Ads Top

PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI PEMBELAJARAN SASTRA


PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI PEMBELAJARAN SASTRA
Oleh
ZAKI FAHRIZAL

Indonesia memiliki banyak jenis budaya. Setiap tempat di daerah memiliki ciri khas budayanya masing-masing. Salah satu keanekaragaman budaya yang dimiliki indonesia berupa karya sastra. Karya sastra merupakan media untuk mengungkapkan pikiran-pikiran pengarang yang bersifat imajinatif, estetik dan menyenangkan pembaca. Sebuah karya sastra tercipta dari pengalaman batin dan spiritual penulisnya. Penciptaan ini akibat respon atas keadaan sekitarnya. Lewat karya sastra, realita dituangkan sedemikian estetis agar dapat dinikmati masyarakat. Belajar sastra berarti belajar memanusiakan manusia.
Dengan bersastra kita dapat memahami karakter seseorang. Manusia tidak bisa lepas dari bahan bacaan. Setiap hari manusia disuguhkan bacaan-bacaan. Bahan bacaan sastra memiliki beberapa ragam, meliputi: puisi, prosa (cerpen, novel), dan naskah drama.dari ketiga jenis bacaan tersebut, jenis prosa yang paling banyak diminati pembaca.
Pradopo (2002:85) menjelaskan bahwa sastra terbagi atas dua aspek yaitu aspek estetik dan aspek ekstra estetik. Pertama, aspek estetik berkaitan dengan struktur estetik karya sastra. Struktur estetik merupakan struktur atau susunan yang didasarkan pada pemerolehan nilai seni. Karya sastra disusun sedemikian rupa guna mendapatkan keindahan bagi pendengar atau pembacanya. Struktur ini meliputi rima (persajakan), irama, diksi (pemilihan kata yang tepat), gaya bahasa (majas), tipologi (bentuk tulisan) dan sebagainya yang kesemuanya untuk mendapatkan efek estetik. Kedua, aspek ekstra estetik berkaitan dengan bahan-bahan karya sastra. Bahan-bahan karya sastra berupa kata-kata, tingkah laku manusia, gagasan-gagasan, dan sikap-sikap manusia.
Pradopo melanjutkan, bahwa karya sastra dikatakan besar apabila bahan-bahannya bernilai tinggi. Dalam hal ini dapat diartikan bahwa, karya sastra disebut besar bila dapat mengekspresikan nilai kehidupan yang besar. Nilai kehidupan yang besar itu meliputi: pikiran-pikiran yang tinggi dan menambah wawasan pembaca, perwatakan tokoh yang kompleks, alur cerita yang hebat, dan gambaran-gambaran kehidupan yang menimbulkan renungan (kontemplasi). Jadi kedua aspek karya sastra ini saling berhubungan. Seperti jiwa dan hidup manusia yang kesemuanya tidak dapat dipisahkan. Aspek estetik melahirkan keindahan, sedangkan aspek ekstra estetik memunculkan kegunaan sehingga karya sastra bernilai tinggi bagi pembacanya. Seperti Ali Akbar Navis atau yang biasa di sapa A. A. Navis. Dalam novel Robohnya Surau Kami, iya mengingaktkan kita bahwa ibadah saja tidak cukup. Mengingaktkan kita agar pentingnya berhubungan dengan sesama manusia, tidak egois, selalu memperhatikan lingkungan keluarga serta masyarakat.
Berbicara sastra tidak dapat dilepaskan dari potret di zamannya. Endraswara (2003: 89) menyatakan bahwa karya sastra yang cenderung memantulkan keadaan masyarakat mau tidak mau akan menjadi saksi zaman. Sesuai apa yang dikemukakan Endraswara bahawa sastra dapat mendokumentasikan sebuah peristiwa pada masa karya itu diciptakan. Seorang penyair atau penulis karya sastra menghasilkan kata-kata untuk memotret sebuah fakta aktual dan imajinatif untuk dijelaskan kepada pembaca.
Sekedar menyebutkan beberapa contoh, Novel Idrus yang berjudul Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma merekam sebuah periode singkat sejarah Indonesia. Salah satu kumpulan cerita berjudul “Jaman Jepang” yang berkisah tentang penderitaan dan semangat revolusi memberi inspirasi kepada kita tentang pentingnya nasionalisme. Selain “Jaman Jepang” beberapa karya Idrus yakni “Ave Maria” berkisah tentang kisah cinta segitiga antara Zulbahri, Wartini, dan Syamsu. Di akhir cerita, Zulbahri memilih mengabdikan diri pada tanah air kemudian bergabung dengan tentara heiho (tentara Jepang di Indonesia).
Di zaman seperti sekarang, sastra hendaknya tidak melulu mengkritisi kelemahan-kelemahan yang terdapat di masyarakat, melainkan harus ikut bertanggung jawab untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Mengkritisi kelemahan memang diperlukan tetapi mengkritisi dengan memberikan saran jauh lebih baik.
Di sekolah-sekolah, sastra juga seharusnya dapat dioptimalkan keberadaannya. Sekolah-sekolah beerlomba-lomba dalam menerapkan kegiatan literasi (membaca-menulis). Dari kegiatan literasi itu, siswa dikenalkan dengan bacaan-bacaan yang bermutu yaitu bacaan sastra. Kesusastraan itu bersifat didaktik, jadi sangat cocok untuk diterapakan di sekolah. Bacaan sastra mengandung nilai-nilai karakter yang dapat diambil manfaatnya oleh siswa dan hal ini sejalan dengan program pemerintah yakni penguatan pendidikan karakter (PPK) di sekolah.
Dalam Undang-Undang tersebut, dijelaskan bahwa fungsi dan tujuan pendidikan nasional ialah mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Kemampuan kognitif bukanlah satu-satunya yang dibutuhkan seorang siswa. Ada faktor lain yang lebih berpotensi dikembangkan  yakni kemampuan afektif (moral). Kemampuan moral ini berhubungan dengan karakter seseorang. Pendidikan karakter harus sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Oleh karena itu, nilai-nilai pendidikan karakter yang dikembangkan harus terintegrasikan dengan tujuan pendidikan nasional.
Fadlillah dan Khoirida (2013:22) menjelaskan bahwa pendidikan karakter ialah suatu pendidikan yang mengajarkan tabiat, moral, tingkah laku maupun kepribadian.  Maksudnya proses pembelajaran yang dilakukan di lembaga pendidikan harus mampu mengarahkan, mengembangkan, dan menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada peserta didik yang kemudian dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Guru Bahasa Indonesia harus menjadi pilar terdepan dalam kegiatan bersastra. Tetapi guru Bahasa Indonesia tidak perlu cemas apabila diminta tampil layaknya seorang sastrawan. Apabila guru Bahasa Indonesia kesulitan dalam memperaktikkan kegiatan bersastra, guru Bahasa Indonesia dapat meminta tolong teman sejawat atau seseorang yang dianggap mampu memperaktitikkan kegiatan bersastra. Jadi guru Bahasa Indonesia tidak harus menjadi sastrawan untuk mengajarkan kegiatan bersastra, melainkan cukup dapat menjadi pendidik Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah.
Jadi pembelajaran sastra di sekolah sangat bermanfaat. Pembelajaran sastra dapat menguatkan karakter siswa. Tidak hanya mata pelajaran pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan saja, sastra pun bisa. Belajar susastra belajar memanusiakan manusia Indonesia. (*)



*Dimuat dalam kolom Ruang Publik Harian Banten Pos edisi Selasa 2 Januari 2018

Tidak ada komentar:

zakifahrizal. Diberdayakan oleh Blogger.