaatnya oleh siswa dan hal ini sejalan dengan program
pemerintah yakni penguatan pendidikan karakter (PPK) di sekolah.
Dalam Undang-Undang tersebut, dijelaskan
bahwa fungsi dan tujuan pendidikan nasional ialah mengembangkan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Kemampuan kognitif bukanlah
satu-satunya yang dibutuhkan seorang siswa. Ada faktor lain yang lebih
berpotensi dikembangkan yakni kemampuan
afektif (moral). Kemampuan moral ini berhubungan dengan karakter seseorang. Pendidikan
karakter harus sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Oleh karena itu,
nilai-nilai pendidikan karakter yang dikembangkan harus terintegrasikan dengan
tujuan pendidikan nasional.
Fadlillah dan Khoirida
(2013:22) menjelaskan bahwa pendidikan karakter ialah suatu pendidikan yang
mengajarkan tabiat, moral, tingkah laku maupun kepribadian. Maksudnya proses pembelajaran yang dilakukan
di lembaga pendidikan harus mampu mengarahkan, mengembangkan, dan menanamkan
nilai-nilai kebaikan kepada peserta didik yang kemudian dapat diimplementasikan
dalam kehidupan sehari-hari.
Guru Bahasa Indonesia harus
menjadi pilar terdepan dalam kegiatan bersastra. Tetapi guru Bahasa Indonesia
tidak perlu cemas apabila diminta tampil layaknya seorang sastrawan. Apabila
guru Bahasa Indonesia kesulitan dalam memperaktikkan kegiatan bersastra, guru
Bahasa Indonesia dapat meminta tolong teman sejawat atau seseorang yang
dianggap mampu memperaktitikkan kegiatan bersastra. Jadi guru Bahasa Indonesia tidak
harus menjadi sastrawan untuk mengajarkan kegiatan bersastra, melainkan cukup dapat
menjadi pendidik Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah.
Jadi pembelajaran sastra di
sekolah sangat bermanfaat. Pembelajaran sastra dapat menguatkan karakter siswa.
Tidak hanya mata pelajaran pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan
saja, sastra pun bisa. Belajar susastra belajar memanusiakan manusia Indonesia.
(*)
*Dimuat dalam kolom Ruang Publik Harian Banten Pos edisi Selasa 2 Januari 2018
*Dimuat dalam kolom Ruang Publik Harian Banten Pos edisi Selasa 2 Januari 2018
Tidak ada komentar: