BATASAN FONOLOGI PEMEROLEHAN BAHASA PADA ANAK UMUR 2 TAHUN
BATASAN FONOLOGI PEMEROLEHAN BAHASA
PADA ANAK UMUR 2 TAHUN
oleh
Zaki Fahrizal
Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia
Pascasarjana Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
PENDAHULUAN
Bahasa adalah satu wujud yang tidak
dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa
itu adalah milik manusia, bahasa selalu muncul dalam segala aspek kegiatan
manusia. Bahasa adalah cara utama untuk mengkomunikasikan isi pikiran. Selain
bahasa merupakan cara universal: setiap masyarakat manusia memiliki bahasa dan
setiap manusia memiliki kecerdasan normal memperoleh bahasa aslinya dan menggunakannya
tanpa kesulitan. Kealamiahan bahasa kadang-kadang melenakan kita ke dalam
pendapat bahwa bahasa tidak membutukan pengkelasan khusus. Pemakaian bahasa
memiliki dua aspek: produksi dan pemahaman. Dalam memproduksi bahasa, kita
mulai dengan pikiran proposisional, dengan suatu cara mentranslasikannya ke
dalam kalimat, dan berakhir dengan suara yang mengekspresikan kalimat. Dalam
memahami bahasa, kita mulai dengan mendengar suara, melekatkan makna pada suara
dalam bentuk kata-kata, mengkombinasikan kata-kata untuk menghasilkan kalimat,
kemudian melalui suatu cara menarik proposisi darinya. Jadi, pemakaian bahasa
tampaknya melibatkan pergerakan melalui berbagai tingkat. Oleh karena itu,
memahami bahasa akan memungkinkan peneliti untuk memahami bentuk-bentuk
pemahaman manusia. Bahasa adalah media manusia berpikir secara abstrak yang
memungkinkan objek-objek faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol
abstrak. Dengan adanya transformasi ini maka
manusia dapat berpikir mengenai tentang sebuah objek, meskipun objek itu
tidak terinderakan saat proses berpikir itu dilakukan olehnya.
Manusia
dalam mengungkapkan gagasan dan pikirannya dapat melakukan beberapa cara. Cara
pertama dan utama (primer) adalah dengan cara dituturkan atau bahasa lisan yang
dihasilkan oleh alat ucap, sedangkan cara kedua, yaitu dengan dituliskan atau dengan
bahasa tulis. Selain dua cara tersebut, adakalanya seseorang dalam mengeluarkan
gagasan dan pikirannya dengan menggunakan isyarat-isyarat tertentu atau dengan
anggota badan tertentu. Bahasa yang dimilki manusia memiliki batasan-batasan
sesuai dengan kodrat kemanusiaannya.
Sesuatu yang tidak dapat disepelekan dalam proses pemerolehan bahasa
seorang anak berupa keberadaan lingkungan sosial. Lingkungan diduga banyak
mempengaruhi pemerolehan bahasa seorang anak, khususnya lingkungan keluarga
terutama keberadaan seorang Ibu yang senantiasa dekat dengan anak. Seperti
dinyatakan Dardjowidjojo (2003:241)
bahwa bahasa seorang Ibu dianggap mendominasi pengaruh pemerolehan bahasa anak.
Melalui interaksi secara intensif antara anak dan Ibu, maka membuka peluang
hadirnya stimulus dalam proses pemerolehan bahasa. Akan tumbuh kemampuan
seorang anak untuk menghasilkan tuturan secara bertahap serta
dikemudian hari dapat memahami tuturan orang lain. Demikian, betapa sangat
penting interaksi seorang anak dengan lingkungan sosial (terutama Ibu sebagai
orang tua) dalam rangka “membantu” pemerolahan bahasa anaknya. Kehadiran orang
tua (Ibu) merupakan pemrakarsa untuk mendampingi anaknya dalam berkomunikasi.
Dengan demikian, orang tua akan selalu mengasah kemampuan berbahasa dalam
proses pemerolehan bahasa anak. Dalam praktiknya, proses pemerolehan bahasa
seorang anak dapat dioptimalkan melalui interaksi komunikasi yang intensif
dengan lingkungan sosial terutama keluarga. Pada akhirnya dapat membantu
perkembangan kognisi dan kematangan bahasa seorang anak. Serta menghasilkan
pola-pola berkomunikasi yang mengarah bahasa orang dewasa. Dapat dinyatakan
bahwa keaktifan interaksi seorang anak dengan lingkungan sosial (keluarga)
dapat meningkatkan kematangan pemerolehan bahasa seperti orang dewasa.
Dari deskripsi di atas
dapat dinyatakan bahwa pemerolehan bahasa anak merupakan suatu proses yang
berlangsung terus-menerus secara bertahap. Pemerolehan bahasa seseorang dapat
dinilai atau dilihat dari sistem komunikasi linguistiknya yang berada pada
tataran sintaksis, tataran semantik, dan tataran fonologi. Oleh karena itu, penelitian
tentang pemerolehan bahasa anak secara mendalam dengan memerhatikan ketiga
tataran tersebut terasa sangat penting dilakukan.
Proses pemerolehan
“bunyi” bahasa pada anak menarik untuk dicermati serta diteliti secara intensif
oleh berbagai pihak. Termasuk penelitian yang dilakukan terhadap seorang anak
laki-laki berusia 2 tahun bernama Farra Adiba. Berdasarkan latar
belakang yang di paparkan di atas peneliti mengambil topik masalah “Batasan Fonologi
Pemerolehan Bahasa pada Anak Umur 2 Tahun”.
RUMUSAN
MASALAH
Rumusan dari penulisan makalah ini sebagai berikut:
1. Bagaimana
batasan fonologi pemerolehan bahasa pada anak umur 2 tahun?
KAJIAN TEORETIS
Ada hipotesis yang
menyatakan bahwa selain manusia mahluk lain di dunia ini pun memiliki bahasa.
Alam sekeliling kita, seperti pepohonan, gunung, batu, hujan, halilintar, dan
binatang-binatang diprediksi memiliki bahasa seperti layaknya manusia. Sebagian
orang menganggap hipotesis ini adalah hipotesis ‘gila’ yang hanya sekadar
membuang-buang waktu apabila dibuktikan. Tentang alam yang berupa benda mati
dianggap memiliki bahasa tampaknya terlalu berat untuk dibuktikan; boleh
dikatakan ‘di luar jangkauan otak manusia’. Akan tetapi, dugaan tentang
binatang memiliki bahasa telah mendorong banyak ahli mencoba membuktikannya
melalui penelitian-penelitian. Secara panjang lebar, Yule dalam Animal and
Human Language menguraikan tentang bahasa binatang dan bahasa manusia. Yule
mengidentifikasi beberapa eksperimen yang pernah dilakukan terhadap binatang
dalam rangka mengetahui dan melatih binatang untuk mampu berbahasa.
Binatang-binatang tersebutmeliputi: simpanse, kuda, ikan lumba-lumba. Melalui
semua eksperimen itu, dapat dikatakan bahwa binatang hanya melakukan S-R
(stimulus-respon atau rangsang-tanggap). Komunikasi binatang ternyata sangat
terbatas walaupun telah diajarkan ‘berbahasa’ selama bertahun-tahun. Hingga
kini, eksperimen dan penelitian terhadap bahasa binatang hasilnya belum ada
yang memuaskan.
Manusia dalam
mengungkapkan gagasan dan pikirannya dapat melakukan beberapa cara. Cara
pertama dan utama (primer) adalah dengan cara dituturkan atau bahasa lisan yang
dihasilkan oleh alat ucap, sedangkan cara kedua, yaitu dengan dituliskan atau
dengan bahasa tulis. Selain dua cara tersebut, adakalanya seseorang dalam mengeluarkan
gagasan dan pikirannya dengan menggunakan isyarat-isyarat tertentu atau dengan
anggota badan tertentu, misalnya ketika menyatakan ‘mau’ dapat dengan cara
menganggukkan kepala, ketika memanggil dengan cara melambaikan tangan dan lain
sebagainya.
Chaer (2009: 167)
menyatakan bahwa pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang
berlangsung di dalam otak seseorang kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa
pertamanya atau bahasa ibunya. Ada dua proses yang terjadi ketika seorang
kanak-kanak sedang memperoleh bahasa pertamanya, yaitu proses kompetensi dan
proses performansi. Kompetensi adalah proses penguasaan tata bahasa yang
berlangsung secara tidak disadari. Proses kompetensi ini menjadi syarat untuk
terjadinya proses performansi yang terdiri dari dua proses, yakni proses
pemahaman dan proses penerbitan atau proses menghasilkan kalimat-kalimat. Kedua
jenis proses kompetensi ini apabila telah dikuasai kanak-kanak akan menjadi
kemampuan linguistik kanak-kanak itu.
Beberapa linguis
generatif (Tarigan, 2009: 38) yakin bahwa suatu tata bahasa terdiri atas tiga
komponen utama yang masing-masing komponen melukiskan seperangkat kaidah
linguistik tertentu, yaitu komponen sintaksis, komponen semantik, dan komponen
fonologi. Komponen sintaksis menjumlahkan suatu perangkat tali simbol tata
bahasa yang tidak terbatas banyaknya, masing-masing dengan pemerian struktural
yang tepat. Komponen semantik beroperasi pada rangkaian formatif bersama-sama
dengan pemerian strukturalnya yang menghasilkan suatu interpretasi semantik
bagi setiap tali atau untaian. Komponen fonologi memetakan setiap tali
sintaksis menjadi gambaran ciri-ciri fonetik yang paling terperinci, yaitu
menyajikan setiap kalimat dengan ucapannya.
Chomsky (Atkinson,
2007:570) mengemukakan bahwa bahasa pada
tingkat tertinggi adalah unit kalimat, termasuk kalimat dan frasa. Tingkat
selanjutnya adalah kata-kata dan bagian yang membawa makna (awalan “non” atau
akhiran “er” misalnya). Tingkat paling rendah adalah bunyi bahasa (speech sound). Tingkat yang bersebelahan
berhubungan erat satu sama lain: frasa suatu kalimat terbentuk dari kata-kata
dan awalan dan akhiran, yang pada gilirannya disusun oleh bunyi bahasa. Dengan
demikian bahasa merupakan sistem multilevel untuk menghubungkan pikiran ke
pembicaraan dengan menggunakan unit kata dan kalimat.
Dari deskripsi di atas
dapat dinyatakan bahwa pemerolehan bahasa anak merupakan suatu proses yang
berlangsung terus-menerus secara bertahap. Pemerolehan bahasa seseorang dapat
dinilai atau dilihat dari sistem komunikasi linguistiknya yang berada pada
tataran sintaksis, tataran semantik, dan tataran fonologi. Oleh karena itu, penelitian
tentang pemerolehan bahasa anak secara mendalam dengan memerhatikan ketiga
tataran tersebut terasa sangat penting dilakukan.
Secara realitas, proses pemerolehan ataupun penguasaan bahasa seorang anak
merupakan sesuatu yang menakjubkan. Pada prosesnya, pemerolehan bahasa tetap
menjadi suatu isu disebabkan belum ada pembuktian yang akurat. Muncul berbagai
pandangan tentang pemerolehan bahasa, seperti dinyatakan Dardjowidjojo
(2003:225) bahwa pemerolehan menyangkut proses penguasaan bahasa yang dilakukan
oleh anak secara natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya (native
language). Sedangkan menurut Maksan (1993:20), pemerolehan bahasa merupakan
proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh seorang anak secara tidak sadar,
implisit, dan informal. Pendapat lain, Chaer (2003:167) menyatakan bahwa
pemerolehan bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak seorang
anak-anak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pandangan
berbeda muncul dari Tarigan (2011:5) bahwa pemerolehan bahasa anak mempunyai
ciri berkesinambungan serta rangkaian kesatuan yang bergerak dari ucapan satu
kata sederhana menuju gabungan kata yang lebih rumit. Dari berbagai pandangan
tersebut, dapat dinyatakan bahwa semuanya pandangan para pakar tersebut masih
merupakan sebuah hipotesis. Sebab belum ada seorangpun (para pakar) yang dapat
memastikan manifestasi proses berpikir seorang anak dalam pemerolehan
bahasanya.
Adapun hal paling nyata terkait pemerolehan bahasa seorang anak sangat
bergantung pada berbagai sumber serta cara mendapatkannya. Seperti dinyatakan
Tarigan (2011:5) bahwa pemerolehan bahasa banyak ditentukan oleh interaksi
rumit aspek kematangan biologis, kognitif, dan sosial. Perihal tersebut terkait
pernyataan Slobin (Tarigan, 2011:5), pemerolehan bahasa akan menghadapi
kenyataan bahwa bahasa dibangun sejak semula oleh setiap anak dan memanfaatkan
aneka kapasitas bawaan sejak lahir yang beragam dalam interaksinya dengan
pengalaman-pengalaman dunia fisik dan sosial.
Wujud bunyi yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia tidaklah semuanya berupa kata-kata,
adakalanya berbentuk desisan, jeritan, lengkingan, tangisan, gumaman, dan lain
sebagainya. Bunyi-bunyi yang seperti demikian tidak menjadi objek linguitik,
karena yangmenjadi garapan linguistik hanyalah bunyi-bunyi ujaran yang
membentuk kata-kata, sedangkan bunyi-bunyi yang tidak membentuk kata-kata
menjadi garapan paralinguistik. Linguistik membahas dan mempelajari bahasa manusia normal, bahasa yang
digunakan dalam suasana wajar, bahasa yang dihasilkan oleh alat (anggota) tubuh
berupa alat ucap, bahasa yang berupa kata-kata, dengan objek primer berupa
bahasa lisan, sedangkan onjek sekunder berupa bahasa tulis.
Sesungguhnya proses pemerolehan bahasa seorang anak memunculkan
bunyi-bunyian, yang berawal dari pralinguistik menuju linguistik. Menandakan
kehadiran struktur tata bahasa di dalam proses tersebut, perihal proses
pralinguistik menjadi linguistik yang dimaksud, yakni: 1) pengocehan (babbling) –
bunyi-bunyi yang berwujud teriakan, rengekan, atupun tangisan terkait suku kata
tunggal. Terdapat beberapa ahli yang berbeda pendapat tentang usia anak pada
tahap ocehan. Seperti pandangan Mar’at (2005:43), bahwa tahap ocehan terjadi
pada usia antara 5 dan 6 bulan. Menurut Trevar (Tarigan, 2011:17), sang anak
akan memberi respon yang berbeda-beda terhadap orang dan objek “bergambar”. 2)
satu kata (holofrastis) – berlangsung ketika anak berusia
antara 12 dan 18 bulan. Situasi ujaran yang dihasilkan seorang anak akan
mengandung kata-kata tunggal karena mengacu pada benda-benda yang dijumpai
sehari-hari. Seorang anak terus menerus berupaya mengumpulkan nama-nama benda
dan orang di dunia (Tarigan, 2011:18). Pada proses tersebut, seorang anak sudah
mengucapkan pengembangan kata-kata yang pertama. Dari ucapan yang dihasilkan
dalam kosakata permulaan dapat muncul berbagai tipe kata. Seperti dinyatakan
Tarigan (2011:18), seorang anak dapat mencari dan menemukan kata: tindak
(makan, minum, duduk, dsb), ekspresi sosial (hei, halo, dsb), lokasional (di
sini, di sana, dsb), dan pemerian (panas, dingin, dsb) 3) dua kata – dapat
berlangsung ketika anak berusia 18-20 bulan. Menurut Tarigan (2011:21) hal tersebut
merupakan kesinambungan dalam makna anak-anak pada ujaran satu kata yang
menjadi ujaran kombinasi untuk mengekspresikan makna-makna mereka. Dengan
demikian, ujaran seorang anak harus ditafsirkan sesuai dengan konteksnya.
Memperlihatkan bahwa seorang anak sudah dapat berpikir melalui penggunaan
subjek dan predikat. Walaupun pada penggunaan infleksi, kata ganti orang, dan
sebagainya belum dapat dilakukan (Tarigan, 2011:20). 4) telegram (telegraphic
speech) – mulai pada usia 2 dan 3 tahun. Sebab anak akan mulai
menghasilkan ujaran kata-ganda (multiple-word utterances). Pada proses
selanjutnya, seorang anak dapat membentuk kalimat serta mengurutkan
bentuk-bentuknya dengan benar. Kosakata yang dihasilkan anak berkembang dengan
pesat. Dampaknya, bahasa yang diujarkan seorang anak semakin mirip dengan
bahasa orang dewasa.
Bunyi
Bahasa (Fonologi)
Suherlan dan Odien (2004:22)
mengemukakan bahwa dalam berbicara, kita menggunakan bibir, mulut, lidah, dan
pita suara untuk menghasilkan berbagai macam suara fisik. Setiap bahasa
memiliki fonemnya sendiri-sendiri, yang merupakan salah satu alasan mengapa
kita mengalami kesulitan daalam belajar mengucapkan kata asing. Bahasa lain
mungkin menggunakan bunyi bahasa yang tidak kita miliki. Kita bahkan
membutuhkan waktu untuk mendengar fonem baru, apalagi menghasilkannya. Sesungguhnya fonologi sebagai satuan bahasa yang mendeskripsikan bunyi
bahasa. Beberapa para ahli telah mengemukakan tentang fonologi sebagai ilmu
tentang bunyi. Seperti pandangan Verhaar (2012:9) yang menyatakan bahwa
fonologi merupakan bidang khusus dalam linguistik yang mengamati bunyi-bunyi
suatu bahasa tertentu sesuai dengan fungsinya untuk membedakan makna leksikal
dalam suatu bahasa. Sementara menurut Chaer (2013:3) fonologi merupakan ilmu
yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa pada umumnya.
Sedangkan KBBI
(2008:244) mendefinisikan fonologi sebagai ilmu tentang bunyi bahasa, terutama
yang mencakup sejarah dan teori perubahan bunyi. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa fonologi merupakan ilmu yang mempelajari bunyi bahasa terkait
ujaran yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Bidang fonologi terdapat dua jenis kajian yakni fonetik dan fonemik. Namun,
penelitian yang dilakukan hanya mengkhususkan pada aspek fonetik. Dalam rangka
mencermati bunyi bahasa yang diujarkan serta menyikapi asumsi adanya pelesapan
dan perubahan yang terjadi ketika anak menuturkan bunyi bahasa. Diketahui bahwa
fonetik sebagai bagian ilmu dalam linguistik yang mempelajari atau
menyelidiki bunyi bahasa yang diproduksi oleh manusia tanpa melihat fungsi bunyi itu
sebagai pembeda makna dalam suatu bahasa (Marsono, 2008:2). Pandangan yang sama
juga dikemukakan oleh Chaer (2013:4), fonetik merupakan studi tentang
bunyi-bunyi ujar yang tidak memiliki fungsi sebagai pembeda makna. Demikian,
fonetik hanya membedakan bunyi ujaran yang
dihasilkan.
Penelitian terhadap pemerolehan bahasa seorang anak yang berusia 2 tahun
difokuskan pada aspek fonetik yang menitikberatkan pada segi artikulatoris.
Adapun fonetik artikulatoris hanya mendeskripsikan mekanisme alat-alat ucap
manusia dalam menghasikan bunyi bahasa. Lebih lanjut, mendeskripsikan cara
membentuk dan mengucapkan bunyi bahasa serta pembagian bunyi bahasa dan
pengartikulasiannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa fonetik artikulatoris hanya
sebatas lingkup linguistik teoretis.
Difokuskan penelitian pada aspek fonetik artikulatoris, didasari
ketertarikan peneliti untuk mengetahui serta mengemukakan tentang bentuk
“keanehan” pemerolehan bahasa terhadap bunyi yang dihasilkan seorang anak
berusia 2 tahun. Memahami bunyi merupakan sesuatu hal yang dipandang penting
dalam proses awal pemerolehan bahasa seorang anak. Oleh karena itu, perlu
dilakukan identifikasi serta pendataan terhadap bunyi-bunyi bahasa yang tidak
lazim dalam menghasilkan sebuah kata. Selanjutnya menyikapi adanya pelesapan
dan perubahan bunyi terhadap kata yang dituturkan. Melalui proses tersebut,
maka peneliti dapat menguraikan wujud bunyi bahasa serta bentuk pelesapan dan
perubahan yang dihasilkan oleh anak yang dijadikan subjek penelitian. Pada
akhirnya, peneliti dapat mengetahui seberapa baik tingkat kematangan bunyi
bahasa yang dimiliki seorang anak pada usia 2 dalam proses pemerolehannya.
Asumsi penelitian yang dilakukan, bahwa anak yang masih berusia antara 2
tahun menghasilkan bunyi bahasa yang “tidak biasa” atau berbeda dengan bahasa
yang dituturkan oleh orang dewasa. Disebabkan seorang anak belum mencapai tahap
kesempurnaan pada alat ucapnya. Biasanya seorang anak akan menggunakan bunyi
yang telah dikuasainya serta mudah diujarkan untuk mengganti bunyi yang belum
dipelajari. Menurut Werdiningsih (2002:6) bahwa pemerolehan bunyi bahasa
melalui beberapa tahapan. Oleh karenanya seorang anak harus selalu intensif
menuturkan bunyi bahasa agar dapat menguasai bahasa secara sempurna seperti
orang dewasa. Dapat dinyatakan bahwa seorang anak berusia 2 tahun masih dalam
proses menghasilkan bunyi bahasa yang sempurna.
Studi kasus terhadap pemerolehan bahasa seorang anak yang berusia 2 tahun
dengan menyoroti pada bidang fonologi (fonetik artikulatoris). Penelitian
berlandaskan pandangan para pakar yang mengemukakan tentang fonologi, khususnya
fonetik artikulatoris serta penyebab terjadinya gejala pelesapan dan perubahan
bunyi bahasa.
PEMBAHASAN (DISKUSI)
Istilah "pemerolehan" merupakan padanan kata acquisition yakni proses penguasaan
bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar bahasa
ibunya. Istilah ini juga berbeda dengan pembelajaran (learning) dalam pengertian, proses ini dilakukan dengan tatanan
formal, belajar di kelas dan diajar oleh seorang guru. Dengan demikian maka
proses dari anak yang belajar menguasai bahasa ibunya adalah pemerolehan,
sedangkan proses dari orang yang belajar di kelas adalah pembelajaran (Dardjowidjojo,
2003:225).
Metode Penelitian
Penelitian menggunakan pendekatan
kualitatif deskriptif, bertujuan menggambarkan objek apa adanya (Sugiyono,
2010:59). Adapun yang menjadi subjek penelitian yakni seorang anak bernama Farra
Adiba (dipanggil Farra), yang berusia
antara 2 tahun. Proses pengumpulan data penelitian dilakukan menggunakan metode
lapangan melalui observasi, di kediaman Farra Adiba yang beralamat di Lingkungan Karundang
Klektor RT 01 RW 05 Kelurahan Karundang Kecamatan Cipocok Jaya Serang Banten.
Dengan demikian, peneliti merupakan instrumen utama dalam mengumpulkan data
terhadap batasan pemerolehan bahasa. Selanjutnya bahasa tersebut dikaji secara
fonologi khususnya aspek fonetik artikulatoris.
Temuan
- Subjek Penelitian
Seorang anak laki-laki yang bernama Farra
Adiba, kerap dipanggil dengan panggilan Farra.
Ia merupakan anak kedua dari pasangan Yayat Hayatudin dan Tati Susilawati,
lahir pada tanggal 13 Juli 2014. Profesi Bapaknya sebagai seorang Pegawai SPBU dan
Ibunya seorang Ibu Rumah Tangga. Berdasarkan pengamatan terhadap aktivitas yang
dilakukan, Farra Adiba senang bergerak dan
mengoceh terhadap objek yang dilihat serta ditemukan. Dalam keseharian, bahasa
Indonesia menjadi media berinteraksi pada lingkungan keluarga tersebut. Oleh
karena itu, pemerolehan bahasa Farra Adiba
tentu menggunakan bahasa Indonesia.
- Data Pemerolehan “Bunyi” Bahasa Farra Adiba
Setelah
dilakukan penelitian selama beberapa hari, pengumpulan data terhadap
pemerolehan bahasa Farra Adiba dilakukan
secara intens. Namun, tidak menghilangkan esensi dari tujuan penelitian yang
ingin mengumpulkan bunyi bahasa atau pembendaharaan kosakata yang dimiliki Farra Adiba untuk dikaji secara fonologi dengan
hanya menfokuskan pendataan pada kata yang mengalami pelesapan dan perubahan
bunyi bahasa.
Setelah
diketahui bentuk kata yang diujarkan oleh Farra Adiba telah mengalami gejala
pelesapan dan perubahan bunyi bahasa. Dengan demikian, diperlukan pemaparan
terhadap pelesapan dan perubahan bunyi bahasa tersebut. Perihal yang dimaksud
dapat mengacu pada pandangan para pakar dalam menjelaskan permasalahan pelesapan
dan perubahan bunyi. Dua hal tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.
Pelesapan Bunyi
Posisi alat ucap serta cara
artikulasi merupakan bagian pembahasan dari fonetik artikulatoris. Oleh karena
itu, pelesapan bunyi terhadap kata yang diujarkan oleh Farra Adiba dapat
dideskripsikan berdasarkan bentuk alat ucap serta cara artikulasi yang
dikemukakan oleh para pakar.
1.
Pelesapan bunyi [r] yang terdapat pada kata
<air> menjadi [ai], <kotor> menjadi [koto], <motor> menjadi
[moto], dan <gərobak> menjadi [oba]. Oleh karena demikian, Farra Adiba
mengalami kesulitan dalam mengungkapkan konsonan getar apiko alveolar melalui
bunyi [r] di awal maupun tengah kata.
2.
Pelesapan bunyi [n] terdapat pada kata <quran>
menjadi [ura]. Hal itu menandakan bahwa Farra Adiba belum dapat menghadirkan
konsonan nasal bersuara apiko alveolar pada bunyi [n] yang terdapat di akhir
kata.
3.
Pelesapan bunyi [q] pada kata <quran> menjadi
[ura]. Perihal tersebut belum dapat dijelaskan sebab bunyi [q] tidak termasuk
bunyi konsonan dalam bahasa Indonesia.
4.
Pelesapan bunyi [p] pada kata <suap> menjadi
[sua]. Hal tersebut menunjukkan bahwa Farra Adiba masih kesulitan memunculkan konsonan hambat
letup tidak bersuara bilabial melalui bunyi [p] pada akhir kata.
5.
Pelesapan bunyi [s] pada kata <sate> menjadi
[ate], <awas> menjadi [awa], dan <suap> menjadi [uap]. Oleh karena
demikian, Farra Adiba masih kesulitan untuk menghadirkan konsonan frikatif
tidak bersuara lamino alveolar melalui bunyi [s] yang terdapat di awal kata.
6.
Pelesapan bunyi [b] yang terdapat pada kata
<biru> menjadi [iru]. Dapat dinyatakan bahwa Farra Adiba mengalami
kesulitan menghasilkan konsonan hambat letup bersuara bilabial melalui bunyi
[b] di awal kata.
7.
Pelesapan bunyi vokal [ə] pada kata <səpeda>
menjadi [peda]. Hal tersebut menunjukkan bahwa Farra Adiba masih kesulitan
membunyikan vokal [ə] yang berada di tengah kata.
8.
Pelesapan bunyi [g] pada kata <gərobak> menjadi
[oba], dan <sənang> menjadi [sənan]. Dengan demikian, Farra Adiba
mengalami kesulitan memunculkan konsonan hambat letup bersuara dorso velar pada
bunyi [g] yang terdapat di awal dan akhir kata.
9.
Pelesapan bunyi [h] terdapat pada kata <halo>
menjadi [alo], <hape> menjadi [ape], <jatuh> menjadi [jatu]. Hal
ini menandakan bahwa Farra Adiba mengalami kesulitan untuk menghasilkan
konsonan frikatif tidak bersuara maupun bersuara laringal pada bunyi [h] di
awal dan akhir kata.
10. Pelesapan
bunyi [l] terdapat pada kata <gatal> menjadi [gata], <mobil>
menjadi [obi], dan <lompat> menjadi [ompa]. Hal itu menunjukkan bahwa Farra
Adiba mengalami kesulitan dalam menghasilkan konsonan lateral bersuara apiko
alveolar pada bunyi [l] yang terdapat di awal maupun akhir kata.
11. Pelesapan
bunyi [m] pada kata <mangga> menjadi [angga], dan <mobil> menjadi
[obi]. Dengan demikian, Farra Adiba masih kesulitan untuk menghasilkan konsonan
nasal bersuara bilabial pada bunyi [m] di awal kata.
Berdasarkan
hasil deskripsi tersebut, dapat dinyatakan bahwa alat ucap serta cara
artikulasi Farra Adiba masih belum berada pada tahap kesempurnaan sehingga
selalu mengalami kesulitan dalam menghasilkan bunyi-bunyi tertentu, baik berada
di awal, tengah, maupun akhir kata. Oleh karenanya, bunyi bahasa yang
dihasilkan Farra Adiba tentu berbeda dengan bunyi bahasa yang dihasilkan oleh
orang dewasa. Sebab Farra Adiba masih melakukan pelesapan bunyi bahasa terhadap
kata-kata yang diujarkan. Hal itu tampak dari pelesapan bunyi [ə], konsonan
hambat letup ([p], [b], [g], dan atau [k]), konsonan frikatif ([s] dan [h]),
konsonan nasal melalui bunyi [m], konsonan lateral melalui bunyi [l], serta
konsonan getar melalui bunyi [r], yang seharusnya dibunyikan pada berbagai
variasi kata yang menjadi data. Menunjukkan bahwa belum sempurnanya pembentukan
alat ucap serta cara mengartikulasikan sehingga mengakibatkan Farra Adiba
“terpaksa” melakukan pelesapan beberapa bunyi terhadap kata-kata yang diujarkan.
Menurut
(Mar’at 2005:46) bahwa proses penyederhanaan disebabkan oleh memory
span yang terbatas, kemampuan representasi yang terbatas, kepandaian
artikulasi yang terbatas. Mencermati hasil deskripsi data pemerolehan bahasa
dikaji secara fonologi yang menitikberatkan pada aspek fonetik artikulatoris.
Diketahui wujud pelesapan yang dilakukan oleh Farra Adiba terdapat pada awal,
tengah, dan akhir kata. Hal tersebut diistilahkan oleh Muslich (2014:123)
sebagai zeroisasi – pelesapan yang dilakukan melalui penghilangan bunyi sebagai
akibat upaya penghematan pengucapan. Menandakan ketidaksempurnaan alat ucap
serta cara artikulasi, hal tersebut dapat terjadi pula pada anak-anak normal
maupun berkebutuhan khusus, perubahan bunyi dalam proses tersebut kerap terjadi
akibat kompetensi yang belum baik atau kondisi artikulator yang belum
berkembang (Muslich, 2014:125). Lebih lanjut, Muslich (2014:125) menyatakan
bahwa jika proses penghilangan, penanggalan, atau pelesapan satu atau lebih
fonem pada awal kata disebut aferesis, pada tengah kata disebut sinkop, dan
pada akhir kata disebut apokop.
KESIMPULAN
Bahasa adalah cara utama
untuk mengkimunikasikan isi pikiran. Dalam memproduksi bahasa, kita mulai
dengan pikiran proposisional, dengan suatu cara mentranslasikannya ke dalam
kalimat, dan berakhir dengan suara yang mengekspresikan kalimat. Dalam memahami
bahasa, kita mulai dengan mendengar suara, melekatkan makna pada suara dalam
bentuk kata-kata, mengkombinasikan kata-kata untuk menghasilkan kalimat,
kemudian melalui suatu cara menarik proposisi darinya. Berdasarkan pemaparan hasil dan pembahasan tentang batasan pemerolehan
bahasa Farra Adiba dikaji secara fonologi diketahui bahwa Farra Adiba pada usia
2 tahun dalam menghasilkan bunyi bahasa masih melakukan pelesapan dan
perubahan. Pada pelesapan bunyi bahasa, Farra Adiba belum dapat menghasilkan
bunyi vokal [ə], konsonan hambat letup ([p], [b], [g], konsonan frikatif ([s]
dan [h]), konsonan nasal melalui bunyi [m], konsonan lateral melalui bunyi [l],
serta konsonan getar melalui bunyi [r] pada variasi kata-kata yang didata, hal
itu terjadi pada awal, tengah, dan akhir kata. Banyak dipengaruhi oleh bentuk
alat ucap serta cara artikulasi Farra Adiba yang belum mencapai tahap
kesempurnaan. Sedangkan pada perubahan bunyi, Farra Adiba membunyikan <j>
menjadi [c], <u> menjadi [i], <r> menjadi [y] dan [l], serta
<n> menjadi [h]. Adapun perubahan bunyi yang terjadi terkait rangkaian
tahapan untuk menghasilkan bunyi bahasa sempurna seperti tuturan orang dewasa. Jadi, pemakaian bahasa dalam hal ini batasan bahasa
tampaknya melibatkan pergerakan melalui berbagai tingkat.
REFERENSI
Atkinson,
Rita L dkk.. 2007. Pengantar Psikologi
Edisi Kesebelas.. Batam:Interaksara
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik Kajian
Teoritik. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta:
Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2013. Fonologi Bahasa
Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Dardjowidjojo,
Soenjono. 2003. Psikolinguistik.
Jakarta: Yayasan obor Indonesia.
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Maksan, Marjusman. 1993. Psikolinguistik. Padang:
IKIP Padang Press.
Mar’at, Samsunuwiyati. 2009. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Bandung:
PT Refika Aditama.
Marsono. 2008. Fonetik: Seri
Bahasa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Muslich, Masnur. 2014. Fonologi Bahasa
Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Sugiyono. 2014. Memahami Penelitian Kualitatif.
Bandung: CV Alfabeta.
Suherlan
dan Odien. 2004. Ihwal Ilmu Bahasa dan
Cakupannya. Seramg: Untirta Press.
Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Kompetensi Bahasa. Bandung:
Angkasa.
Tarigan, Henry Guntur. 2011. Pengajaran
Pemerolehan Bahasa. Bandung: Angkasa.
Verhaar, J. W. M. 2012. Pengantar Linguistik.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Werdiningsih, Dyah. 2002. Dasar-dasar
Psikolinguistik. Bandung. Angkasa.
LAMPIRAN FOTO
Tidak ada komentar: